Manusia
secara lahiriah biologis memiliki rata-rata kebutuhan yang sama, seperti
kebutuhan makan minum dan beristirahat, namun manusia memiliki perbedaan yang
signifikan dilihat pada kapabilitas dan kapasitasnya. Perbedaan ini yang
menjadikan manusia dalam personalitinya berbeda satu dengan yang lainnya secara
peran dan pengabdian pada kemanusiaan.
Kapasitas
dan kapabilitas sebenarnya dapat dianalogikan seperti keterbatasan. Analogi
sederhananya seperti : beberapa orang
dapat makan nasi sebanyak dua piring (saya contohnya) dan sebagian lainnya,
makan dengan setengah porsi saja sudah kekenyangan. Ini analogi sederhana dari
keterbatasan. Saya dahulu hanya bisa makan satu piring tapi karena saya ingin
meningkatkan kapasitas perut saya, saya berusaha meningkatkan kapasitas itu
menjadi dua piring, dan akhirnya bisa. Seperti itu pula dengan belajar, dengan
berpikir, dengan menghadapi sebuah masalah.
Kapasitas
dan kapabilitas seorang presiden perusahaan contohnya, akan jauh berbeda dengan
kapasitas pekerjanya dalam hal pengelolaan dan manajemen perusahaan, kapasitas
dan kapabilitas itu bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Pada ajaran islam
dikenal konsep ilahiyah bahwa Gusti Allah yang Maha Agung tidak akan membebani
kita di luar kemampuan kita. Tapi sekarang yang jadi pertanyaan adalah, sampai
mana garis batasan kita? Kita sendiri tidak tahu. Atau Gusti Allah sebagai Rob
(tarbawi) sedang juga mendidik kita untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas kita sebagai manusia.
Di
kampus tempat saya belajar memiliki motto "outgrow your limit"
artinya tingkatkan keterbatasanmu (makanya di sini hal biasa menjadi tempat
riset sebagai tempat tinggal, hahaha..). Motto kampus ini menarik buat saya
jadikan bahan kontemplasi personal, bahwa kita ini sebagai manusia, hamba
Tuhan, dengan keterbatasannya menghadapi berbagai ujian kehidupan yang secara
tersirattapi masif akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita. Seperti
seorang dosen yang (biasanya) memberikan tugas sampai batasan mahasiswa merasa
tidak sanggup (pengalaman pribadi, lol), tapi setelah dilakukan ternyata
berhasil. Ataupun jika belum berhasil, garis keterbatasan itu setingkat lebih
naik dari sebelumnya.
Ada
kalanya kita sebagai manusia mengeluh dan menghardik dengan keadaan dan
tuntutan hidup yang terjadi, tapi bukankan dengan keadaan dan tuntutan itu bisa
kita jadikan sebagai bahan bakar kekhusyu'an kita memanggil Tuhan dalam hati?
Dalam setiap kesulitan masih berpaling?
Keterbatasan
adalah titik di mana kita dapat meningkatkan kemampuan. Kapabilitas dan
kapasitas kita sebagai manusia untuk dapat bermanfaat dan berdampak luas bagi
manusia lainnya. Saya berasumsi bahwa pelan tapi pasti jika kita berusaha untuk
membuang rasa malas dan meningkatkan keterbatasan kita dengan paksaan sampai
kita tahu titik keterbatasan kita itu, maka secara hukum sebab-akibat nantinya
kapasitas dan kapabilitas kita secara personal akan meningkat.
Persaingan
dalam segala aspek kehidupan, bijaksananya dilakukan dengan diri sendiri.
Maksud saya, tak usahlah kita membandingkan diri dengan orang lain, cukup saja
dengan berkaca diri bahwa apa yang kita lakukan hari ini lebih baik dari apa
yang kita lakukan di hari kemarin. Saat kita bersaing dengan diri sendiri, kita
akan lebih produktif dan jauh dari sakit hati apalagi dengki dengan
keberhasilan orang lain.
“Wahai Anak Adam, engkau lah yang mengisi (buku catatan amalmu) dan Aku yang mencatatnya" (Firman Allah dalam Hadist Qudsi, juga tersurat dalam Al-Infithar 10-12)
(Outgrow your limit, Jepang 11 Juli 2016)