Urgensi Kontemplasi Diri.
Perjalanan Jakarta menuju Serang kali ini tetiba membuat saya ingin menulis begitu saja di HP yang LCD nya rusak, hhe (jadi maaf kalo typo). Tidak terasa sudah empat puluh empat hari saya tidak bekerja secara profesi, setelah intership di Jepang pada akhir Januari 2015, selain melengkapi perlengkapan dokumen beasiswa manbusho, dan fokus pada silaturahim network saya rasa sudah usang dimakan rutinitas kuliah dan bekerja di Jakarta, tapi juga sengaja menyempatkan jeda panjang ini untuk kontemplasi diri.
Kontemplasi diri secara definitif terminologis saya merupakan renungan panjang untuk mengenal diri sendiri, dalam konsep “siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” kontemplasi diri dikenal sebagai fisrt step penting sekali mencapai keyakinan terhadap ketuhanan. Pada salah satu kajian di taman ismail marzuki tanggal 13 maret 2015 lalu bertema “ateisme agama” dibahas secara komperhensif tentang pandangan beberapa tokoh pemikir islam mengenai ateisme, salah satu penyaji menuturkan bahwa ateisme merupakan fase penting saat kita mencari eksistensi Tuhan, seperti Nabi Ibrahim saat bertanya siapa itu Tuhan, Nabi Ibrahim tidak langsung menemukan Allah sebagai Tuhan, melainkan mendeskripsikan rembulan dan matahari terlebih dahulu sebagai gambaran Tuhan. Pada fase ini mungkin jika dipandang oleh “kaum penghuni surga” yang biasa menyalah-nyalahkan dan “ngerasa bener sendiri” itu, Ibrahim telah kafir. Hehe.. tapi tidak menurut saya, Ibrahim tidak berislam dengan ikut-ikutan pengajian, mengikuti tren gaya bahasa kearab-araban ana-ente, atau dilahirkan langsung secara de facto menjadi muslim, melainkan Ibraahim (bapak dari semua agama ini) mencari dulu dan berkontemplasi dulu.
Hal itu merupakan sebab semua nabi, bahkan Nabiyullah Muhammad Shalallhu alaihi wassalam pun juga berkontemplasi diri, para sahabat, wali sanga serta para ulama besar dahulu juga berkontemplasi diri. Untuk apa beliau-beliau itu berdiam diri di gua? Jika jarak dengan Allah sangat dekat? Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi arti pentingnya kontemplasi diri. Entah apa nama dan “alih bahasa” nya, dari mulai “bertapa” sampai yang terdengar islami seperti “I’tikaf” adalah cara kontemplasi diri untuk sejenak merenung mengenal diri sendiri untuk mengenal Tuhan.
Paradigma berfikir dan kefahaman mengenai agama menurut saya adalah nikmat Allah luar biasa yang tidak bisa diukur, diberikan pada orang-orang tertentu yang Allah kekhendaki (saya berharap sekali bisa masuk orang yang difahamkan agamanya). Ada orang yang difahamkan dengan mudah agamanya oleh Allah, ada juga yang sengaja diberikan kesukaran agar terus berusaha, dan bahkan yang paling seram, ada juga yang sengaja ditutupi dari hatinya dari kebenaran, dalam alquran disebut “sumum, bukmun umyun fahum la yarjiun”.
Pada awal surat albaqoroh, Allah membagi tiga golongan umat manusia. Golongan pertama digambarkan pada ayat 1-5 yakni orang-orang yang diberikan petunjuk, orang yang lempeng, yang secara jelas digambarkan bahwa mereka itu menerima dan memahami kitab (petunjuk) secara komperhensif, secara balance berhasil melaksanakan tugas keTuhanan beragama dan tugas kemanusiaan (amanau dan amal solihat). Golongan kedua ada pada ayat 6-7 yang disebutkan bahwa mereka itu Kafir, arti kafir sendiri sebenarnya ka fa dan ro, yakni tertutup, menutupi atau ditutupi. Ya, jika kita melihat buku maka kita menemukan “Cover” artinya ya sama, penutup. Golongan ini emang ditutup hati dan pemikirannya dari kebenaran, makanya Allah bilang “sama aja mereka dikasih tau ga dikasih tau juga ya begitu”. Pada ayat ke 8-20 adalah gambaran golongan yang ketiga adalah golongan orang yang munafik, mereka itu seperti duri dalam daging, bilang beriman tapi sebenernya tipu-tipu, pada ayat itu juga digambarkan mereka selalu menampilkan diri bahwa mereka beriman, tapi sebenernya engga. Allah secara preogratif memilih pada golongan mana kita kita ini, ya saya percaya itu, seperti kita tidak memilih lahir dari siapa. Siapa yang beragama apa biasanya dipengaruhi dari siapa ia dilahirkan, atau eksplisit reasonnya, Allah juga memilih kepada siapa ia akan memberikan hidayah, bahkan terkadang sekaliber paman Nabi atau anak Nabi sendiripun tidak menjadi pilihannya. Allah secara preogratif memilihnya. Tapi dengan kontemplasi diri sejenak, atau proses pengenalan diri dengan I’tikaf atau bertapa itu, harapannya bisa menjadi usaha tahap awal untuk PDKT kepada Allah, dan memahami apa maksud semua yang telah dan akan terjadi pada diri kita.
Terkadang saya merasa bahwa keimanan kita dipengaruhi oleh trend, keimanan hanya sebuah ritual ibadah yang ikut-ikutan, tanpa pernah mencoba memahami secara general maksud dari perintah dan larangan tersebut. Parahnya lagi, sekarang ini banyak kepentingan yang dicampuradukkan menjadi syariah. Lihatlah bagaimana kegencaran kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan menggerogoti Islam. Dari mulai partai politik yang menjual islam sebagai iklannya, atau bisnis-bisnis perbankan yang menjual kata “syariah” di belakang namanya, atau dimanfaatkan oleh pemahaman jihad sebagai mortir. Kajian-kajian islam saat ini juga terkotak-kotak, eksklusif untuk kaumnya sendiri, padahal jika mereka yakin dengan apa yang difahaminya, mereka tidak akan segan untuk memberi ruang diskusi atau jika dipertemukan oleh paradigma dan kesehafaman baru dan berbeda. Mereka juga lupa bahwa yang seharusnya “di-dakwahi” ya mereka yang lagi di luar masjid/pengajian. Orang yang dateng ke pengajian atau masjid sudah tentu memiliki keinginan untuk beriman, tanpa dinasehati lagi, tanpa di-dakwahi ini itu lagi. Kita lupa, tugas dakwah kita dimana, lalu bagaimana manusia-manusia yang belum pernah mendengar tentang Islam? Seperti di negara-negara tertentu, atau di peloksok tak terjamah oleh dakwah.
Muslim saat ini terkotak-kotak pada pandangannya sendiri, ada yang mencoba kritis dibilang liberal, ada yang mau berjuang dibilang radikal, ada yang tulus berislam tapi malah dimanfaatkan, ada yang apatis terhadap pengetahuan islam dibilang kafir, ada yang beda aliran dibilang sesat, ada yang beda pandangan dibilang bukan kaumnya, ada yang bertakwa bukan mengajak kebaikan pada orang lain malah eksklusif sendiri, nganggep orang lain hanya pantes jadi kerak neraka, ada juga yang mbambung dan masih bodoh tapi soksokan nulis ini itu (saya) hhee. Atas dasar semua itu saya berharap kita sebagai orang islam, urgensi mendasar sekali untuk kita mengenal kembali keislaman kita. Tanpa dipengaruhi oleh media, trend bahkan tulisan aneh saya ini dengan berkontemplasi diri dan membuka diri dari pemahaman orang lain, berfikir secara jernih dan mendalam tentang kualitas diri kita. Wallahu a’lam
Perjalanan Jakarta menuju Serang kali ini tetiba membuat saya ingin menulis begitu saja di HP yang LCD nya rusak, hhe (jadi maaf kalo typo). Tidak terasa sudah empat puluh empat hari saya tidak bekerja secara profesi, setelah intership di Jepang pada akhir Januari 2015, selain melengkapi perlengkapan dokumen beasiswa manbusho, dan fokus pada silaturahim network saya rasa sudah usang dimakan rutinitas kuliah dan bekerja di Jakarta, tapi juga sengaja menyempatkan jeda panjang ini untuk kontemplasi diri.
Kontemplasi diri secara definitif terminologis saya merupakan renungan panjang untuk mengenal diri sendiri, dalam konsep “siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” kontemplasi diri dikenal sebagai fisrt step penting sekali mencapai keyakinan terhadap ketuhanan. Pada salah satu kajian di taman ismail marzuki tanggal 13 maret 2015 lalu bertema “ateisme agama” dibahas secara komperhensif tentang pandangan beberapa tokoh pemikir islam mengenai ateisme, salah satu penyaji menuturkan bahwa ateisme merupakan fase penting saat kita mencari eksistensi Tuhan, seperti Nabi Ibrahim saat bertanya siapa itu Tuhan, Nabi Ibrahim tidak langsung menemukan Allah sebagai Tuhan, melainkan mendeskripsikan rembulan dan matahari terlebih dahulu sebagai gambaran Tuhan. Pada fase ini mungkin jika dipandang oleh “kaum penghuni surga” yang biasa menyalah-nyalahkan dan “ngerasa bener sendiri” itu, Ibrahim telah kafir. Hehe.. tapi tidak menurut saya, Ibrahim tidak berislam dengan ikut-ikutan pengajian, mengikuti tren gaya bahasa kearab-araban ana-ente, atau dilahirkan langsung secara de facto menjadi muslim, melainkan Ibraahim (bapak dari semua agama ini) mencari dulu dan berkontemplasi dulu.
Hal itu merupakan sebab semua nabi, bahkan Nabiyullah Muhammad Shalallhu alaihi wassalam pun juga berkontemplasi diri, para sahabat, wali sanga serta para ulama besar dahulu juga berkontemplasi diri. Untuk apa beliau-beliau itu berdiam diri di gua? Jika jarak dengan Allah sangat dekat? Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi arti pentingnya kontemplasi diri. Entah apa nama dan “alih bahasa” nya, dari mulai “bertapa” sampai yang terdengar islami seperti “I’tikaf” adalah cara kontemplasi diri untuk sejenak merenung mengenal diri sendiri untuk mengenal Tuhan.
Paradigma berfikir dan kefahaman mengenai agama menurut saya adalah nikmat Allah luar biasa yang tidak bisa diukur, diberikan pada orang-orang tertentu yang Allah kekhendaki (saya berharap sekali bisa masuk orang yang difahamkan agamanya). Ada orang yang difahamkan dengan mudah agamanya oleh Allah, ada juga yang sengaja diberikan kesukaran agar terus berusaha, dan bahkan yang paling seram, ada juga yang sengaja ditutupi dari hatinya dari kebenaran, dalam alquran disebut “sumum, bukmun umyun fahum la yarjiun”.
Pada awal surat albaqoroh, Allah membagi tiga golongan umat manusia. Golongan pertama digambarkan pada ayat 1-5 yakni orang-orang yang diberikan petunjuk, orang yang lempeng, yang secara jelas digambarkan bahwa mereka itu menerima dan memahami kitab (petunjuk) secara komperhensif, secara balance berhasil melaksanakan tugas keTuhanan beragama dan tugas kemanusiaan (amanau dan amal solihat). Golongan kedua ada pada ayat 6-7 yang disebutkan bahwa mereka itu Kafir, arti kafir sendiri sebenarnya ka fa dan ro, yakni tertutup, menutupi atau ditutupi. Ya, jika kita melihat buku maka kita menemukan “Cover” artinya ya sama, penutup. Golongan ini emang ditutup hati dan pemikirannya dari kebenaran, makanya Allah bilang “sama aja mereka dikasih tau ga dikasih tau juga ya begitu”. Pada ayat ke 8-20 adalah gambaran golongan yang ketiga adalah golongan orang yang munafik, mereka itu seperti duri dalam daging, bilang beriman tapi sebenernya tipu-tipu, pada ayat itu juga digambarkan mereka selalu menampilkan diri bahwa mereka beriman, tapi sebenernya engga. Allah secara preogratif memilih pada golongan mana kita kita ini, ya saya percaya itu, seperti kita tidak memilih lahir dari siapa. Siapa yang beragama apa biasanya dipengaruhi dari siapa ia dilahirkan, atau eksplisit reasonnya, Allah juga memilih kepada siapa ia akan memberikan hidayah, bahkan terkadang sekaliber paman Nabi atau anak Nabi sendiripun tidak menjadi pilihannya. Allah secara preogratif memilihnya. Tapi dengan kontemplasi diri sejenak, atau proses pengenalan diri dengan I’tikaf atau bertapa itu, harapannya bisa menjadi usaha tahap awal untuk PDKT kepada Allah, dan memahami apa maksud semua yang telah dan akan terjadi pada diri kita.
Terkadang saya merasa bahwa keimanan kita dipengaruhi oleh trend, keimanan hanya sebuah ritual ibadah yang ikut-ikutan, tanpa pernah mencoba memahami secara general maksud dari perintah dan larangan tersebut. Parahnya lagi, sekarang ini banyak kepentingan yang dicampuradukkan menjadi syariah. Lihatlah bagaimana kegencaran kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan menggerogoti Islam. Dari mulai partai politik yang menjual islam sebagai iklannya, atau bisnis-bisnis perbankan yang menjual kata “syariah” di belakang namanya, atau dimanfaatkan oleh pemahaman jihad sebagai mortir. Kajian-kajian islam saat ini juga terkotak-kotak, eksklusif untuk kaumnya sendiri, padahal jika mereka yakin dengan apa yang difahaminya, mereka tidak akan segan untuk memberi ruang diskusi atau jika dipertemukan oleh paradigma dan kesehafaman baru dan berbeda. Mereka juga lupa bahwa yang seharusnya “di-dakwahi” ya mereka yang lagi di luar masjid/pengajian. Orang yang dateng ke pengajian atau masjid sudah tentu memiliki keinginan untuk beriman, tanpa dinasehati lagi, tanpa di-dakwahi ini itu lagi. Kita lupa, tugas dakwah kita dimana, lalu bagaimana manusia-manusia yang belum pernah mendengar tentang Islam? Seperti di negara-negara tertentu, atau di peloksok tak terjamah oleh dakwah.
Muslim saat ini terkotak-kotak pada pandangannya sendiri, ada yang mencoba kritis dibilang liberal, ada yang mau berjuang dibilang radikal, ada yang tulus berislam tapi malah dimanfaatkan, ada yang apatis terhadap pengetahuan islam dibilang kafir, ada yang beda aliran dibilang sesat, ada yang beda pandangan dibilang bukan kaumnya, ada yang bertakwa bukan mengajak kebaikan pada orang lain malah eksklusif sendiri, nganggep orang lain hanya pantes jadi kerak neraka, ada juga yang mbambung dan masih bodoh tapi soksokan nulis ini itu (saya) hhee. Atas dasar semua itu saya berharap kita sebagai orang islam, urgensi mendasar sekali untuk kita mengenal kembali keislaman kita. Tanpa dipengaruhi oleh media, trend bahkan tulisan aneh saya ini dengan berkontemplasi diri dan membuka diri dari pemahaman orang lain, berfikir secara jernih dan mendalam tentang kualitas diri kita. Wallahu a’lam