Dec 22, 2017

Tembok Internet Tiongkok

Di depan Beijing National Stadium
Prolog

Satu minggu setelah menikah, saya terbang ke Beijing untuk mengikuti Bio-International Workshop yang diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama antara University of California Davis Amerika Serikat, Institute of Genetics and Developmental Biology (IGDB), Chinese Academy of Sciences, dan tentu saja, NAIST tempat saya kuliah.

Penerbangan dari Kansai International Airport ke Beijing Capital International Airport (PEK) memakan waktu kira-kira tiga jam lima belas menit menggunakan maskapai All Nippon Airways. Setelah sampai di Beijing Airport saya terkejut melihat besarnya bandara dan begitu banyaknya pengunjung di bandara tersebut

Beijing Capital International Airport (PEK) (Dokumentasi Pribadi)
Saya tinggal di dua tempat berbeda yang pertama di IGDB dan yang kedua di Beijing Ya Ao Hotel. Saya senang karena panitia menyediakan makanan halal dan sangat mengakomodasi keperluan beribadah seperti ruang untuk solat dan waktu meski terbatas. Tidak banyak waktu luang yang saya miliki karena workshop sangat padat bahkan waktu senggang malam digunakan untuk diskusi satu group bersama tiga institusi berbeda. Anehnya ada program "Dance your PhD" di mana kita harus mempresentasikan rumitnya project riset kita ke dalam dance yang kebanyakan PhD candidate akan kesulitan untuk mencoba menggerakan badannya, terlebih rasa malu yang luar biasa. hahaa

Kamar saya di IGDB (Dokumentasi Pribadi)


Tembok Besar China

Pada akhir pekan sebelum pulang ke Jepang, ada culture visit, saya bersama teman-teman pergi ke Tembok Besar China, dari dahulu saya sangat ingin sekali ke sana. Pagi hari saya berangkat dari Hotel Ya Ao Beijing menuju tembok besar china, setelah perjalanan panjang akhirnya kita sampai di tembok besar cina. Tembok ini membentang sekitar 21.196,18 km dan telah berusia 2.300 tahun, meskipun saat ini hampir sepertiganya dari Tembok Besar Cina telah menghilang tanpa jejak. Tembok ini dibangun dengan tepung beras ketan untuk menyatukan batu batanya. Awalnya saya berjalan jauh mengikuti tour, saya berjalan bersama Pak Anam yang makan kuaci selama perjalanan, saya mendekatinya sekalian ngambil kuaci di kantong doraemonnya.

Bersama Pak Anam

Pada kesempatan pendakian kali ini saya dan Mas Moko memilih untuk menikmati tembok cina dengan cara yg berbeda, yaitu menghilang dari group tour. Sempat di cari-cari juga oleh panitia, tapi kita akhirnya dapat menghubungi mereka dengan bantuan wifi yang disediakan di kedai kopi yang harganya rada-rada mahal. Mungkin ongkos wifi. haha... tapi sebagai suami yang baru menikah satu minggu, tidak lupa saya membuat tulisan ala-ala untuk sang istri. hhee

For my beloved wife, Risania.

Penutup

Waktu terus berputar, rodanya melindas apapun yang melawan perubahan. Tembok Besar China mungkin saat ini telah kehilangan fungsi utama untuk perlindungan dan tinggal menjadi monumen pariwisata di Tiongkok. Bahkan jikapun terjadi perang, lawan akan menyerang dengan pesawat tempur atau rudal balistik antar benua.

Tapi ada yang unik dari negara ini, pelindungan dan tembok besar china saat ini diadaptasi pada sistem koneksi internetnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa raksasa-raksasa teknologi seperti facebook, whatsapp, instagram, bahkan google tidak bisa diakses di Tiongkok (meskipun saya masih bandel dengan menggunakan VPN).

Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ini, tidak menggunakan aplikasi-aplikasi buatan Amerika tersebut. Mereka menggunakan aplikasi WeChat yang terkoneksi dengan berbagai hal, seperti menjadi sosial media mereka sendiri bahkan terkoneksi pada sistem e-commerce mereka. Google mereka ganti dengan Baidu, jadi tidak dikenal istilah “googling dulu gih” mungkin diganti menjadi “ngebaidu dulu”. Hhaa

Tiongkok mungkin saja mengadaptasi ide pembangunan Tembok Besar China yang dibuat leluhurnya menjadi Tembok Koneksi Internet. Tiongkok sadar bahwa perang saat ini adalah berada pada kabel koneksi itu. Persebaran propaganda, lewat konten-konten hoax dan data-data palsu adalah potensi besar untuk dijadikan senjata negara lain menyerang stabilitas suatu negara dan atau bahkan memporakporandakannya. Kita bisa membaca lagi peran hoax dalam perang Irak dan Syuriah.

Meskipun banyak terjadi penentangan akan hal ini (termasuk dari saya sebagai tourist), toh pemerintahnya tetap bergeming. Saya mungkin tidak sepakat jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia, karena tidak sesuai dengan hak asasi untuk mendapatkan informasi sebebas-bebasnya dan hak berpendapat di muka umum. Tapi mungkin Tiongkok tahu, masyarakatnya belum siap untuk menerima gempuran hoax dan isu negatif untuk pemerintahnya, dan perut 1,379 miliar kepala manusia yang perlu diisi adalah lebih penting ketimbang koar-koar hak asasi sampai berbusa tak berguna.

Tiongkok sebagai negara dengan penduduk terbesar dunia dan menjadi pengekspor senjata terbesar ketiga di dunia menggantikan Jerman, bahkan selama 2010-2014 ekspor senjatanya naik 143%, 68% senjata ini diekpor ke Pakistan, Bangladesh, Myanmar dan ke 18 negara Afrika. Tiongkok juga menempati urutan ketiga kekuatan militer setelah Rusia dan USA.

Bahkan, Global Firepower Index menyebutkan bahwa Tiongkok menempati urutan ketiga kekuatan militer terbesar di dunia setelah Rusia dan AS. Sampai saat ini negara dengan peringkat pertama yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia adalah Tiongkok (US$ 3,89 triliun). Sebagai gambaran cadangan devisa Indonesia rekor tertingginya hanya US$129,4 miliar. Jepang yang notabene adalah negara paling maju di Asia saja hanya memiliki cadangan devisa sebesar US$ 1,25 triliun.

Tiongkok sudah sampai sana, kita sampai mana?



Yudhi Nugraha
(Nara, 20172212)

Dec 18, 2017

Kyai Pertama Saya


Satu hari sebelum saya menikah tepatnya pada 13 Oktober 2017, keluarga saya mengundang warga desa untuk mengadakan pengajian sekalian tasyakuran di rumah. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan. Jiwa intorvert saya membuat saya sungkan ikut kegiatan ini, bahkan saat pengajian akan dimulai saya masih sibuk nyari sepatu dan dasi di Mall of Serang, sampai ditelepon oleh Bule Enday dan Ibu saya, hahaa..

Ba’da ashar para warga sudah kumpul dan siap memulai doa bersama saya baru tiba dan langsung duduk sarungan di pojokan. Setelah ayah saya memberikan sambutan kepada warga dengan bahasa jawa halus yang saya tidak mengerti, tiba-tiba tanpa disangka pengajian dan doa tersebut dipimpin oleh Kyai pertama saya, Ustad Khaer (begitu saya biasa memanggil). Saat beliau memimpin doa, saya sama sekali tidak khusyu malah kepala saya berputar bernostalgia masa lampau, dan hanya mengucapkan amin-amin sambil melihat ekspresi wajah beliau dari jauhnya tempat duduk saya, beliau dengan mata terpejam memanjatkan permohonan pada Gusti Allah untuk perjalanan pernikahan saya, dan semua jamaah menjawab yang sama, aamiin dengan khusyu kecuali saya sendiri yang malah bengong.


Saat saya berumur tujuh tahun saya dikirim untuk belajar ngaji di pesantren tradisional miliknya. Pondoknya terbuat dari bambu, tak terkecuali lantainya pun terbuat dari susunan bambu yang terkadang menjepit kulit saya saat tidur atau setidaknya membuat motif anyam di pipi atau lengan saya yang menempel pada lantai (bentuk bangunannya pondokan dengan lantai panggung). Hanya tempat ngaji / langgar bersama yang terbuat dari semen berupa bangunan permanen, sisanya pondok tradisional ini terbuat dari bilik bambu. Keluarga saya mengirim saya ke sini bukan hanya karena lokasinya dekat, tapi juga kemasyhuran Ustad Khaer di desa saya tentang kapasitasnya memahami agama, membedah banyak kitab kuning, nahwu-sorof bahkan mantiq.  

Salah satu langgar tempat ngaji di pondok yang tidak berubah sejak dahulu

Ustad Khaer memiliki beberapa angsa (disebut soang, mungkin dalam bahasa latin, Cygnus olor) yang sering saya goda sebelum akhirnya saya dipatok. Saya memasak bersama kakak-kakak dengan membawa beras dari rumah untuk dimakan bersama-sama. Lauknya seadanya, kadang ikan yang masih belum baligh, atau telor ceplok kalo ada rezeki.

Saya sekolah di Sekolah Dasar Banjar Agung IV sekitar 500 meter dari pondok. Malam hari saya mulai mengaji mulai dari baca alquran dan beberapa kitab kuning. Kakak saya yang kedua juga sempat mesantren di sini tapi malah belajar gitar dengan masyarakat sekitar jadi akhirnya keluar. Tapi untungnya kakak saya ini yang akhirnya mengajarkan saya gitar dan piano di kemudian hari. Ada hikmahnya juga kan, hahaha..

Ustad Khaer memiliki kebun yang ia cangkul sendiri, daripada menyuruh santrinya yang banyak dan masih muda itu, beliau memilih untuk mencari uang bukan dari bayaran santri atau mencari doantur dari luar pondok. Beliau menanam tanaman di sekitaran pondok, memelihara ayam, soang dan bebek yang kadang ganggu kita makan (kadang ikut makan bareng juga). Ustad Khaer memilih hidup sangat sederhana dan mengabdi dalam sepi jauh dari hingar bingar politik apalagi kekuasaan. Sayangnya dengan kapasitas kemampuan agamanya, beliau memilih zuhud jauh dari kepopuleran, tidak twiteran, debat di FB untuk hardik sana-sini, atau nulis blog ga penting kayak saya ini. hhaa..

Kesan bersama ustad Khaer ini sangat mendalam, sebelum akhirnya saat saya kelas enam SD, orang tua saya mengajak saya memilih beberapa pesantren modern. Saya melihat banyak perbedaan antara pesantren modern dan klasik, tapi keduanya memang lebih memiliki banyak kesamaan. Tempat yang tepat menuntut ilmu agama islam.

Foto saya dan Ustad Khaer (dokumentasi pribadi)

Ustad Khaer ini adalah satu dari ribuan Kyai yang luar biasa mengagumkan, setelah saya besar saya mendapatkan kesempatan untuk bersilaturahim ke banyak kyai hebat yang saya belum sempat berguru di peloksok Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan tentunya Banten. Saya berharap masih punya kesempatan untuk berguru langsung kepada mereka di kemudian hari.
***


Di saat yang berbeda dimensinya saat ini, saya sedang menuntut ilmu jauh dari soang-soang yang “menyosor” saya, atau lantai bambu yang menjepit saat tidur, dan teladan kesederhanaan Kyai. Pagi ini saya menulis tulisan ini sembari mengikuti progres meeting bulanan tim riset yang sedang berjibaku menemukan misteri interaksi obat dengan beberapa protein, projek kerjasama milik sang profesor (kisah saya sampai di sini pernah saya tulis di tautan ini)

Hidup seperti kotak pandora yang tidak kita mengerti apa yang akan menjadi kesempatan kita. Saya berharap kisah saya menjadi motivasi untuk para santri “pondok rombeng” bahwa setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk mencapai apapun yang dicita-citakan. Kita bukan yang ada pada saat ini, kita adalah tujuan dan visi kita di masa depan.

Saya percaya dan berharap, doa-doa Kyai saya masih akan terus mengalir di nadi saya. Doa yang lembut saat diucapkannya, usapan halus tangannya di kepala saya saat saya mencium tangannya, dan keridhoan sang kyai untuk setiap langkah santrinya.

Terima kasih Ustad Khaer. Mungkin tulisan ini akan sulit sampai kepadamu, tapi keteladanan akan kesederhanaanmu dahulu adalah hal berharga pada setiap keputusan hidupku.


Yudhi Nugraha
(Nara 2017/12/18)

Dec 12, 2017

Cara mengurus visa untuk istri ke Jepang (Dependent Category Visa)

Pendahuluan

Pada kesempatan ini saya ingin menjelaskan tentang prosedur pengajuan visa untuk istri ke Jepang dengan Certificat of Eligalitbity (CoE) dari Pemerintah Jepang untuk Kedubes Jepang di Indonesia. Sebelumnya terlebih dahulu saya ingin menjelaskan tentang kondisi dan status saya pada saat pengajuan, karena dengan kondisi dan status yang berbeda, maka berbeda pula cara mengurusnya.

14 Oktober 2017 saya menikah dengan status pendidikan saya saat itu masih mahasiswa doktoral memasuki tahun ketiga dimulai pada 1 Oktober 2017 (Saya masuk program PhD pada Oktober 2015). Beberapa teman saya yang memang sudah menikah sebelum studi, mereka memiliki prosedur yang sedikit berbeda dengan yang akan saya jelaskan.


Pindah Apato dan Apply CoE di Jepang

Sebelum pulang ke Indonesia untuk menikah, saya melapor ke bagian kemahasiswaan atau yang biasa disebut dengan “Gakuseka” untuk perpindahan tempat tinggal, karena waktu itu saya masih menetap di Dormitory Student dengan ukuran single-room. Saya mengajukan perpindahan tempat tinggal ke couple-dormitory student pada tanggal 1 Oktober atau dua minggu sebelum saya pulang untuk menikah, dan mendapat konfirmasi untuk bisa pindah tempat tinggal pada 1 November 2017.

Setelah itu saya meminta form pengajuan CoE ke gakuseka dan mendapatkan email dari seperti ini:

___________________

Dear Yudhi-san,

Hi, this is ******* from the International Student Affairs Section.

Congratulations on your wedding!

We are really happy for you.

For your wife's visa application,

please prepare the following documents and go to the Immigration Bureau to apply for Certificate of Eligibility (COE).

 1. Application Form (dapat diunduh di sini) unduh kategori nomor 11 (dependent)

There are three sheets. (for Applicant part1 & 2 , and Supporter part 1) ini diisi.

2. Your wife's ID photo (3×4 cm) for the application form

3. Official documents verifying family relationship

* Marriage Certificate (copy is fine)

4. Your passport (copy is fine)

5. Your residence card (copy is fine)

6. Your wife's passport (copy is fine)

7. Your certificate of Enrollment

You can get it from the automatic certificate issuing machine.

8. Certificate of Financial Support

We will issue MEXT certificate.

9. Residence Certificate

We will ask for Student Support Section to issue it.

10. A self-addressed stamped envelope (with 402 yen stamp)

If you have any questions about this, please feel free to ask me.

Sincerely yours,

Mrs. *******

______________________

Saat saya pulang untuk menikah pada tanggal 11 Oktober 2017, saya sudah melampirkan seluruh dokumen yang dibutuhkan, kecuali nomer tiga (sertifikat pernikahan). Saya sengaja membawa seluruh dokumen tersebut dengan siasat untuk dapat langsung mengurusnya setibanya saya di Jepang nanti. Tanggal 18 Oktober setelah saya menikah dan tiba di Kansai Airport, saya langsung mengurus dokumen tersebut ke Bagian Imigrasi di Osaka yang beralamat di :
〒559-0034 Osaka Prefecture, Osaka, Suminoe Ward, Nankokita, 1 Chome−29番53号. 
Dapat diakses melalui  google map di sini 

Saya mengurusnya langsung ketika saya tiba dari Indonesia, karena dari Kansai International Airport lebih dekat ketimbang harus pulang dahulu ke NAIST.


Prosedurnya sangat mudah tinggal diberikan dokumen tersebut dan kita diminta menunggu sekitar dua sampai tiga minggu lalu CoE akan dikirim ke alamat yang kita tulis di amplop yang kita berikan (syarat nomor 10). Saya mendapatkan CoE untuk istri saya pada tanggal 6 November 2017.

Saya langsung mengirimkannya ke Indonesia, ke alamat istri saya pada hari yang sama melalui JP-Post dengan EMS, sekitar 1400 yen (lebih jelas dapat dipelajari di sini) dan sampai ke Indonesia pada tanggal 13 November. Pengiriman ini juga dapat kita pantau melalui tracking website di sini


Kepengurusan Visa di Jakarta

Setelah istri saya mendapatkan kiriman berupa CoE tersebut, istri saya langsung mengurus visanya pada tanggal 14 november 2017. Karean istri saya berdomisili di Kemang Jakarta Selatan, Istri saya mengurus visa ke Jepang di Jakarta, melalui laman website klik di sini

Sebagai informasi tambahan, mulai tanggal 15 September 2017 pengurusan sudah tidak lagi di Kedubes Jepang yang terletak di sekitaran Bunderan HI tapi sekarang di Japan Visa Application Center (JVAC) yang terletak di Lotte Shopping Avenue lantai 4 (samping Studio XXI).

Istri saya terlebih dahulu menyiapkan beberapa hal untuk apply visa kategori khusus, antara lain :

Dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi dalam mengajukan permohonan Visa Khusus
    1. Paspor.
    2. Formulir permohonan visa. [download (PDF)] dan Pasfoto terbaru (ukuran 4,5 X 4,5 cm, diambil 6 bulan terakhir dan tanpa latar, bukan hasil editing, dan jelas/tidak buram)
    3. Foto kopi KTP (Surat Keterangan Domisili)
    4. Certificate of Eligibility (Asli & fotokopinya)

      Setelah melengkapi keempat dokumen tersebut, istri saya membuat janji kepengurusan di website yang sama. Lalu datang ke alamat :
      "4F-33 Unit, 4th Floor, Lotte Shopping Avenue (Ciputra World 1), Jalan Prof. Dr. Satrio Kav 3 and 5 Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Indonesia 12940" (Bisa diakses melalui google map di sini )

      Prosesnya sangat singkat dan tinggal menunggu. Harga kepengurusan visa tersebut sekitar Rp.370.000 dan biaya adminsitrasi Rp. 155.000 jadi total biayanya adalah Rp. 525.000. Bisa cash ataupun debit, tapi untuk debit ada biaya tambahan lagi. Selang beberapa hari istri saya telah dikonfirmasi melalui email bahwa visa telah selesai. Istri saya mendapatkan visa tersebut pada tanggal 20 November 2017. Pada 22 November 2017 istri saya terbang ke Jepang.

      Jika ada yang ingin ditanyakan dapat menghubungi saya melalui facebook saya di sini

      Terimakasih

      Sep 4, 2017

      Urgensi Evaluasi Permendikbud No 23 / 2017 tentang FDS


      Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 berencana menerapkan full day school / FDS (meskipun Kemendikbud berpendapat bahwa penggunanaan kata FDS ini tidak tepat) tapi apapun itu nama dan sebutannya, Permendikbud ini adalah peraturan baru yang akan mengubah waktu belajar siswa menjadi delapan jam sehari selama lima hari dalam seminggu.

      Hal ini bukan hanya menimbulkan kontroversi di kalangan pemerhati pendidikan, tapi lebih luas juga menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat terutama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang secara tegas meminta langsung kepada Presiden untuk mempertimbangkan kembali permendikbud ini.

      Meskipun banyak yang berprasangka bahwa penolakan ini lahir karena adanya gesekan antara NU dan Muhammadiyah karena Muhadjir berasal dari Muhammadiyah, tapi berita miring ini sebenarnya tidak benar karena penolakan ini memiliki dasar yang kuat, dan jauh terlepas dari isu-isu kepentingan politis atau hanya intrik-intrik organisasi primordial tertentu.

      Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy sebelumnya menjelaskan bahwa perubahan waktu belajar ini dimaksudkan untuk menambahkan kegiatan pendidikan yang fokusnya pada pengembangan karakter dan sama sekali bukan menambahkan mata pelajaran baru.

      Tambahan waktu ini akan diisi dengan program-program pendidikan karakter. Lalu yang akan menjadi titik berat selanjutnya adalah merumuskan program yang menjadi tujuan ini berupa petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelanksanaan (juknas) yang masih belum jelas dan akan sangat sulit diterapkan secara kaffah di pelosok Indonesia.

      Permendikbud ini sejatinya lahir dari usaha Kemendikbud pada permasalahan pendidikan di perkotaan. Penerapan Permendikbud ini harapannya waktu sekolah dapat mensubstitusi kekosongan setelah waktu belajar mengajar berakhir dan diisi dengan program pendidikan karakter. Kemendikbud seharusnya melihat lebih dalam dan jauh terutama pendidikan yang berada di desa, yang secara kuantitas akan jauh lebih banyak daripada di kota.

      Masyarakat pedesaan tidak hanya akan berbenturan dengan Permendikbud ini dalam hal eksistensi madrasah diniyah yang akan tersabotase waktu pendidikannya dengan Permendikbud ini, tapi juga akan membuat perubahan sosial masyarakat pedesaan yang biasanya siswa lebih banyak waktu untuk membantu orang tuanya di rumah, akan tergantikan dengan keharusan untuk mengikuti program FDS ini.

      Perbedaan sosial masyarakat Indonesia secara geografis dari Aceh hingga Papua memiliki diversitas taraf pendidikan yang berbeda, ketimpangan ini seharusnya jadi fokus utama bagi Kemendikbud dibandingkan harus dengan tergesa mengimplementasikan FDS yang banyak melahirkan persoalan baru.

      Meskipun Muhadjir menjelaskan bahwa Permendikbud ini tidak serta merta dapat diterapkan pada seluruh kawasan Indonesia, penjelasan itu malah menjadi pengejawantahan bahwa sebenarnya peraturan ini memang tidak bisa diterapkan. Permendikbud adalah peraturan kementerian yang secara legalitas seyogyanya bisa dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia. 

      Terlepas dari Permendikbud yang bisa menjadi tamsil inkonsistensi arah pendidikan Indonesia, pertanyaannya adalah, masih kah kita selalu meramu kurikulum kembali setiap pemerintahan berganti dan menghabiskan dua puluh persen anggaran Negara untuk melakukan “uji coba” kurikulum pendidikan yang tak kunjung henti.

      Masih kah kita akan terus berjalan di tempat dan kadang mundur ke belakang hanya untuk menunjukkan warna pemerintahan tertentu pada sejarah kurikulum Bangsa Indonesia. Masih kah kita akan terus membuat bingung para guru di pelosok Indonesia yang honornya saja masih ditunggak pada pembayaran bulan selanjutnya namun ide perubahan kurikulum setiap ganti menterinya, ganti maunya. Lalu kemana sebenarnya rumusan arah pendidikan Indonesia ini jika konsistensi dari otoritas tertinggi pendidikan saja masih inkonsisten mengikuti pemerintahan yang harus berganti.

      Sebaiknya Kemendikbud lebih fokus akan ketimpangan pendidikan di daerah dan pusat serta lebih memperhatikan harga diri dan kelayakan hidup guru di seantero Negeri. Apa urgensinya implementasi permendikbud ini untuk masalah pendidikan bangsa. Sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali permendikbud ini secara komperhensif dan melalui dialog pihak terkait. Karena tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka manusia pertama yang harus dimanusiakan adalah Pendidiknya dan diperjelas konsistensi arahnya.


      Yudhi Nugraha S Putra
      Published Geotimes
      (https://geotimes.co.id/opini/evaluasi-urgensi-permendikbud-no-23-2017-tentang-fds/)

      Jul 12, 2017

      Tujuh Enam

      Setiap kita memiliki masa-masa perjuangan tersulit dalam hidup yang menjadi batu loncatan atau titik balik kehidupan untuk menjadi lebih baik atau malah menyerah. Buat saya masa-masa itu adalah ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di FKUI sambil bekerja paruh waktu. Saya masih ingat betul rasanya diburu waktu subuh hari setiap setelah solat, saya yang kala itu masih ngekos bersama sekitar tujuh orang teman di Ciputat harus berangkat menuju Salemba dengan bus besar dengan nomor 76 jurusan Ciputat-Senen selama dua jam bahkan terkadang lebih dan bus ini ada sekitar satu jam sekali. Bahkan dari kejauhan saya dapat mengenali Bus Bianglala ini, dari mulai bus ini bergambar iklan obat, minuman energi sampai minyak kayu putih, saya hafal sekali.

      Masih terbayang rasanya wangi bus dan suara klakson motor saling salip di antara bus 76 yang gagah menerjang kanan kiri selama perjalanan melintasi Jalan TB Simatupang, Blok M sampai Jalan Jendral Sudirman, sesekali saya bablas ke Terminal Senen karena ketiduran atau harus berdiri selama perjalanan karena ada ibu-ibu yang tidak mungkin dibiarkan berdiri (the power of emak-emak bro). Terkadang saya menikmati alunan musik pengamen yang luar biasa merdunya, atau AC yang bocor karena sudah usang. Saat pulang kuliah saya sesekali malah mampir ke blok M untuk menyaksikan festival musik bertemakan the beatles (band kesukaan saya) di sana. Sesampainya di kosan, saya terbiasa mengobrol dengan teman tentang politik. Ada teman sekosan saya bernama Fachry yang sangat sefaham semengerti tentang obrolan politik sambil menonton TV yang diganjal buku-buku sebagai meja. Terkadang juga saya bermain gitar yang biasanya selalu ada saja senarnya yang hilang bersama mang Ipong dan mang Heru sambil membuat lagu untuk meledek salah satu teman yang jomblo seumur hidupnya, pernah juga mengerjainya sampai berbulan-bulan. Saat lagi “lurus”, kadang juga membahas kitab kuning bersama mang Ade dan berdiskusi tentang agama islam dengan pendekatan kekinian atau dengan kosan sebelah yang kebanyakan lulusan Tebu Ireng malah main PS. Masih teringat juga tentang almarhum teman saya Adi (semoga Allah menempatkannya di sisiNya, amin) yang memasak obat melawan kanker nasofaringnya kala itu. Ada juga mang Klon yang selalu minum kopi dan hampir tidak pernah saya lihat minum air putih, mungkin darahnya kini telah berganti menjadi Kopi Gr*nita yang selalu disruputnya itu. Dan banyak sekali kegiatan harian saya bersama teman-teman yang sampai saat ini sudah seperti saudara sendiri.

      Mungkin sahabat-sahabat satu angkatan saya di FKUI masih ingat rasanya tentang bagaimana kuliah pagi biokimia yang buat saya adalah pagi dengan rasa kantuk yang luar biasa, bayangkan saja jam tujuh pagi sudah dicekoki mata kuliah biokimia. Hal yang paling tak kalah seru adalah, sistem perkuliahannya, setiap semester saya paling banyak dapat mengambil hanya 14 sks, itu sudah luar biasa. Berbeda saat saya s1 saya bisa mengambil hingga 23 sks karena perbedaan sistem, satu pelajaran biasanya bobotnya hanya satu sks, itupun satu judul dari satu pelajaran itu diampu oleh satu dosen. Dosen-dosen tersebut memberikan UTS dan UAS. Jadi gambaran mudahnya, jika saya mengambil 14 sks, kira-kira ada 10-14 pelajaran, setiap pelajaran bisa sampai lima dosen yang akan memberikan UTS dan UAS. Lalu, mata kuliah yang diberi nilai C misalnya, itu akan tetap ada di transkip meski kita mengambil her tahun depannya, jadi nilai satu pelajaran itu bisa ada dua.

      Hari-hari saya lewati awalnya biasa saja meski dengan sistem yang seperti itu, namun semua berubah ketika beasiswa saya berhenti karena suatu hal. Saya cuti kuliah sampai satu tahun untuk kerja lagi. Akhirnya saya bekerja di institusi yang sama yang masih di bawah RSCM dan FKUI yaitu di IHCVB singkatan dari Insitute of Human Virology and Cancer Biology. Tugas utama saya selain memelihara cell line, saya membantu dalam pemeriksaan pasien HIV drug resistance, untuk menguji apakah pasien HIV itu masih kompatibel dengan obat tertentu dilihat dari mutasi gen HIVnya. Mulai dari sini lah semua mimpi itu ada, lewat bimbingan dan arahan para senior di IHVCB ini juga saya semakin menyukai dunia riset dan menemukan diri saya sendiri. Harapan demi harapan mulai menemukan titik kemungkinan. Kemudian saya melanjutkan studi s2 saya dengan penuh tujuan dan harapan, lebih bersemangat dari sebelumnya terutama secara finansial untuk pembayaran SPP setiap enam bulan sekali. Saya bekerja setelah kuliah selesai, betapa baiknya atasan saya membebaskan saya kuliah asal memiliki jam kerja yang sama dengan yang lainnya, siasat saya adalah saya masuk sekitar jam satu setelah selesai kuliah dan mulai bekerja sampai malam. Semakin hari semakin lelah dengan bus tujuh enam itu, saya mulai menggunakan motor Ciputat-Salemba.

      Salip kanan kiri setiap hari saya lakukan, kadang dibentak pemilik mobil yang sepionnya saya tabrak atau senggol motor lain tapi saya biasanya tak pernah ambil pusing sambil dengar musik dibalik helm lagu lagu the beatles seluruh album terputar setiap hari. Waktu lebih singkat ditempuh dan motor biasanya saya parkir di tempat parkiran pegawai (nasib mahasiswa sekaligus pekerja). Pernah juga saya ditilang polisi saat melintasi wilayah Prapanca, betus ban di daerah semanggi sampai harus jalan hingga daerah Bulungan, saat itu saya menjadi Yudhi si Anak Jalanan. Asap dan aspal Jakarta jadi teman sehari-hari, sampai jalan tikus hapal saya puter-puter meski ujungnya nyasar dulu. Kadang saya juga kebut-kebutan saat pulang sangat malam melewati senggangnya jalur three in one. Semua pengalaman seru itu saya nikmati di masa muda yang seru.

      Hidup itu sesederhana itu, seindah dan sesantai itu, perjuangan dinikmati. Keluarga dan orang tua saya tidak pernah tahu tentang semua perjuangan pedih perih saya di Jakarta dalam studi. Saya bertekad untuk selalu bercerita tentang kebahagiaan dan pencapaian-pencapaian saja kepada mereka. Buat saya keluarga adalah tempat terakhir untuk mengeluh dan menjadi tempat pertama untuk bercerita bahagia. Meski saat pulang, kehidupan berubah. Makan enak dan kemana-mana tinggal duduk di balik kaca mobil sambil mengingat bahwa di Jakarta saya tidak semanis ini. Tapi saya tidak ingin kasih sayang keluarga saya menjadikan saya manusia lemah yang apa-apa nya tinggal minta. Tak memiliki tantangan hidup dan jauh dari nilai perjuangan. Cara saya adalah memilih menantang diri untuk belajar mandiri dengan pergi ke pesantren saat lulus sekolah dasar dan kuliah di Jakarta, dengan begitu saya bertemu dengan perih pahitnya hidup sendirian atau bersama-sama sahabat.

      Setiap pencapaian-pencapaian saat ini juga adalah berkat dan hasil titik perih dalam kehidupan. Entah berapa banyak orang yang membantu dan mengangkat saya hingga seperti ini. Semoga Gusti Allah membalas kebaikan-kebaikan itu dengan kebaikan dan kemudahan hidup kalian. Amin. Setiap kita memiliki kesempatan yang berbeda. Masa-masa sulit seharusnya membuat kita semakin kuat dan naik tingkat. Masa-masa sulit itu akan terlewati dan akan berubah menjadi masa yang lain. Tapi ingatlah kebaikan itu kekal. Seperti kata Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab RA :

      "jika kita letih karena kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan itu akan kekal.
       Jika kita bersenang-senang dengan dosa, maka sesungguhnya kesenangan itu akan hilang dan dosa itu akan kekal"

      Saya rindu kalian, saudaraku.
      Nara, 20170712

      Jun 25, 2017

      Lebaran Minoritas

      safir..!! tajid ‘iwadhan ‘amman tufariquhu” (Imam Asy-Syafi'i)

      Seketika ingat dengan pelajaran mahfudzot saat saya belajar di pondok dulu, yang artinya kira-kira begini : "Pergilah maka engkau akan dapati pengganti apa yang engkau tinggalkan". Kelanjutan mahfuzot ini silahkan cari sendiri karena pasti anda akan tertarik dengan kedalaman maknanya.

      ***
      Sudah kali kedua saya tidak lebaran di Indonesia, tahun lalu saya pun menghabiskan hari raya di Jepang (bang toyib). Kali ini beruntungnya lebaran bertepatan dengan hari minggu, tahun lalu setelah solat Ied saya langsung masuk ke lab dan langsung mengerjakan hal biasa, seperti tidak ada peringatan apapun kecuali handphone yang lebih ramai dengan ucapan permohonan maaf dan sapaan-sapaan akrab dari keluarga di rumah. 

      Karena bertepatan hari minggu, maka saya bisa lebih santai dan tidak masuk ke lab seperti lebaran tahun lalu. Setelah semalam saya mendapatkan makanan surga berisi nasi rendang, sayur ati dan opor ayam dari Mas Sarmoko dengan masakan super enak dari Istrinya yang sedang hamil (semoga Allah mempermudahlancarkan kehamilan dan kelahirannya nanti, amin). Saya dan Kenny Lischer mengobrol sambil menikmati makanan surga itu, karena kepalang larut malam, saya menunggu subuh hingga jam tiga pagi tapi setelah jam tiga pagi itu saya menunggu jam tujuh untuk solat ied rasanya lama sekali, seperti menunggu kera sakti pulang mencari kitab suci.

      Setelah solat Ied bersama keluarga muslim di kampus saya tinggal dan pastinya melanjutkannya dengan melahap hidangan ala-ala timur tengah dan Indonesia-Malaysia. Entah kebetulan atau bagaimana, saya dan Kenny mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tour melihat sejarah paling kuno dari peradaban Jepang di Nara dari kampus, karena gratis saya mengikutinya tanpa tahu itu bertepatan pada hari lebaran, jadilah kami mengikuti tour ini setelah solat ied.

      Hari yang aneh memang, di mana orang-orang berkumpul dengan keluarga, saya malah berwisata sejarah ke temple. Let it flow sajalah yud, daripada boring di kamar mending jalan-jalan. Toh tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali melihat teman-teman di Indonesia memposting makanan-makanan surga (percayalah ini paling memilukan buat perantau). 

      Saya diajak mengenal sejarah Jepang lebih dekat dengan berkunjung ke Horyuji Temple and Saidaiji Temple di Nara. Horyuji ini konon adalah temple pertama yang dibangun pada tahun 607 dan sampai sekarang masih terjaga dengan baik. Sedangkan di Saidaiji saya berkesempatan untuk melihat upacara minum teh hijau dan meminumnya dengan mangkuk super besar (lebih dari porsi makan saya). Foto-foto perjalanan saya posting di bagian bawah blog.

      Selama di perjalanan saya berbincang banyak dengan Kenny dan dengan diri saya sendiri tentang sejarah ini yang memberikan pelajaran mengenai makna-makna kehidupan. Saya sadar, kehidupan manusia sangat singkat, setiap kita akan pergi dari satu dimensi ke dimensi lain. Tapi kebaikan akan kekal bahkan setelah kematian. Analogi sederhana bagaimana mereka menjaga dengan baik, bangunan, tradisi dan filosofi kehidupan di sini adalah bukan perkara mudah, dalam sejarahnya Jepang telah digempur (dan menggempur) negara-negara lain dan peristiwa-peristiwa besar telah hatam dialaminya, tapi bangunan ini, kokoh berdiri tak dimakan modernitas. 

      Saya yakin bahwa momentum lebaran ini berasa sekali untuk muslim yang tinggal di daerah non-muslim dan terpaksa menjadi minoritas, tidak ada kumpul keluarga kecuali mendengar suara dan text rindu di depan layar. Atau menikmati siksaan dengan melihat makanan surga opor ayam, rendang dan kawan-kawannya seliweran lebih banyak di sosial media. Tidak ada suasana dan atmosfer lebaran seperti biasanya. Setiap perantau adalah pejuang, memperjuangkan mimpi dan cita-cita yang luhur. Perantauan adalah sekolah tersendiri bagi kedewasaan, untuk memahami bahwa tujuan semua ini untuk memandirikan diri dan menghidupi kehidupan.

      Perantau dapat merasakan bagaimana jernihnya berpikir. Karena hanya dengan menjadi minoritas, kita dapat mengerti bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran atau hanya pembenaran. Bahwa saat menjadi mayoritas, kebanyakan dari kita lupa diri dan mencoba merekayasa makna dalam bertoleransi pada perbedaan cara pandang dan latar belakang masing-masing individu. Perantau berjuang memahami perbedaan dan mencoba menyesuaikan diri tanpa menjadi orang lain

      Khutbah hari ini saya juga diingatkan kembali bahwa islam menjadi agama yang dapat masuk ke dalam tradisi dan adat masyarakat manapun selama tidak bertentangan kepada maqosidus syariah, karena sesungguhnya islam adalah rahmatan lil alamin. Perspektif dan guratan tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak manapun, hanya upaya untuk mengingatkan diri kembali.

      Cobalah untuk hidup di lingkungan yang berbeda dengan kita, untuk benar-benar mengenali diri sendiri dan menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Saya melihat hampir semua orang besar lahir dari perantauan.

      Begitulah coretan ngalor ngidul ini saya tulis untuk mengguratkan cerita konyol hari ini, dengan "berziarah" ke temple kuno tepat di hari lebaran. Tapi saya percaya, bagaimanapun getirnya pejuang-rantau, kisahnya akan tetap terasa manis untuk diceritakan.

      Salam Rindu, 
      Nara 20170625
      Yudhi Nugraha


      *****
      Oleh-oleh foto jalan-jalan hari ini :




      (Tradisi jamuan teh)

      (Horyuji Temple )

      (Saidaiji Temple)
      (Upacara minum teh dan ukuran mangkok buat minumnya)

      (Terakhir, foto kucing yang hidup bersama kami mahasiswa NAIST, 
      ga ada kaitannya ama cerita di sini )