Peran santri dalam perjuangan
kemerdekaan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang tercatat terutama bila
mengingat tragedi Perang Rakyat Semesta pada 10 November 1945 yang diinisasi
oleh seruan Resolusi Jihad Kyai Hasyim melawan NICA yang dibentuk 22
Oktober 1945. Perang ini sejatinya lahir dari kesuksesan Kyai Hasyim dalam
konsolidasi berbagai faham umat islam saat itu dan ketokohannya mampu
meyakinkan kyai dan santri untuk keluar pesantren dalam rangka jihad kemerdekaan.
Peran santri kemudian berlanjut dalam menjaga kebhinekaan Republik Indonesia
senantiasa dalam harmoni dan toleransi hingga saat ini, melawan pemikiran baru
yang lahir dari berbagai macam kepentingan.
Saat ini pemikiran radikal
dalam islam dan lahirnya gerakan-gerakan baru dalam berkeyakinan telah sampai
pada kondisi yang membahayakan. Terkadang dengan nama Islam dan teriakan suci
“Allahu akbar” namun secara kontradiktif dibarengi dengan tindakan intoleransi
dan anarkisme, mencoreng nilai luhur perdamaian dalam beragama. Hal-hal semacam
ini biasanya disebabkan oleh pendidikan keislaman yang prematur, instan
dan/atau tanpa tuntunan yang tepat. Agenda politik dan propaganda import, yang
bertujuan untuk memecah belah umat adalah dalang utama lahirnya pemikiran-pemikiran
seperti ini, karena mereka faham betul kenyataan bahwa pemahaman yang salah
terhadap agama dapat menjadi inisiasi dalam perpecahan dan memanfaatkan hal ini
untuk tujuan besar mereka.
Pendidikan islam di pesantren
sudah terlebih dahulu matang dalam menguasai perubahan jaman, apalagi dengan
keterbukaan pandangan yang telah dini diajarkan dalam kurikulum pesantren.
Beberapa kitab yang diajarkan mendeskripsikan perbedaan mazhab / pemikiran
ulama terdahulu dengan (tak hanya) menggunakan pendekatan dalil (Naqli) tapi
juga logika (akli), bukan lagi pada stase doktrin agama yang harus diterima
begitu saja. Sehingga memang seharusnya alumni pesantren dapat berpikir
terbuka, rasional serta jauh dari pemikiran doktrin yang merusak tatabudaya dan
nilai persatuan dalam berbangsa dan bernegara
Namun tidak semua santri
“cetakan” pesantren berhasil dalam mentransformasikan cara-cara berpikir logis
tersebut, beberapa malah keluar dari jalur yang diharapkan. Meski dalam jumlah
yang minoritas, alumni pesantren yang keluar jalur ini lebih berbahaya daripada
kebanyakan manusia lain, karena dengan legitimasi kesantriannya serta ilmu
agama setengah matangnya, ia akan lebih didengar di masyarakat ketimbang
non-santri dan dapat dengan mudah memunculkan perpecahan umat daripada
mempererat ukhuwah.
Sebelum saya pergi ke Jepang
untuk melanjutkan studi Doktoral saya pada tahun 2015, saya sengaja sowan
kepada KH. Mujiburrahman M.Pd untuk meminta wejangan dan nasihatnya. Kyai
berpesan kepada saya yang secara tersirat bermakna “bahwa alumni seperti kapal
laut yang sedang berlayar di lautan peradaban yang luas, untuk dapat sampai
pada tujuan dan tidak tersesat, maka santri membutuhkan kompas, dan kompas itu
adalah Pesantren”. Nasihat ini disampaikan dengan redaksi yang sederhana tapi
memiliki makna yang dalam dan komperhensif, bahwa alumni-alumni yang sedang
dalam perjuangannya di luar, sangatlah membutuhkan pesantren untuk dapat
berkontemplasi dari mana dan bagaimana kita semua dibesarkan.
Saat ini dengan kemudahan
teknologi informasi yang massif dan transportasi dunia yang kian cepat, peran
santri di pergulatan dunia sedang dinantikan, tentu dengan ciri khas pemikiran
santri yang unik. Doktrin pesantren dan kebebasan pemikiran terarah yang
dimiliki santri. Kaum santri sudah seharusnya dapat menularkan kebermanfaatan
kepada peradaban dunia. Ya, kebermanfaatan kepada kemanusiaan. Karena peradaban
dibangun oleh cendikia yang berhenti memaki dan fokus menciptakan solusi. Tugas
berat santri sebagai cendikia bukan hanya mendidik umat untuk melakukan ritual
agama secara baik tapi juga menjaga perdamaian dalam kebhinekaan agama,
pemikiran dan kepentingan. Karena sejatinya, berislam secara komperhensif
melahirkan perbaikan diri, umat dan peradaban dengan doktrin perdamaian dan persatuan.
"Habis gelap,
terbitlah santri"
(Jepang. 26 Oktober 2016)
x
No comments:
Post a Comment