Nov 1, 2016

Saya dan Protein Crystallography

Pada penantian purifikasi protein malam ini saya ingin menuliskan sebuah cerita tentang saya dan riset saya pada program doktoral selama satu tahun ini. Jauh sebelumnya, saya tidak mengetahui banyak tentang apa itu protein, yang saya ketahui hanya bahwa protein adalah salah satu dari biomakromolekul pada pelajaran Kimia Organik, sejawat dengan karbohidrat, asam nukleat dan lemak. 

Baru ketika saya belajar Rekayasa Protein kepada Guru Besar FKUI, Prof dr Amin Subandrio W Kusumo, PhD, SpMK (saat itu adalah wakil Menristek RI dan sekarang menjadi Direktur Lembaga Molekular Eijkmen), saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang protein dari beliau, meski pada jenjang magister saat itu, kecintaan saya pada penelitian stem cell untuk terapi medik, mendorong saya menyelesaikan tesis yang berupaya memecahkan solusi pada masalah medium aditif xenogenic untuk propagasi mesenchymal stem cell menggunakan PRP dalam aplikasi terapi stem cell yang lebih aman kepada pasien, terhindar dari syok anafilatik yang disebabkan oleh kontaminasi protein, saya berada dalam group riset yang hangat, bersama Prof dr Jeanne A Pawitan, MS PhD, Dr. dr Reza Y Purwoko, SpKK, DR Pudji Sari MS dan mba Evah Luviah (Published paper : 1,2)

September 2015, saya memulai kuliah doktoral di Jepang, meski masih dalam bidang yang sama yakni untuk melihat lebih dalam tentang proliferasi dan diferensiasi secara biomolekular untuk stem cell, kali ini saya lebih fokus pada protein yang bertanggung jawab terhadap pembelahan sel tersebut, terutama melalui mekanisme hippo pathway, (Project jelasnya belum boleh saya jelaskan). 

Saya memulai semuanya dari nol, dari belajar teori dan teknik kloning DNA, purifikasi protein menggunakan banyak sekali metode, sampai belajar membuat kristal protein dengan ribuan kondisi buffer untuk satu kali kristalisasi yang dihitung secara presisi, sampai difraksi menggunakan X-ray untuk mendeterminasi struktur protein tersebut di Spring8.

Betapa bahagianya saya, mendapat kesempatan belajar protein kristalografi ini dari pakar protein langsung, Prof. Toshio Hakoshima, PhD selain karena beliau dikenal telah terlibat pada lebih dari 3000 project protein di dunia (3), beliau juga merupakan murid langsung dari Alexander Rich saat di MIT dulu, yang tak lain adalah penemu Z DNA dan RNA editing bersama dengan James Watson (Penemu struktur DNA dengan Francis Crick) menggunakan X-ray Crystallography (4). Hakoshima-sensei biasa saya memanggilnya, selain dekan yang nyentrik, beliau juga sangat baik terhadap mahasiwanya, termasuk saya.
Saya dan Prof Hakoshima

Central dogma dalam bidang biomolekular kini sudah sampai pada stase kajian proteomik, jika dibandingkan pada era sebelumnya, masa-masa kejayaan upstream central dogma pada biomolekular terjadi pada beberapa puluh tahun silam seperti masa-masa perkembangan Human genome maping dan penemuan reverse-transciptase dari RNA menjadi DNA untuk rt-PCR, maka (menurut saya) proses translasi dari RNA ke protein dan riset mengenai protein secara komperhensif adalah hal yang paling menarik untuk diteliti sekarang ini.

Keunikan protein dibandingkan dengan biomakromolekul lain adalah bahwa hampir semua komunikasi sel mulai dari sistem imun, komunikasi sel / antar sel sampai dengan peranan obat dalam kesehatan akan melibatkan jalur molekular yang bergantung penuh pada peran protein, maka mengetahui tentang struktrur dari protein akan memberikan informasi yang detail kepada kita bagaimana semua hal itu terjadi.

29 dari 48 peraih Nobel sepanjang sejarah merupakan peneliti pada bidang crystallography, hal ini karena bidang ini merupakan hilir dari suatu riset dimana dengan ilmu ini, manusia dapat memahami bagaimana sebuah molekul tertentu melalui bentuk dan karakternya dapat berfungsi dan berdampak pada tingkat molekular dan kemudian manusia dapat mensiasati dan merekayasa melalui pengetahuan terhadap struktur tersebut sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya (5). 

Saat memahami struktur suatu protein, tidak hanya dapat menjawab secara terperinci bagaimana sebuah pathway molecular berjalan dalam sel tapi juga hal ini melahirkan manfaat dalam merekayasa hasil temuan untuk menjadi solusi dalam dunia kedokteran dan sains.

Contoh sederhananya, pemahaman bagaimana misalnya jika protein A dan B saat dia berikatan menjadi proses inisiasi dari proliferasi sel, maka dengan mengerti strukturnya, peneliti dapat membuat “selingkuhan” untuk A sehingga ikatan A-B tidak terbentuk dan akhirnya proses pembelahan sel dapat dihentikan (berguna untuk anti-cancer therapy).

Atau bagaimana jika pengetahuan mengenai obat tertentu yang menghambat mekanisme selular dapat direkayasa ikatannya sehingga lebih adikuat terhadap reseptor tertentu. Atau saat kebutuhan protein esensial dalam tubuh tidak terpenuhi karena adanya penyakit mutasi genetik, maka dengan keilmuan ini protein sintetik dapat dibuat dengan terlebih dahulu memahami dengan mendalam karakter dan strukturnya.

Pemahaman interaksi protein satu dengan yang lainnya ini jugalah bidang yang  membuahkan penemuan-penemuan biosensor atau alat deteksi suatu penyakit melalui ikatan spesifik antara antigen tertentu dengan yang lainnya.

****

Saya merasa sangat beruntung belajar pada bidang ini pada guru-guru terbaik yang saya temui, meskipun saya hanya sebutir pasir di samudera ilmu protein crystallography ini, tapi saya tetap berharap dapat memberikan kontribusi pada kebermanfaatan dan terlepas dari tujuan mengutamakan prestasi duniawi yang tak kekal.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ 
الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (Hadist Narrated. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338.)

Akhir cerita, saya memohon doa untuk dapat selalu kembali memurnikan niat dalam mencari ilmu dan doa untuk kelancaran studi saya, sehingga nanti dapat menjadi pendidik yang baik dengan meneladani guru-guru hebat tersebut sepulangnya saya ke Indonesia. Amin.

References  :

www.yudhinugraha.com

Oct 26, 2016

Santri dan Kebhinekaan

Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang tercatat terutama bila mengingat tragedi Perang Rakyat Semesta pada 10 November 1945 yang diinisasi oleh seruan Resolusi Jihad Kyai Hasyim melawan NICA  yang dibentuk 22 Oktober 1945. Perang ini sejatinya lahir dari kesuksesan Kyai Hasyim dalam konsolidasi berbagai faham umat islam saat itu dan ketokohannya mampu meyakinkan kyai dan santri untuk keluar pesantren dalam rangka jihad kemerdekaan. Peran santri kemudian berlanjut dalam menjaga kebhinekaan Republik Indonesia senantiasa dalam harmoni dan toleransi hingga saat ini, melawan pemikiran baru yang lahir dari berbagai macam kepentingan.

Saat ini pemikiran radikal dalam islam dan lahirnya gerakan-gerakan baru dalam berkeyakinan telah sampai pada kondisi yang membahayakan. Terkadang dengan nama Islam dan teriakan suci “Allahu akbar” namun secara kontradiktif dibarengi dengan tindakan intoleransi dan anarkisme, mencoreng nilai luhur perdamaian dalam beragama. Hal-hal semacam ini biasanya disebabkan oleh pendidikan keislaman yang prematur, instan dan/atau tanpa tuntunan yang tepat. Agenda politik dan propaganda import, yang bertujuan untuk memecah belah umat adalah dalang utama lahirnya pemikiran-pemikiran seperti ini, karena mereka faham betul kenyataan bahwa pemahaman yang salah terhadap agama dapat menjadi inisiasi dalam perpecahan dan memanfaatkan hal ini untuk tujuan besar mereka.

Pendidikan islam di pesantren sudah terlebih dahulu matang dalam menguasai perubahan jaman, apalagi dengan keterbukaan pandangan yang telah dini diajarkan dalam kurikulum pesantren. Beberapa kitab yang diajarkan mendeskripsikan perbedaan mazhab / pemikiran ulama terdahulu dengan (tak hanya) menggunakan pendekatan dalil (Naqli) tapi juga logika (akli), bukan lagi pada stase doktrin agama yang harus diterima begitu saja. Sehingga memang seharusnya alumni pesantren dapat berpikir terbuka, rasional serta jauh dari pemikiran doktrin yang merusak tatabudaya dan nilai persatuan dalam berbangsa dan bernegara

Namun tidak semua santri “cetakan” pesantren berhasil dalam mentransformasikan cara-cara berpikir logis tersebut, beberapa malah keluar dari jalur yang diharapkan. Meski dalam jumlah yang minoritas, alumni pesantren yang keluar jalur ini lebih berbahaya daripada kebanyakan manusia lain, karena dengan legitimasi kesantriannya serta ilmu agama setengah matangnya, ia akan lebih didengar di masyarakat ketimbang non-santri dan dapat dengan mudah memunculkan perpecahan umat daripada mempererat ukhuwah.

Sebelum saya pergi ke Jepang untuk melanjutkan studi Doktoral saya pada tahun 2015, saya sengaja sowan kepada KH. Mujiburrahman M.Pd untuk meminta wejangan dan nasihatnya. Kyai berpesan kepada saya yang secara tersirat bermakna “bahwa alumni seperti kapal laut yang sedang berlayar di lautan peradaban yang luas, untuk dapat sampai pada tujuan dan tidak tersesat, maka santri membutuhkan kompas, dan kompas itu adalah Pesantren”. Nasihat ini disampaikan dengan redaksi yang sederhana tapi memiliki makna yang dalam dan komperhensif, bahwa alumni-alumni yang sedang dalam perjuangannya di luar, sangatlah membutuhkan pesantren untuk dapat berkontemplasi dari mana dan bagaimana kita semua dibesarkan.

Saat ini dengan kemudahan teknologi informasi yang massif dan transportasi dunia yang kian cepat, peran santri di pergulatan dunia sedang dinantikan, tentu dengan ciri khas pemikiran santri yang unik. Doktrin pesantren dan kebebasan pemikiran terarah yang dimiliki santri. Kaum santri sudah seharusnya dapat menularkan kebermanfaatan kepada peradaban dunia. Ya, kebermanfaatan kepada kemanusiaan. Karena peradaban dibangun oleh cendikia yang berhenti memaki dan fokus menciptakan solusi. Tugas berat santri sebagai cendikia bukan hanya mendidik umat untuk melakukan ritual agama secara baik tapi juga menjaga perdamaian dalam kebhinekaan agama, pemikiran dan kepentingan. Karena sejatinya, berislam secara komperhensif melahirkan perbaikan diri, umat dan peradaban dengan doktrin perdamaian dan persatuan.

"Habis gelap, terbitlah santri"
(Jepang. 26 Oktober 2016)
             

x

Jul 11, 2016

Outgrow your limit

Manusia secara lahiriah biologis memiliki rata-rata kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan makan minum dan beristirahat, namun manusia memiliki perbedaan yang signifikan dilihat pada kapabilitas dan kapasitasnya. Perbedaan ini yang menjadikan manusia dalam personalitinya berbeda satu dengan yang lainnya secara peran dan pengabdian pada kemanusiaan.

Kapasitas dan kapabilitas sebenarnya dapat dianalogikan seperti keterbatasan. Analogi sederhananya seperti :  beberapa orang dapat makan nasi sebanyak dua piring (saya contohnya) dan sebagian lainnya, makan dengan setengah porsi saja sudah kekenyangan. Ini analogi sederhana dari keterbatasan. Saya dahulu hanya bisa makan satu piring tapi karena saya ingin meningkatkan kapasitas perut saya, saya berusaha meningkatkan kapasitas itu menjadi dua piring, dan akhirnya bisa. Seperti itu pula dengan belajar, dengan berpikir, dengan menghadapi sebuah masalah.

Kapasitas dan kapabilitas seorang presiden perusahaan contohnya, akan jauh berbeda dengan kapasitas pekerjanya dalam hal pengelolaan dan manajemen perusahaan, kapasitas dan kapabilitas itu bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Pada ajaran islam dikenal konsep ilahiyah bahwa Gusti Allah yang Maha Agung tidak akan membebani kita di luar kemampuan kita. Tapi sekarang yang jadi pertanyaan adalah, sampai mana garis batasan kita? Kita sendiri tidak tahu. Atau Gusti Allah sebagai Rob (tarbawi) sedang juga mendidik kita untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita sebagai manusia.

Di kampus tempat saya belajar memiliki motto "outgrow your limit" artinya tingkatkan keterbatasanmu (makanya di sini hal biasa menjadi tempat riset sebagai tempat tinggal, hahaha..). Motto kampus ini menarik buat saya jadikan bahan kontemplasi personal, bahwa kita ini sebagai manusia, hamba Tuhan, dengan keterbatasannya menghadapi berbagai ujian kehidupan yang secara tersirattapi masif akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita. Seperti seorang dosen yang (biasanya) memberikan tugas sampai batasan mahasiswa merasa tidak sanggup (pengalaman pribadi, lol), tapi setelah dilakukan ternyata berhasil. Ataupun jika belum berhasil, garis keterbatasan itu setingkat lebih naik dari sebelumnya.

Ada kalanya kita sebagai manusia mengeluh dan menghardik dengan keadaan dan tuntutan hidup yang terjadi, tapi bukankan dengan keadaan dan tuntutan itu bisa kita jadikan sebagai bahan bakar kekhusyu'an kita memanggil Tuhan dalam hati? Dalam setiap kesulitan masih berpaling?

Keterbatasan adalah titik di mana kita dapat meningkatkan kemampuan. Kapabilitas dan kapasitas kita sebagai manusia untuk dapat bermanfaat dan berdampak luas bagi manusia lainnya. Saya berasumsi bahwa pelan tapi pasti jika kita berusaha untuk membuang rasa malas dan meningkatkan keterbatasan kita dengan paksaan sampai kita tahu titik keterbatasan kita itu, maka secara hukum sebab-akibat nantinya kapasitas dan kapabilitas kita secara personal akan meningkat.

Persaingan dalam segala aspek kehidupan, bijaksananya dilakukan dengan diri sendiri. Maksud saya, tak usahlah kita membandingkan diri dengan orang lain, cukup saja dengan berkaca diri bahwa apa yang kita lakukan hari ini lebih baik dari apa yang kita lakukan di hari kemarin. Saat kita bersaing dengan diri sendiri, kita akan lebih produktif dan jauh dari sakit hati apalagi dengki dengan keberhasilan orang lain.

“Wahai Anak Adam, engkau lah yang mengisi (buku catatan amalmu) dan Aku yang mencatatnya" (Firman Allah dalam Hadist Qudsi, juga tersurat dalam Al-Infithar 10-12)

(Outgrow your limit, Jepang 11 Juli 2016)