Oct 26, 2016

Santri dan Kebhinekaan

Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang tercatat terutama bila mengingat tragedi Perang Rakyat Semesta pada 10 November 1945 yang diinisasi oleh seruan Resolusi Jihad Kyai Hasyim melawan NICA  yang dibentuk 22 Oktober 1945. Perang ini sejatinya lahir dari kesuksesan Kyai Hasyim dalam konsolidasi berbagai faham umat islam saat itu dan ketokohannya mampu meyakinkan kyai dan santri untuk keluar pesantren dalam rangka jihad kemerdekaan. Peran santri kemudian berlanjut dalam menjaga kebhinekaan Republik Indonesia senantiasa dalam harmoni dan toleransi hingga saat ini, melawan pemikiran baru yang lahir dari berbagai macam kepentingan.

Saat ini pemikiran radikal dalam islam dan lahirnya gerakan-gerakan baru dalam berkeyakinan telah sampai pada kondisi yang membahayakan. Terkadang dengan nama Islam dan teriakan suci “Allahu akbar” namun secara kontradiktif dibarengi dengan tindakan intoleransi dan anarkisme, mencoreng nilai luhur perdamaian dalam beragama. Hal-hal semacam ini biasanya disebabkan oleh pendidikan keislaman yang prematur, instan dan/atau tanpa tuntunan yang tepat. Agenda politik dan propaganda import, yang bertujuan untuk memecah belah umat adalah dalang utama lahirnya pemikiran-pemikiran seperti ini, karena mereka faham betul kenyataan bahwa pemahaman yang salah terhadap agama dapat menjadi inisiasi dalam perpecahan dan memanfaatkan hal ini untuk tujuan besar mereka.

Pendidikan islam di pesantren sudah terlebih dahulu matang dalam menguasai perubahan jaman, apalagi dengan keterbukaan pandangan yang telah dini diajarkan dalam kurikulum pesantren. Beberapa kitab yang diajarkan mendeskripsikan perbedaan mazhab / pemikiran ulama terdahulu dengan (tak hanya) menggunakan pendekatan dalil (Naqli) tapi juga logika (akli), bukan lagi pada stase doktrin agama yang harus diterima begitu saja. Sehingga memang seharusnya alumni pesantren dapat berpikir terbuka, rasional serta jauh dari pemikiran doktrin yang merusak tatabudaya dan nilai persatuan dalam berbangsa dan bernegara

Namun tidak semua santri “cetakan” pesantren berhasil dalam mentransformasikan cara-cara berpikir logis tersebut, beberapa malah keluar dari jalur yang diharapkan. Meski dalam jumlah yang minoritas, alumni pesantren yang keluar jalur ini lebih berbahaya daripada kebanyakan manusia lain, karena dengan legitimasi kesantriannya serta ilmu agama setengah matangnya, ia akan lebih didengar di masyarakat ketimbang non-santri dan dapat dengan mudah memunculkan perpecahan umat daripada mempererat ukhuwah.

Sebelum saya pergi ke Jepang untuk melanjutkan studi Doktoral saya pada tahun 2015, saya sengaja sowan kepada KH. Mujiburrahman M.Pd untuk meminta wejangan dan nasihatnya. Kyai berpesan kepada saya yang secara tersirat bermakna “bahwa alumni seperti kapal laut yang sedang berlayar di lautan peradaban yang luas, untuk dapat sampai pada tujuan dan tidak tersesat, maka santri membutuhkan kompas, dan kompas itu adalah Pesantren”. Nasihat ini disampaikan dengan redaksi yang sederhana tapi memiliki makna yang dalam dan komperhensif, bahwa alumni-alumni yang sedang dalam perjuangannya di luar, sangatlah membutuhkan pesantren untuk dapat berkontemplasi dari mana dan bagaimana kita semua dibesarkan.

Saat ini dengan kemudahan teknologi informasi yang massif dan transportasi dunia yang kian cepat, peran santri di pergulatan dunia sedang dinantikan, tentu dengan ciri khas pemikiran santri yang unik. Doktrin pesantren dan kebebasan pemikiran terarah yang dimiliki santri. Kaum santri sudah seharusnya dapat menularkan kebermanfaatan kepada peradaban dunia. Ya, kebermanfaatan kepada kemanusiaan. Karena peradaban dibangun oleh cendikia yang berhenti memaki dan fokus menciptakan solusi. Tugas berat santri sebagai cendikia bukan hanya mendidik umat untuk melakukan ritual agama secara baik tapi juga menjaga perdamaian dalam kebhinekaan agama, pemikiran dan kepentingan. Karena sejatinya, berislam secara komperhensif melahirkan perbaikan diri, umat dan peradaban dengan doktrin perdamaian dan persatuan.

"Habis gelap, terbitlah santri"
(Jepang. 26 Oktober 2016)
             

x