Oct 17, 2015

"Peran"

Banyak hal yang ingin saya tulis malam ini, tentang bagaimana semangat dan passion menggerakkan saya untuk melakukan banyak hal dan menolak banyak hal. Malam ini merupakan malam ke delapan belas saya di Jepang untuk melanjutkan jenjang doktoral saya. Entah mulai dari mana saya berbagi yang jelas kalimat yang akan saya ingin sampaikan adalah “lakukan apa yang kita sukai dan geluti terus sampai kita menjadi ahli di bidang yang kita sukai tersebut”

Saya sangat menyukai riset, mungkin untuk beberapa orang di lingkungan saya itu adalah hal yang terlalu mewah, tapi tahukah bahwa sesungguhnya riset itu dapat dimulai dari hal yang sederhana, seperti mengamati hal-hal kecil yang nampak di kehidupan sehari-hari, seperti meneliti fluktuasi harga sayur, atau komparasi harga satu pedagang dengan pedagang lain secara teliti.

Pada konsepnya sendiri, riset seharusnya membuat hal yang sulit menjadi sederhana, meskipun beberapa orang malah membuat yang sederhana menjadi terlihat lebih sulit. Sebagai contoh konsep reaksi amplifikasi DNA dengan PCR sebenarnya adalah proses sederhana menggunakan konsep perubahan suhu untuk membuka untai DNA, lalu menempelkan sekuens primer yang kita ingin buat serta menentukan suhu elongasi DNA tersebut. Ide ini sangat jenius dan hebat sekali buat saya, tapi sederhana sekali.

Kesukaan saya terhadap riset membuka peluang yang lebar untuk melakukan hal yang sangat di luar impian saya, seperti keliling berbagai negara, bekerja di atmosfer riset yang sangat baik dan mendapatkan beasiswa penuh dari Pemerintahan Jepang ini. Saya mempercayai bahwa cukuplah kita melakukan sesuatu yang kita sukai dan terus menikmatinya, kemudian melakukannya lagi dan lagi, maka suatu saat kita akan hidup dan makan dari apa yang kita lakukan. Nikmat ini adalah nikmat yang sangat besar ketika kita dapat melakukan hal yang kita sukai setiap hari dan hidup dari apa yang kita senangi.

Saya ingin berbagi kepada siapapun yang membaca tulisan saya malam ini. Saya bukan orang jenius atau cerdas, namun keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh antusiasme pada bidang tertentu. Tidak usahlah kita secara tamak berkeinginan untuk menjadi segala hal, ingin menjadi peneliti, ingin jadi dokter juga, ingin jadi dosen, bisnisman, ahli teknologi, kyai dan lain hal sebagainya. Pilihlah jalan kita sendiri dan yang terpenting adalah bidang yang kita tekuni merupakan bidang yang kita sendiri menikmati dalam melakukannya, saat kita sukses dalam satu bidang, secara kebetulan biasanya kita akan bersinggungan dengan hal lain, barulah kita bisa membuka diri.

Tidak bisa juga kita dikenal dengan sederet banyak hal yang kita lakukan. Manusia mempunyai relung atau dalam ilmu ekologi disebut “niche” atau peran dalam sebuah ekosistem, peran ini sulit untuk dapat menjadi multiperan. Kita dituntut untuk menguasai satu hal dan dalam bidang itulah kita akan berkontribusi pada kemanusiaan.

“man arafa nafsahu, laqod arafa robbahu”  artinya siapa saja yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya. Hal ini secara implisit memberikan kita pemahaman bahwa mengetahui potensi diri, passion, dan antusiasme kita pada bidang tertentu merupakan hal sangat urgent. Maka dari itu pilihlah bidang yang kita sukai sedini mungkin, agar kelak kehidupanmu bahagia dan lebih bersyukur dengan apa yang kita pilih.

Namun dalam akhir cerita ini saya bertanya pada diri saya sendiri adalah tentang kejenuhan. Kejenuhan merupakan hal lumrah yang hadir tanpa undangan dan tanpa dugaan. Jika seseorang bekerja pada bidang yang tidak ia sukai dan kemudian jenuh, maka ia akan melakukan hal ia sukai seperti pegawai yang melakukan futsal untuk hobinya. Namun, yang berbahaya buat kita adalah jika suatu saat nanti kita jenuh dengan hal yang kita sukai, maka apa yang bisa kita lakukan? Kecuali berserah padaNya untuk terus menjaga ghiroh dan semangat ini untuk pengabdian kita seutuhnya sebagai hamba. Maka, tentukanlah segera peran apa yang kita akan mainkan sebagai hambaNya.

Yudhi Nugraha
Jepang,  17 Oktober 2015.
Pukul 02.04

Mar 16, 2015

Urgensi Kontemplasi Diri.

Urgensi Kontemplasi Diri.

Perjalanan Jakarta menuju Serang kali ini tetiba membuat saya ingin menulis begitu saja di HP yang LCD nya rusak, hhe (jadi maaf kalo typo). Tidak  terasa sudah empat puluh empat hari saya tidak bekerja secara profesi, setelah intership di Jepang pada akhir Januari 2015, selain melengkapi perlengkapan dokumen beasiswa manbusho, dan fokus pada silaturahim network saya rasa sudah usang dimakan rutinitas kuliah dan bekerja di Jakarta, tapi juga sengaja menyempatkan jeda panjang ini untuk kontemplasi diri.
   
Kontemplasi diri secara definitif terminologis saya merupakan renungan panjang untuk mengenal diri sendiri, dalam konsep “siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” kontemplasi diri dikenal sebagai fisrt step penting sekali mencapai keyakinan terhadap ketuhanan. Pada salah satu kajian di taman ismail marzuki tanggal 13 maret 2015 lalu bertema “ateisme agama” dibahas secara komperhensif tentang pandangan beberapa tokoh pemikir islam mengenai ateisme, salah satu penyaji menuturkan bahwa ateisme merupakan fase penting saat kita mencari eksistensi Tuhan, seperti Nabi Ibrahim saat bertanya siapa itu Tuhan, Nabi Ibrahim tidak langsung menemukan Allah sebagai Tuhan, melainkan mendeskripsikan rembulan dan matahari terlebih dahulu sebagai gambaran Tuhan. Pada fase ini mungkin jika dipandang oleh “kaum penghuni surga” yang biasa menyalah-nyalahkan dan “ngerasa bener sendiri” itu, Ibrahim telah kafir. Hehe.. tapi tidak menurut saya, Ibrahim tidak berislam dengan ikut-ikutan pengajian, mengikuti tren gaya bahasa kearab-araban ana-ente, atau dilahirkan langsung secara de facto menjadi muslim, melainkan Ibraahim (bapak dari semua agama ini) mencari dulu dan berkontemplasi dulu.

Hal itu merupakan sebab semua nabi, bahkan Nabiyullah Muhammad Shalallhu alaihi wassalam pun juga berkontemplasi diri, para sahabat, wali sanga serta para ulama besar dahulu juga berkontemplasi diri. Untuk apa beliau-beliau itu berdiam diri di gua? Jika jarak dengan Allah sangat dekat? Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi arti pentingnya kontemplasi diri.  Entah apa nama dan “alih bahasa” nya, dari mulai “bertapa” sampai yang terdengar islami seperti “I’tikaf” adalah cara kontemplasi diri untuk sejenak merenung mengenal diri sendiri untuk mengenal Tuhan.

Paradigma berfikir dan kefahaman mengenai agama menurut saya adalah nikmat Allah luar biasa yang tidak bisa diukur, diberikan pada orang-orang tertentu yang Allah kekhendaki (saya berharap sekali bisa masuk orang yang difahamkan agamanya). Ada orang yang difahamkan dengan mudah agamanya oleh Allah, ada juga yang sengaja diberikan kesukaran agar terus berusaha, dan bahkan yang paling seram, ada juga yang sengaja ditutupi dari hatinya dari kebenaran, dalam alquran disebut “sumum, bukmun umyun fahum la yarjiun”.

Pada awal surat albaqoroh, Allah membagi tiga golongan umat manusia. Golongan pertama digambarkan pada ayat 1-5 yakni orang-orang yang diberikan petunjuk, orang yang lempeng, yang secara jelas digambarkan bahwa mereka itu menerima dan memahami kitab (petunjuk) secara komperhensif, secara balance berhasil melaksanakan tugas keTuhanan beragama dan tugas kemanusiaan (amanau dan amal solihat). Golongan kedua ada pada ayat 6-7 yang disebutkan bahwa mereka itu Kafir, arti kafir sendiri sebenarnya ka fa dan ro, yakni tertutup, menutupi atau ditutupi. Ya, jika kita melihat buku maka kita menemukan “Cover” artinya ya sama, penutup. Golongan ini emang ditutup hati dan pemikirannya dari kebenaran, makanya Allah bilang “sama aja mereka dikasih tau ga dikasih tau juga ya begitu”. Pada ayat ke 8-20 adalah gambaran golongan yang ketiga adalah golongan orang yang munafik, mereka itu seperti duri dalam daging, bilang beriman tapi sebenernya tipu-tipu, pada ayat itu juga digambarkan mereka selalu menampilkan diri bahwa mereka beriman, tapi sebenernya engga. Allah secara preogratif memilih pada golongan mana kita kita ini, ya saya percaya itu, seperti kita tidak memilih lahir dari siapa. Siapa yang beragama apa biasanya dipengaruhi dari siapa ia dilahirkan, atau eksplisit reasonnya, Allah juga memilih kepada siapa ia akan memberikan hidayah, bahkan terkadang sekaliber paman Nabi atau anak Nabi sendiripun tidak menjadi pilihannya. Allah secara preogratif memilihnya. Tapi dengan kontemplasi diri sejenak, atau proses pengenalan diri dengan I’tikaf atau bertapa itu, harapannya bisa menjadi usaha tahap awal untuk PDKT kepada Allah, dan memahami apa maksud semua yang telah dan akan terjadi pada diri kita.

Terkadang saya merasa bahwa keimanan kita dipengaruhi oleh trend, keimanan hanya sebuah ritual ibadah yang ikut-ikutan, tanpa pernah mencoba memahami secara general maksud dari perintah dan larangan tersebut. Parahnya lagi, sekarang ini banyak kepentingan yang dicampuradukkan menjadi syariah. Lihatlah bagaimana kegencaran kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan menggerogoti Islam. Dari mulai partai politik yang menjual islam sebagai iklannya, atau bisnis-bisnis perbankan yang menjual kata “syariah” di belakang namanya, atau dimanfaatkan oleh pemahaman jihad sebagai mortir. Kajian-kajian islam saat ini juga terkotak-kotak, eksklusif untuk kaumnya sendiri, padahal jika mereka yakin dengan apa yang difahaminya, mereka tidak akan segan untuk memberi ruang diskusi atau jika dipertemukan oleh paradigma dan kesehafaman baru dan berbeda. Mereka juga lupa bahwa yang seharusnya “di-dakwahi” ya mereka yang lagi di luar masjid/pengajian. Orang yang dateng ke pengajian atau masjid sudah tentu memiliki keinginan untuk beriman, tanpa dinasehati lagi, tanpa di-dakwahi ini itu lagi. Kita lupa, tugas dakwah kita dimana, lalu bagaimana manusia-manusia yang belum pernah mendengar tentang Islam? Seperti di negara-negara tertentu, atau di peloksok tak terjamah oleh dakwah.

Muslim saat ini terkotak-kotak pada pandangannya sendiri, ada yang mencoba kritis dibilang liberal, ada yang mau berjuang dibilang radikal, ada yang tulus berislam tapi malah dimanfaatkan, ada yang apatis terhadap pengetahuan islam dibilang kafir, ada yang beda aliran dibilang sesat, ada yang beda pandangan dibilang bukan kaumnya, ada yang bertakwa bukan mengajak kebaikan pada orang lain malah eksklusif sendiri, nganggep orang lain hanya pantes jadi kerak neraka, ada juga yang mbambung dan masih bodoh tapi soksokan nulis ini itu (saya) hhee. Atas dasar semua itu saya berharap kita sebagai orang islam, urgensi mendasar sekali untuk kita mengenal kembali keislaman kita. Tanpa dipengaruhi oleh media, trend bahkan tulisan aneh saya ini dengan berkontemplasi diri dan membuka diri dari pemahaman orang lain, berfikir secara jernih dan mendalam tentang kualitas diri kita. Wallahu a’lam




Feb 11, 2015

Never Say Never


“Kesuksesan sejatinya dilihat darimana kita mulai, bukan di mana kita sampai”

Saya meyakini hal-hal besar yang terjadi dalam hidup manusia akan selalu melibatkan doa dan impian yang pernah terbesit di masa lalu. Hampir seluruhnya akan berkaitan. Bisa saja hal yang kita temui di masa depan adalah jawaban dari doa-doa yang belum terwujud di waktu itu, atau impian yang pernah kita khayalkan dan ingin kita raih. Tapi tidak untuk yang satu ini, melanjutkan program S3 di Jepang bukan menjadi salah satu keinginan dan impian saya sejak kecil karena sedari dulu saya tidak berani untuk bermimpi untuk kuliah ke Negeri Sakura ini. Bukan hanya karena keterbatasan yang dirasakan saat itu, tapi juga karena saat kecil saya hidup dan besar di pesantren yang sangat relijius dan jauh bila berkeinginan untuk melanjutkan studi di jepang yang dikenal hebat dalam sains ataupun teknologi (bukan agama), tapi semua berubah, cita-cita saya untuk dapat meneruskan leluhur saya menjadi Kyai, saya kubur dalam karena beberapa kejadian yang tidak bisa saya ceritakan di sini dan kemudian saya banting stir untuk bercita-cita menjadi peneliti.


Sebenarnya mimpi untuk melanjutkan studi S3 muncul saat saya sedang bekerja di Institute of Human Virology and Cancer Biology salah satu lembaga riset di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat itu sembari melanjutkan studi S2 saya di institusi yang sama (FKUI), saya mulai berani bermimpi untuk meneruskan program doktoral di beberapa Negara Eropa seperti Jerman, Swedia dan Prancis. Namun sekali lagi, tidak ada nama Jepang dalam list tujuan saya, salah satunya karena Jepang dikenal memiliki etos kerja dan penelitian yang tinggi, rajin, menjunjung tinggi kehormatan sang professor dan bisa dikatakan “rigid” dalam pergaulan, hal ini berbeda jika saya mendengar cerita tentang atmosfer pendidikan di eropa yang kasual tapi substansif dalam mengerjakan riset. Saya sangat sadar akan hal itu bahwa saya telah mengerti diri sendiri ini atau biasa disebut “rumasa” atau tahu diri bahwa saya tidak bisa seserius itu dalam bekerja, saya justru akan lebih senang pada suasana yang lebih kekeluargaan dan hubungan antara professor dan muridnya seperti teman. Maka dengan haqqul yaqin saya akan keteteran bila nekat kuliah di Jepang.


Suatu hari saat saya membantu salah satu teman satu Laboratorium saya, Kenny Lischer. Saat itu saya masih ingat betul, ba’da ashar kami yang sedang menunggu sebuah eksperimen. Waktu itu kami sedang berusaha untuk melihat keberhasilan kultur virus HIV yang diambil dari darah pasien AIDS yang belum juga sukses dikerjakan di Lab tempat saya kerja. Sore itu saya ditanya oleh Kenny, kemana saya akan melanjutkan S3 saat saya selesei S2 di FKUI, saya menjawab dengan lantang “Jerman Ken”, jawaban saya sebenarnya dipengaruhi harapan bahwa keberadaan bibi saya yang sudah tinggal dan memiliki anak di sana akan membantu.


Obrolan mengalir bersama Kenny, ia sangat antusias sekali untuk melanjutkan studinya di Eropa seperti Swis dan tentu juga jerman, entah bagaimana permulaannya, saya dan kenny sependapat untuk tidak melanjutkan S3 di Jepang, bukan tanpa sebab, sekali lagi, isu yang beredar di telinga kami bahwa pendidikan dan pola hidup di Jepang sangat disiplin dan memiliki waktu kuliah / kerja yang sangat tinggi dibandingkan Negara lain. Ya, kita tidak akan melanjutkan pendidikan kita di Jepang karena memang itu. Negeri Sakura itu kami delete bersama dari tujuan mimpi kami. Hehe..


                                                                      ***


Pada bulan pertengan 2014 Ibu saya jatuh sakit dan saya memutuskan untuk merawat ibu saya dan cuti dari tempat saya kerja, setelah ibu saya sembuh saya baru dapat menyelesaikan Tesis saya, dan pada bulan Juni saya alhamdulillah lulus dari FKUI. Pada Agustus 2014 saya bergabung di Kalbe Genomic, Stem Cell Cancer Institute milik PT. Kalbe Farma Tbk.  Cerita ini saya singkat karena hari-hari ini adalah waktu persimpangan terumit yang saya harus putuskan, saya hampir kehilangan tujuan.

Pada tanggal akhir September 2014 saya mendapatkan kabar dari Kenny bahwa dia sedang melanjutkan S3 di Jepang beasiswa penuh dari pemerintahan Jepang  (tempat yang kita sepakati bersama menjadi tempat larangan kita S3) hahaa.. saya tertawa dan sempat meledeknya dan sempat berkelakar tentang kesepakatan itu, kemudian pada tanggal empat oktober 2014 saya mendapat BBM dari Kenny, bahwa ada kesempatan untuk mengikuti test S3 di NAIST selama kurang lebih dua minggu di Jepang, saya yang telah memendam keinginan S3 saya di Jerman meskipun aplikasi untuk beasiswa di sana sudah kepalang terkirim. Di sinilah point utama dalam setiap kesuksesan hidup yang biasanya kita sebut “network” maka dengan cerita saya ini dapat diambil kesimpulan bahwa network sangat penting, perluas jejaring pergaulan dengan organisasi maupun pergaulan informal seperti hobi dan obrolan warung kopi, kita tidak tahu persahabatan dan teman karib mana yang akan membawa kepada kesuksesan, tapi pelihara dan pupuklah jejaring yang kita miliki itu dengan baik.


Cerita ini berlanjut, saya langsung bersemangat untuk coba-coba ikut test di Jepang yang diinformasikan Kenny ini, saya langsung menghubungi seorang professor yang menjadi penanggungjawab seleksi ini. Informasi yang saya terima dari beliau bahwa saya harus mengikuti screening di kampus saya karena ini program merupakan program delegasi dari UI-NAIST semacam U to U, tapi Prof yang merekomendasikan bukan Prof yang saya kenal, saya menghubungi Prof Maksum Radji dari Farmasi UI karena beliau yang menjadi penganggungjawab program screening ini di kampus saya, tak saya sangka beliau sangat baik dan proaktif meladeni email saya. Tanpa saya sangka saya berhasil lolos dan diberikan kesempatan mewakili UI ke Jepang untuk test ini, saya bersama Aini Gusmira (dari Fakultas Farmasi) dan Sofi (dari FK) dan Tira dari IPB berangkat ke Jepang untuk mengikuti test tersebut kami juga bertemu dengan perwakilan dari banyak universitas dari negara lain memperebutkan kuota beasiswa MEXT 2015 dari pemerintah Jepang. Ini tips yang kedua, jangan malu dan jangan takut dalam mencoba sesuatu. Mungkin bisa saja saya menyerah dengan keadaan di mana prosefor penanggungjawab program ini bukan dari fakultas saya di FKUI tapi dari Farmasi, dalam hal hal positif keberanian lebih akan sangat membantu. Saya ingat waktu itu saya berpikir, coba saja nekat dulu, toh kalo tidak bisa nanti saya tidak akan menyesal karena saya sudah berusaha mencari informasi.


Test berlangsung selama dua minggu 19-30 Januari 2015, dengan kegiatan rotasi ke riset masing-masing Profesor di sana, kita juga diwajibkan presentasi tentang riset kita sebelumnya. Penilaian dari hasil penelitian adalah hal mutlak, kemudian diwajibkan pula kita untuk rotasi ke tempat professor tersebut untuk dinilai performa kita selama dua minggu melakukan riset bersamanya.


Usaha dan ikhtiar saya sudah lakukan, terakhir doa. Saya berdoa untuk apapun yang terbaik pada akhirnya, karena sejujurnya saya masih gamang dengan bagaimana sebenarnya atmosfer pendidikan di Jepang. Saya juga memohon kepada ibu saya berdoa seperti itu, meminta yang terbaik apapun keputusannya. Percayalah, doa yang dapat menembus pintu langit adalah doa ibu. Saya berani bertaruh bahwa setiap doa ibu yang terbisik di malam sepi untuk anaknya tak bisa ditolak oleh Gusti Allah. Pada enam Februari 2015, saya dalam perjalanan pulang ke rumah, mendapatkan email bahwa saya lolos dan berkesempatan untuk S3 di Jepang pada Oktober 2015 beasiswa penuh dari pemerintah Jepang melalui MEXT 2015. Bingung rasanya seakan antara bahagia dan sedih, campur aduk juga. Saat yang sama saya sedang menunggu pengumuman beasiswa DAAD untuk melanjutkan kuliah di LMU Jerman.


Saat saya test, saya sempat tertawa semalaman bersama Kenny karena membahas hal ini. Membahas tentang apa-apa yang kita inginkan sebenarnya belum tentu terbaik, apa yang kita takutkan juga belum tentu hal yang buruk, saya teringat ayat yang sangat saya hapal dan saya sukai yang Firman Nya seperti ini 


“ Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  
(QS. Al-Baqarah : 216).





Saat ini dua tahun dari hari itu saya merasakan hal lain di Jepang. Saya melihat negeri ini seperti negeri dongeng, di mana ada kerajaan yang tertua di dunia dengan rakyat yang bahagia, disiplin, serta pekerja keras juga sangat mencintai kaisar dan negaranya. Negeri yang penuh dengan kedamaian dan atmosfer tata krama dan tepo seliro yang tinggi. Professor saya di sini juga jauh dari bayangan saya, beliau sangat akrab dan humoris kepada kami sebagai mahasiswanya, jauh dari kesan feodalisme seorang professor yang tergambar dulu.


Saya menulis cerita ini semata-mata ingin berbagi kisah hidup dan berharap bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kehidupan tertutama yang masih berjuang menggapai pendidikan, jika kita dalam nelangsa pada perjalanan perjuangan pencarian beasiswa atau studi tersebut, teruslah berjalan maju, jangan berhenti, coba lagi, bangkit lagi.


Saya yakin bahwa perubahan besar yang pasti dalam proses kehidupan adalah pendidikan, saya tidak menyangkal bahwa beberapa orang bisa sukses tanpa pendidikan formal yang tinggi terutama bila membaca tentang cerita para pengusaha hebat. Tapi menurut saya pendidikan adalah investasi yang pasti dan tak terbantahkan lagi karena dengan pendidikan manusia dapat memahami secara jernih setiap masalah yang terjadi, dengan pendidikan pula sebagian bidang memang memerlukan kualifikasi. Toh tidak semua orang dapat keberuntungan saat berwirausaha dan dapat memahami lika-liku suatu bisnis. Pendidikan sejatinya akan menjadi jalan keluar dalam menerangi diri sendiri dan menjadi lampu terang pada setiap penyelesaian masalah bangsa. Karena pendidikan bukan untuk kemenangan diri sendiri, melainkan untuk memenangkan manusia dari pertempuran terhadap ketidakadilan dan ketidaksejahteraan hidup.

Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak mudah, tapi bukan suatu yang tidak mungkin. Kita bisa melawan keterbatasan itu dengan usaha dan doa. Melalui setiap proses yang terkadang membuat kita putus asa. Saya tidak menyangkal bahwa ada perbedaan kesulitan itu di setiap individu kita, pasti berbeda misalnya seorang anak menteri untuk sekolah sampai jenjang doktoral di luar negeri bila dibandingkan dengan anak seorang petani di desa. Tapi itulah kesuksesan, ini dilihat dimana kita mulai, bukan dilihat dimana kita sampai. Perjuangan perih di masa muda ini yang akan menjadi kebahagiaan yang berbeda saat kita tua nanti. Pemuda memang memiliki waktu luang dan stamina yang tinggi, lalu jika tidak ada motivasi untuk apa waktu muda ini kita habiskan tanpa isi. Ayo bangkit Pemuda Indonesia, mari melawan kebodohan dan kemalasan diri mulai hari ini.

(Yudhi Nugraha)