Jun 25, 2017

Lebaran Minoritas

safir..!! tajid ‘iwadhan ‘amman tufariquhu” (Imam Asy-Syafi'i)

Seketika ingat dengan pelajaran mahfudzot saat saya belajar di pondok dulu, yang artinya kira-kira begini : "Pergilah maka engkau akan dapati pengganti apa yang engkau tinggalkan". Kelanjutan mahfuzot ini silahkan cari sendiri karena pasti anda akan tertarik dengan kedalaman maknanya.

***
Sudah kali kedua saya tidak lebaran di Indonesia, tahun lalu saya pun menghabiskan hari raya di Jepang (bang toyib). Kali ini beruntungnya lebaran bertepatan dengan hari minggu, tahun lalu setelah solat Ied saya langsung masuk ke lab dan langsung mengerjakan hal biasa, seperti tidak ada peringatan apapun kecuali handphone yang lebih ramai dengan ucapan permohonan maaf dan sapaan-sapaan akrab dari keluarga di rumah. 

Karena bertepatan hari minggu, maka saya bisa lebih santai dan tidak masuk ke lab seperti lebaran tahun lalu. Setelah semalam saya mendapatkan makanan surga berisi nasi rendang, sayur ati dan opor ayam dari Mas Sarmoko dengan masakan super enak dari Istrinya yang sedang hamil (semoga Allah mempermudahlancarkan kehamilan dan kelahirannya nanti, amin). Saya dan Kenny Lischer mengobrol sambil menikmati makanan surga itu, karena kepalang larut malam, saya menunggu subuh hingga jam tiga pagi tapi setelah jam tiga pagi itu saya menunggu jam tujuh untuk solat ied rasanya lama sekali, seperti menunggu kera sakti pulang mencari kitab suci.

Setelah solat Ied bersama keluarga muslim di kampus saya tinggal dan pastinya melanjutkannya dengan melahap hidangan ala-ala timur tengah dan Indonesia-Malaysia. Entah kebetulan atau bagaimana, saya dan Kenny mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tour melihat sejarah paling kuno dari peradaban Jepang di Nara dari kampus, karena gratis saya mengikutinya tanpa tahu itu bertepatan pada hari lebaran, jadilah kami mengikuti tour ini setelah solat ied.

Hari yang aneh memang, di mana orang-orang berkumpul dengan keluarga, saya malah berwisata sejarah ke temple. Let it flow sajalah yud, daripada boring di kamar mending jalan-jalan. Toh tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali melihat teman-teman di Indonesia memposting makanan-makanan surga (percayalah ini paling memilukan buat perantau). 

Saya diajak mengenal sejarah Jepang lebih dekat dengan berkunjung ke Horyuji Temple and Saidaiji Temple di Nara. Horyuji ini konon adalah temple pertama yang dibangun pada tahun 607 dan sampai sekarang masih terjaga dengan baik. Sedangkan di Saidaiji saya berkesempatan untuk melihat upacara minum teh hijau dan meminumnya dengan mangkuk super besar (lebih dari porsi makan saya). Foto-foto perjalanan saya posting di bagian bawah blog.

Selama di perjalanan saya berbincang banyak dengan Kenny dan dengan diri saya sendiri tentang sejarah ini yang memberikan pelajaran mengenai makna-makna kehidupan. Saya sadar, kehidupan manusia sangat singkat, setiap kita akan pergi dari satu dimensi ke dimensi lain. Tapi kebaikan akan kekal bahkan setelah kematian. Analogi sederhana bagaimana mereka menjaga dengan baik, bangunan, tradisi dan filosofi kehidupan di sini adalah bukan perkara mudah, dalam sejarahnya Jepang telah digempur (dan menggempur) negara-negara lain dan peristiwa-peristiwa besar telah hatam dialaminya, tapi bangunan ini, kokoh berdiri tak dimakan modernitas. 

Saya yakin bahwa momentum lebaran ini berasa sekali untuk muslim yang tinggal di daerah non-muslim dan terpaksa menjadi minoritas, tidak ada kumpul keluarga kecuali mendengar suara dan text rindu di depan layar. Atau menikmati siksaan dengan melihat makanan surga opor ayam, rendang dan kawan-kawannya seliweran lebih banyak di sosial media. Tidak ada suasana dan atmosfer lebaran seperti biasanya. Setiap perantau adalah pejuang, memperjuangkan mimpi dan cita-cita yang luhur. Perantauan adalah sekolah tersendiri bagi kedewasaan, untuk memahami bahwa tujuan semua ini untuk memandirikan diri dan menghidupi kehidupan.

Perantau dapat merasakan bagaimana jernihnya berpikir. Karena hanya dengan menjadi minoritas, kita dapat mengerti bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran atau hanya pembenaran. Bahwa saat menjadi mayoritas, kebanyakan dari kita lupa diri dan mencoba merekayasa makna dalam bertoleransi pada perbedaan cara pandang dan latar belakang masing-masing individu. Perantau berjuang memahami perbedaan dan mencoba menyesuaikan diri tanpa menjadi orang lain

Khutbah hari ini saya juga diingatkan kembali bahwa islam menjadi agama yang dapat masuk ke dalam tradisi dan adat masyarakat manapun selama tidak bertentangan kepada maqosidus syariah, karena sesungguhnya islam adalah rahmatan lil alamin. Perspektif dan guratan tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak manapun, hanya upaya untuk mengingatkan diri kembali.

Cobalah untuk hidup di lingkungan yang berbeda dengan kita, untuk benar-benar mengenali diri sendiri dan menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Saya melihat hampir semua orang besar lahir dari perantauan.

Begitulah coretan ngalor ngidul ini saya tulis untuk mengguratkan cerita konyol hari ini, dengan "berziarah" ke temple kuno tepat di hari lebaran. Tapi saya percaya, bagaimanapun getirnya pejuang-rantau, kisahnya akan tetap terasa manis untuk diceritakan.

Salam Rindu, 
Nara 20170625
Yudhi Nugraha


*****
Oleh-oleh foto jalan-jalan hari ini :




(Tradisi jamuan teh)

(Horyuji Temple )

(Saidaiji Temple)
(Upacara minum teh dan ukuran mangkok buat minumnya)

(Terakhir, foto kucing yang hidup bersama kami mahasiswa NAIST, 
ga ada kaitannya ama cerita di sini )



No comments:

Post a Comment