Dec 22, 2017

Tembok Internet Tiongkok

Di depan Beijing National Stadium
Prolog

Satu minggu setelah menikah, saya terbang ke Beijing untuk mengikuti Bio-International Workshop yang diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama antara University of California Davis Amerika Serikat, Institute of Genetics and Developmental Biology (IGDB), Chinese Academy of Sciences, dan tentu saja, NAIST tempat saya kuliah.

Penerbangan dari Kansai International Airport ke Beijing Capital International Airport (PEK) memakan waktu kira-kira tiga jam lima belas menit menggunakan maskapai All Nippon Airways. Setelah sampai di Beijing Airport saya terkejut melihat besarnya bandara dan begitu banyaknya pengunjung di bandara tersebut

Beijing Capital International Airport (PEK) (Dokumentasi Pribadi)
Saya tinggal di dua tempat berbeda yang pertama di IGDB dan yang kedua di Beijing Ya Ao Hotel. Saya senang karena panitia menyediakan makanan halal dan sangat mengakomodasi keperluan beribadah seperti ruang untuk solat dan waktu meski terbatas. Tidak banyak waktu luang yang saya miliki karena workshop sangat padat bahkan waktu senggang malam digunakan untuk diskusi satu group bersama tiga institusi berbeda. Anehnya ada program "Dance your PhD" di mana kita harus mempresentasikan rumitnya project riset kita ke dalam dance yang kebanyakan PhD candidate akan kesulitan untuk mencoba menggerakan badannya, terlebih rasa malu yang luar biasa. hahaa

Kamar saya di IGDB (Dokumentasi Pribadi)


Tembok Besar China

Pada akhir pekan sebelum pulang ke Jepang, ada culture visit, saya bersama teman-teman pergi ke Tembok Besar China, dari dahulu saya sangat ingin sekali ke sana. Pagi hari saya berangkat dari Hotel Ya Ao Beijing menuju tembok besar china, setelah perjalanan panjang akhirnya kita sampai di tembok besar cina. Tembok ini membentang sekitar 21.196,18 km dan telah berusia 2.300 tahun, meskipun saat ini hampir sepertiganya dari Tembok Besar Cina telah menghilang tanpa jejak. Tembok ini dibangun dengan tepung beras ketan untuk menyatukan batu batanya. Awalnya saya berjalan jauh mengikuti tour, saya berjalan bersama Pak Anam yang makan kuaci selama perjalanan, saya mendekatinya sekalian ngambil kuaci di kantong doraemonnya.

Bersama Pak Anam

Pada kesempatan pendakian kali ini saya dan Mas Moko memilih untuk menikmati tembok cina dengan cara yg berbeda, yaitu menghilang dari group tour. Sempat di cari-cari juga oleh panitia, tapi kita akhirnya dapat menghubungi mereka dengan bantuan wifi yang disediakan di kedai kopi yang harganya rada-rada mahal. Mungkin ongkos wifi. haha... tapi sebagai suami yang baru menikah satu minggu, tidak lupa saya membuat tulisan ala-ala untuk sang istri. hhee

For my beloved wife, Risania.

Penutup

Waktu terus berputar, rodanya melindas apapun yang melawan perubahan. Tembok Besar China mungkin saat ini telah kehilangan fungsi utama untuk perlindungan dan tinggal menjadi monumen pariwisata di Tiongkok. Bahkan jikapun terjadi perang, lawan akan menyerang dengan pesawat tempur atau rudal balistik antar benua.

Tapi ada yang unik dari negara ini, pelindungan dan tembok besar china saat ini diadaptasi pada sistem koneksi internetnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa raksasa-raksasa teknologi seperti facebook, whatsapp, instagram, bahkan google tidak bisa diakses di Tiongkok (meskipun saya masih bandel dengan menggunakan VPN).

Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ini, tidak menggunakan aplikasi-aplikasi buatan Amerika tersebut. Mereka menggunakan aplikasi WeChat yang terkoneksi dengan berbagai hal, seperti menjadi sosial media mereka sendiri bahkan terkoneksi pada sistem e-commerce mereka. Google mereka ganti dengan Baidu, jadi tidak dikenal istilah “googling dulu gih” mungkin diganti menjadi “ngebaidu dulu”. Hhaa

Tiongkok mungkin saja mengadaptasi ide pembangunan Tembok Besar China yang dibuat leluhurnya menjadi Tembok Koneksi Internet. Tiongkok sadar bahwa perang saat ini adalah berada pada kabel koneksi itu. Persebaran propaganda, lewat konten-konten hoax dan data-data palsu adalah potensi besar untuk dijadikan senjata negara lain menyerang stabilitas suatu negara dan atau bahkan memporakporandakannya. Kita bisa membaca lagi peran hoax dalam perang Irak dan Syuriah.

Meskipun banyak terjadi penentangan akan hal ini (termasuk dari saya sebagai tourist), toh pemerintahnya tetap bergeming. Saya mungkin tidak sepakat jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan hak asasi untuk mendapatkan informasi sebebas-bebasnya dan hak berpendapat di muka umum. Tapi mungkin Tiongkok tahu, masyarakatnya belum siap untuk menerima gempuran hoax dan isu negatif untuk pemerintahnya, dan perut 1,379 miliar kepala manusia yang perlu diisi adalah lebih penting ketimbang koar-koar hak asasi sampai berbusa tak berguna.

Tiongkok sebagai negara dengan penduduk terbesar dunia dan menjadi pengekspor senjata terbesar ketiga di dunia menggantikan Jerman, bahkan selama 2010-2014 ekspor senjatanya naik 143%, 68% senjata ini diekpor ke Pakistan, Bangladesh, Myanmar dan ke 18 negara Afrika. Tiongkok juga menempati urutan ketiga kekuatan militer setelah Rusia dan USA.

Bahkan, Global Firepower Index menyebutkan bahwa Tiongkok menempati urutan ketiga kekuatan militer terbesar di dunia setelah Rusia dan AS. Sampai saat ini negara dengan peringkat pertama yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia adalah Tiongkok (US$ 3,89 triliun). Sebagai gambaran cadangan devisa Indonesia rekor tertingginya hanya US$129,4 miliar. Jepang yang notabene adalah negara paling maju di Asia saja hanya memiliki cadangan devisa sebesar US$ 1,25 triliun.

Tiongkok sudah sampai sana, kita sampai mana?



Yudhi Nugraha
(Nara, 20172212)

No comments:

Post a Comment