Satu hari sebelum saya menikah tepatnya pada 13 Oktober 2017, keluarga saya mengundang warga desa untuk mengadakan pengajian sekalian tasyakuran di rumah. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan. Jiwa intorvert saya membuat saya sungkan ikut kegiatan ini, bahkan saat pengajian akan dimulai saya masih sibuk nyari sepatu dan dasi di Mall of Serang, sampai ditelepon oleh Bule Enday dan Ibu saya, hahaa..
Ba’da ashar para warga sudah kumpul dan siap memulai doa bersama saya baru tiba dan langsung duduk sarungan di pojokan. Setelah ayah saya memberikan sambutan kepada warga dengan bahasa jawa halus yang saya tidak mengerti, tiba-tiba tanpa disangka pengajian dan doa tersebut dipimpin oleh Kyai pertama saya, Ustad Khaer (begitu saya biasa memanggil). Saat beliau memimpin doa, saya sama sekali tidak khusyu malah kepala saya berputar bernostalgia masa lampau, dan hanya mengucapkan amin-amin sambil melihat ekspresi wajah beliau dari jauhnya tempat duduk saya, beliau dengan mata terpejam memanjatkan permohonan pada Gusti Allah untuk perjalanan pernikahan saya, dan semua jamaah menjawab yang sama, aamiin dengan khusyu kecuali saya sendiri yang malah bengong.
Saat saya berumur tujuh tahun saya dikirim untuk belajar ngaji di pesantren tradisional miliknya. Pondoknya terbuat dari bambu, tak terkecuali lantainya pun terbuat dari susunan bambu yang terkadang menjepit kulit saya saat tidur atau setidaknya membuat motif anyam di pipi atau lengan saya yang menempel pada lantai (bentuk bangunannya pondokan dengan lantai panggung). Hanya tempat ngaji / langgar bersama yang terbuat dari semen berupa bangunan permanen, sisanya pondok tradisional ini terbuat dari bilik bambu. Keluarga saya mengirim saya ke sini bukan hanya karena lokasinya dekat, tapi juga kemasyhuran Ustad Khaer di desa saya tentang kapasitasnya memahami agama, membedah banyak kitab kuning, nahwu-sorof bahkan mantiq.
Ustad Khaer memiliki beberapa angsa (disebut soang, mungkin dalam bahasa latin, Cygnus olor) yang sering saya goda sebelum akhirnya saya dipatok. Saya memasak bersama kakak-kakak dengan membawa beras dari rumah untuk dimakan bersama-sama. Lauknya seadanya, kadang ikan yang masih belum baligh, atau telor ceplok kalo ada rezeki.
Saya sekolah di Sekolah Dasar Banjar Agung IV sekitar 500 meter dari pondok. Malam hari saya mulai mengaji mulai dari baca alquran dan beberapa kitab kuning. Kakak saya yang kedua juga sempat mesantren di sini tapi malah belajar gitar dengan masyarakat sekitar jadi akhirnya keluar. Tapi untungnya kakak saya ini yang akhirnya mengajarkan saya gitar dan piano di kemudian hari. Ada hikmahnya juga kan, hahaha..
Ustad Khaer memiliki kebun yang ia cangkul sendiri, daripada menyuruh santrinya yang banyak dan masih muda itu, beliau memilih untuk mencari uang bukan dari bayaran santri atau mencari doantur dari luar pondok. Beliau menanam tanaman di sekitaran pondok, memelihara ayam, soang dan bebek yang kadang ganggu kita makan (kadang ikut makan bareng juga). Ustad Khaer memilih hidup sangat sederhana dan mengabdi dalam sepi jauh dari hingar bingar politik apalagi kekuasaan. Sayangnya dengan kapasitas kemampuan agamanya, beliau memilih zuhud jauh dari kepopuleran, tidak twiteran, debat di FB untuk hardik sana-sini, atau nulis blog ga penting kayak saya ini. hhaa..
Kesan bersama ustad Khaer ini sangat mendalam, sebelum akhirnya saat saya kelas enam SD, orang tua saya mengajak saya memilih beberapa pesantren modern. Saya melihat banyak perbedaan antara pesantren modern dan klasik, tapi keduanya memang lebih memiliki banyak kesamaan. Tempat yang tepat menuntut ilmu agama islam.
Ustad Khaer ini adalah satu dari ribuan Kyai yang luar biasa mengagumkan, setelah saya besar saya mendapatkan kesempatan untuk bersilaturahim ke banyak kyai hebat yang saya belum sempat berguru di peloksok Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan tentunya Banten. Saya berharap masih punya kesempatan untuk berguru langsung kepada mereka di kemudian hari.
***
Di saat yang berbeda dimensinya saat ini, saya sedang menuntut ilmu jauh dari soang-soang yang “menyosor” saya, atau lantai bambu yang menjepit saat tidur, dan teladan kesederhanaan Kyai. Pagi ini saya menulis tulisan ini sembari mengikuti progres meeting bulanan tim riset yang sedang berjibaku menemukan misteri interaksi obat dengan beberapa protein, projek kerjasama milik sang profesor (kisah saya sampai di sini pernah saya tulis di tautan ini)
Hidup seperti kotak pandora yang tidak kita mengerti apa yang akan menjadi kesempatan kita. Saya berharap kisah saya menjadi motivasi untuk para santri “pondok rombeng” bahwa setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk mencapai apapun yang dicita-citakan. Kita bukan yang ada pada saat ini, kita adalah tujuan dan visi kita di masa depan.
Saya percaya dan berharap, doa-doa Kyai saya masih akan terus mengalir di nadi saya. Doa yang lembut saat diucapkannya, usapan halus tangannya di kepala saya saat saya mencium tangannya, dan keridhoan sang kyai untuk setiap langkah santrinya.
Terima kasih Ustad Khaer. Mungkin tulisan ini akan sulit sampai kepadamu, tapi keteladanan akan kesederhanaanmu dahulu adalah hal berharga pada setiap keputusan hidupku.
Yudhi Nugraha
(Nara 2017/12/18)
No comments:
Post a Comment