“safir..!! tajid ‘iwadhan ‘amman
tufariquhu” (Imam Asy-Syafi'i)
Seketika
ingat dengan pelajaran mahfudzot saat saya belajar di pondok dulu, yang artinya kira-kira begini : "Pergilah
maka engkau akan dapati pengganti apa yang engkau tinggalkan". Kelanjutan mahfuzot ini silahkan cari
sendiri karena pasti anda akan tertarik dengan kedalaman maknanya.
***
Sudah kali kedua saya tidak lebaran di Indonesia, tahun lalu
saya pun menghabiskan hari raya di Jepang (bang toyib). Kali ini beruntungnya
lebaran bertepatan dengan hari minggu, tahun lalu setelah solat Ied saya
langsung masuk ke lab dan langsung mengerjakan hal biasa, seperti tidak ada
peringatan apapun kecuali handphone yang lebih ramai dengan ucapan permohonan
maaf dan sapaan-sapaan akrab dari keluarga di rumah.
Karena bertepatan hari minggu, maka saya bisa lebih santai
dan tidak masuk ke lab seperti lebaran tahun lalu. Setelah semalam saya
mendapatkan makanan surga berisi nasi rendang, sayur ati dan opor ayam dari Mas
Sarmoko dengan masakan super enak dari Istrinya yang sedang hamil (semoga Allah
mempermudahlancarkan kehamilan dan kelahirannya nanti, amin). Saya dan Kenny
Lischer mengobrol sambil menikmati makanan surga itu, karena kepalang larut
malam, saya menunggu subuh hingga jam tiga pagi tapi setelah jam tiga pagi itu
saya menunggu jam tujuh untuk solat ied rasanya lama sekali, seperti menunggu
kera sakti pulang mencari kitab suci.
Setelah
solat Ied bersama keluarga muslim di kampus saya tinggal dan pastinya
melanjutkannya dengan melahap hidangan ala-ala timur tengah dan
Indonesia-Malaysia. Entah kebetulan atau bagaimana, saya dan Kenny mendapatkan
kesempatan untuk mengikuti tour melihat sejarah paling kuno dari peradaban
Jepang di Nara dari kampus, karena gratis saya mengikutinya tanpa tahu itu
bertepatan pada hari lebaran, jadilah kami mengikuti tour ini setelah solat
ied.
Hari
yang aneh memang, di mana orang-orang berkumpul dengan keluarga, saya malah
berwisata sejarah ke temple. Let it flow sajalah yud, daripada boring di kamar
mending jalan-jalan. Toh tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali melihat
teman-teman di Indonesia memposting makanan-makanan surga (percayalah ini
paling memilukan buat perantau).
Saya
diajak mengenal sejarah Jepang lebih dekat dengan berkunjung ke Horyuji Temple and Saidaiji Temple di Nara. Horyuji
ini konon adalah temple pertama yang dibangun pada tahun 607 dan sampai
sekarang masih terjaga dengan baik. Sedangkan di Saidaiji saya berkesempatan
untuk melihat upacara minum teh hijau dan meminumnya dengan mangkuk super besar
(lebih dari porsi makan saya). Foto-foto perjalanan saya posting di bagian
bawah blog.
Selama di perjalanan saya berbincang banyak dengan Kenny dan
dengan diri saya sendiri tentang sejarah ini yang memberikan pelajaran mengenai
makna-makna kehidupan. Saya sadar, kehidupan manusia sangat singkat, setiap
kita akan pergi dari satu dimensi ke dimensi lain. Tapi kebaikan akan kekal
bahkan setelah kematian. Analogi sederhana bagaimana mereka menjaga dengan
baik, bangunan, tradisi dan filosofi kehidupan di sini adalah bukan perkara
mudah, dalam sejarahnya Jepang telah digempur (dan menggempur) negara-negara
lain dan peristiwa-peristiwa besar telah hatam dialaminya, tapi bangunan ini,
kokoh berdiri tak dimakan modernitas.
Saya yakin bahwa momentum lebaran ini berasa sekali untuk
muslim yang tinggal di daerah non-muslim dan terpaksa menjadi minoritas, tidak
ada kumpul keluarga kecuali mendengar suara dan text rindu di depan layar. Atau
menikmati siksaan dengan melihat makanan surga opor ayam, rendang dan
kawan-kawannya seliweran lebih banyak di sosial media. Tidak ada suasana dan
atmosfer lebaran seperti biasanya. Setiap perantau adalah pejuang,
memperjuangkan mimpi dan cita-cita yang luhur. Perantauan adalah sekolah
tersendiri bagi kedewasaan, untuk memahami bahwa tujuan semua ini untuk
memandirikan diri dan menghidupi kehidupan.
Perantau dapat merasakan bagaimana jernihnya berpikir. Karena
hanya dengan menjadi minoritas, kita dapat mengerti bahwa apa yang kita lakukan
adalah sebuah kebenaran atau hanya pembenaran. Bahwa saat menjadi mayoritas,
kebanyakan dari kita lupa diri dan mencoba merekayasa makna dalam bertoleransi
pada perbedaan cara pandang dan latar belakang masing-masing individu. Perantau
berjuang memahami perbedaan dan mencoba menyesuaikan diri tanpa menjadi orang
lain
Khutbah hari ini saya juga diingatkan kembali bahwa islam
menjadi agama yang dapat masuk ke dalam tradisi dan adat masyarakat manapun
selama tidak bertentangan kepada maqosidus syariah, karena sesungguhnya islam
adalah rahmatan lil alamin. Perspektif dan guratan tulisan saya ini tidak
dimaksudkan untuk menyinggung pihak manapun, hanya upaya untuk mengingatkan
diri kembali.
Cobalah untuk hidup di lingkungan yang berbeda dengan kita,
untuk benar-benar mengenali diri sendiri dan menemukan arti kehidupan yang
sesungguhnya. Saya melihat hampir semua orang besar lahir dari perantauan.
Begitulah
coretan ngalor ngidul ini saya tulis untuk mengguratkan cerita konyol hari ini,
dengan "berziarah" ke temple kuno tepat di hari lebaran. Tapi saya
percaya, bagaimanapun getirnya pejuang-rantau, kisahnya akan tetap terasa manis
untuk diceritakan.
Salam
Rindu,
Nara
20170625
Yudhi
Nugraha
*****
Oleh-oleh foto jalan-jalan hari ini :
(Tradisi jamuan teh)
(Horyuji Temple )
(Saidaiji Temple)
(Upacara minum teh dan ukuran mangkok buat minumnya)
(Terakhir, foto kucing yang hidup bersama kami mahasiswa NAIST,
ga ada kaitannya ama cerita di sini )