Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 berencana menerapkan full day school / FDS (meskipun Kemendikbud berpendapat bahwa penggunanaan kata FDS ini tidak tepat) tapi apapun itu nama dan sebutannya, Permendikbud ini adalah peraturan baru yang akan mengubah waktu belajar siswa menjadi delapan jam sehari selama lima hari dalam seminggu.
Hal ini bukan hanya menimbulkan kontroversi di kalangan pemerhati pendidikan, tapi lebih luas juga menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat terutama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang secara tegas meminta langsung kepada Presiden untuk mempertimbangkan kembali permendikbud ini.
Meskipun banyak yang berprasangka bahwa penolakan ini lahir karena adanya gesekan antara NU dan Muhammadiyah karena Muhadjir berasal dari Muhammadiyah, tapi berita miring ini sebenarnya tidak benar karena penolakan ini memiliki dasar yang kuat, dan jauh terlepas dari isu-isu kepentingan politis atau hanya intrik-intrik organisasi primordial tertentu.
Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy sebelumnya menjelaskan bahwa perubahan waktu belajar ini dimaksudkan untuk menambahkan kegiatan pendidikan yang fokusnya pada pengembangan karakter dan sama sekali bukan menambahkan mata pelajaran baru.
Tambahan waktu ini akan diisi dengan program-program pendidikan karakter. Lalu yang akan menjadi titik berat selanjutnya adalah merumuskan program yang menjadi tujuan ini berupa petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelanksanaan (juknas) yang masih belum jelas dan akan sangat sulit diterapkan secara kaffah di pelosok Indonesia.
Permendikbud ini sejatinya lahir dari usaha Kemendikbud pada permasalahan pendidikan di perkotaan. Penerapan Permendikbud ini harapannya waktu sekolah dapat mensubstitusi kekosongan setelah waktu belajar mengajar berakhir dan diisi dengan program pendidikan karakter. Kemendikbud seharusnya melihat lebih dalam dan jauh terutama pendidikan yang berada di desa, yang secara kuantitas akan jauh lebih banyak daripada di kota.
Masyarakat pedesaan tidak hanya akan berbenturan dengan Permendikbud ini dalam hal eksistensi madrasah diniyah yang akan tersabotase waktu pendidikannya dengan Permendikbud ini, tapi juga akan membuat perubahan sosial masyarakat pedesaan yang biasanya siswa lebih banyak waktu untuk membantu orang tuanya di rumah, akan tergantikan dengan keharusan untuk mengikuti program FDS ini.
Perbedaan sosial masyarakat Indonesia secara geografis dari Aceh hingga Papua memiliki diversitas taraf pendidikan yang berbeda, ketimpangan ini seharusnya jadi fokus utama bagi Kemendikbud dibandingkan harus dengan tergesa mengimplementasikan FDS yang banyak melahirkan persoalan baru.
Meskipun Muhadjir menjelaskan bahwa Permendikbud ini tidak serta merta dapat diterapkan pada seluruh kawasan Indonesia, penjelasan itu malah menjadi pengejawantahan bahwa sebenarnya peraturan ini memang tidak bisa diterapkan. Permendikbud adalah peraturan kementerian yang secara legalitas seyogyanya bisa dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia.
Terlepas dari Permendikbud yang bisa menjadi tamsil inkonsistensi arah pendidikan Indonesia, pertanyaannya adalah, masih kah kita selalu meramu kurikulum kembali setiap pemerintahan berganti dan menghabiskan dua puluh persen anggaran Negara untuk melakukan “uji coba” kurikulum pendidikan yang tak kunjung henti.
Masih kah kita akan terus berjalan di tempat dan kadang mundur ke belakang hanya untuk menunjukkan warna pemerintahan tertentu pada sejarah kurikulum Bangsa Indonesia. Masih kah kita akan terus membuat bingung para guru di pelosok Indonesia yang honornya saja masih ditunggak pada pembayaran bulan selanjutnya namun ide perubahan kurikulum setiap ganti menterinya, ganti maunya. Lalu kemana sebenarnya rumusan arah pendidikan Indonesia ini jika konsistensi dari otoritas tertinggi pendidikan saja masih inkonsisten mengikuti pemerintahan yang harus berganti.
Sebaiknya Kemendikbud lebih fokus akan ketimpangan pendidikan di daerah dan pusat serta lebih memperhatikan harga diri dan kelayakan hidup guru di seantero Negeri. Apa urgensinya implementasi permendikbud ini untuk masalah pendidikan bangsa. Sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali permendikbud ini secara komperhensif dan melalui dialog pihak terkait. Karena tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka manusia pertama yang harus dimanusiakan adalah Pendidiknya dan diperjelas konsistensi arahnya.
Yudhi Nugraha S Putra
Published Geotimes
(https://geotimes.co.id/opini/evaluasi-urgensi-permendikbud-no-23-2017-tentang-fds/)
(https://geotimes.co.id/opini/evaluasi-urgensi-permendikbud-no-23-2017-tentang-fds/)
No comments:
Post a Comment