May 16, 2017

Positivity

Penelitian saat saya S2 dulu berusaha menggantikan FBS (Fetal Bovine Serum) sebagai “nutrisi” bagi stem cell saat dipropagasi, karena makanan stem cell ini ternyata memiliki protein yang sangat sulit dibersihkan saat ingin disuntikan kepada pasien. Bahkan menyeramkannya lagi protein Neu5GC ini bisa menyebabkan pasien syok anafilatik setelah terapi stem cell.

Kami memanfaatkan platelet concentrate (PC) sebagai penggantinya, karena PC ini punya growth factor atau nutrisi yang sama dengan FBS. Kami juga berpikir bisa memanfaatkan limbah PC yang ada di PMI untuk pengujian skala laboratorium karena di PMI untuk menjaga kualitasnya PC hanya berumur lima hari setelah kemudian harus dibuang sesuai tuntunan prosedur dari WHO. Meski untuk penggunaan klinis PC kadaluarsa ini akan menjadi tidak popular dan sebaiknya digunakan autolog dari darah pasien sendiri.

Saya mengingat ini sebagai analogi sederhana bahwa betapapun baiknya sesuatu (stem cell) bisa saja ternodai (bahasa risetnya terkontaminasi) dengan lingkungan tempatnya tumbuh. Begitu pula kita, lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh bagi pemikiran, atmosfer dan cara kita menyelasikan masalah.

Saya beruntung dibesarkan atau dipropagasi dalam di tempat yang baik meski saya belum sebaik yang diharapkan dan masih memperbaiki khilaf saya di sana-sini. Sejak di rumah, pesantren, sampai lingkungan kampus dan tempat saya bekerja positivity itu betul-betul saya rasakan meski beberapa tetap saja ada yang negatif tapi “muatan” mereka kalah banyak dengan positivity personil komunitas yang lainnya. Seperti muatan DNA yang acid tetap ditemani dengan basa nitrogen yang diperantai oleh gula deoksiribosa.

Saya juga merasa kebesaran Amerika Serikat salah satunya dipengaruhi oleh hal-hal kecil yang bersifat positif. Bagi yang pernah hidup / kuliah di sini sudah mengerti pastinnya tentang “bualan positif” yang selalu terlontar dalam perjalanan pendidikan di Amerika. Pendidik tidak berat untuk memuji seperti : great job, awesome, etc. Hal kecil ini saya rasakan betul pada setiap rapat, diskusi dan berkomunikasi dengan professor saya meski yang saya paparkan adalah masalah-masalah besar pada riset kami.

Saya mungkin menyebutkan dengan “Positivity” dalam hidup. Banyak hal bisa keluhkan dalam hidup, kita punya banyak masalah dan “setiap kita” sedang berjuang dengan perang kita masing-masing. Bukankah akan lebih mudah kita saling membantu mencarikan solusi, atau jika belum bisa memberikan hal tersebut, mau kah kita mulai sekarang membuat lingkungan kita lebih positif dan menyebarkan nilai optimisme pada sesama.

Pada dunia riset, optimisme pada hipotesis penelitian diyakini dapat memberikan hasil yang akan sesuai dengan harapan. Jika penelitinya saja belum percaya dengan “ramalan” hipotesanya, maka untuk apa penlitian dilakukan. Hal lain yang mesti diingat bahwa optimisme ini bisa ditularkan, sehingga dengan kenyataan ini kita bisa memulai untuk saling memberikan support dan mendorong sesama untuk positive thinking.

Tetiba saya teringat dengan sebuah Hadist : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku” (Muttafaqun ‘alaih)

Mari mencari solusi atas semua masalah yang terjadi, berhentilah mengeluh dan menghakimi yang belum kita mengerti hanya karena kita tak sefaham-semengerti, mulailah berprasangka baik dan memberikan koreksi membangun tanpa dasar benci. 

Yudhi Nugraha
Pheter J Shield Library, Univ. of California, Davis. 20170220

Elisa dan Jodoh

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi yang berguna untuk deteksi virus/ antigen / hal yang tidak kasat mata, bahkan mikroskop biasa. Contohnya deteksi virus HIV dan lain sebagainya.

Metode Elisa scara prinsip sebenernya sederhana, jadi virus yg ada di sampel darah pasien kita kasih penempelnya yang biasa disebut antibodi (HIV nya disebut antigen), terus HIV dan antibodi ini ditempelin lagi ama pewarna (ada macem2 substrat buat bikin warna ini), nahh kalo ada HIV nya tentu akan ketahuan di darah itu ada atau ga dengan ngeliat ada tidaknya perubahan warna tertentu.

Metode ini metode ikatan spesifik antara antibodi dan antigen, dulu mungkin waktu SMA pernah belajar mengenai ikatan key and lock suatu protein. Nah itu pula yang terjadi pada metode Elisa, interaksi spesifik ini yang akan ngebuat virus yang kita pengen terdeteksi dengan pasti ada tidaknya di dalem darah /sampel pasien kita. Interaksi ini ga akan berkhianat atau salah sasaran.

Sama seperti takdir jodoh, saya yakin tidak akan ketuker. Tinggal gemana kita berusaha memantaskan diri untuk jodoh kita dengan terus mmperbaiki diri, meski dalam hidup selalu ada perjalanan yang kita harus lalui untuk akhirnya menemukan jodoh kita, begitu juga dengan Elisa, ada interaksi non-spesifik di dalamnya, maka dalam Elisa dikenal pencucian berulang untuk membersihkan interaksi tersebut. Mungkin dalam hidup kita juga perlu untuk melakukannya dengan benar-benar secara logis menentukan pilihan.

Tak perlu khawatir dengan tuntutan orang lain yang sering bertanya, mungkin mereka bertanya hanya menunjukkan keperdulian lalu kemudian mreka juga akan sibuk makan minum dan pusing dengan urusannya sendiri, lalu mengapa kita ambil pusing dengan urusan itu.
Seperti halnya Elisa, percayalah akan ada ikatan spesifik tersebut pada waktu yang tak perlu disebut.

Yudhi Nugraha
Sambil nunggu Immunopresipitasi, California, 20170214

Toleransi Genetik

Personalized Medicine (PM) adalah prodesur yang membagi kelompok pasien menjadi beberapa perbedaan bentuk terapi pengobatan dan pencegahan suatu penyakit berdasarkan karakteristik khas individu secara genetik.

Jadi simpelnya begini, karena manusia yang memiliki karakter DNA yang khas setiap individunya maka sebenarnya ada perbedaan saat obat masuk dan bekerja, serta perbedaan pada untai DNA ini juga akan ngebikin manusia punya risiko penyakit tertentu yang berbeda pula individunya (ex.kanker) dan perbedaan genetik ini juga kadang ngebuat resistensi saat pengobatan tertentu karena gen nya udah mutasi (jadi obatnya ga ngefek lagi).

Penerapan PM ini di Indonesia salah satunya dikembangkan pada terapi pengobatan kanker dengan melihat mutasi pada gen-gen tertentu yang menjadi jalur penting terapi obat (ex. mutasi EGFR untuk kanker paru), serta pada terapi AIDS dengan melihat resistensi HIV terhadap obat antiretroviral (klo ini ngeliat mutasi di HIV nya), semua hasil ini akan menjadi bahan pertimbangan dokter dalam menentukan terapi (Pada tahun 2012-2014 saya bekerja untuk ini).

Lalu bagaimana kedepan PM juga dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan akurasi terapi pada pengobatan. Masalahnya adalah, jelas tentang biaya, karena perbedaan gen secara personal tidak mungkin bisa menjadi urusan/beban negara dan kepentingan general. Tantangan lain untuk pemerintah adalah terkait aturan kerahasiaan genetis yang dimiliki kebanyakan masyarakat Indonesia yang kapan saja dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingannya sendiri.

Tapi tiba-tiba saya berpikir tentang karakteristik perbedaan ini, tentang kenapa kita dilahirkan dengan genetik yang khas setiap individunya yang diturunkan secara genetis random dari kedua orangtua kita dengan teori peluang hereditas yang ngejelimet.

Perbedaan ini memang sengaja diciptakan Gusti Allah untuk kita saling mengenal, bukan artian "hanya mengenal" secara harfiah, tapi lebih dalam lagi dari itu, untuk saling memahami, saling mencari hikmah pada setiap persimpangan faham, saling mecari gradien persamaan untuk bahu membahu menjadi warga dunia dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan manusia.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (al-Hujuraat: 13)

Sesekali jadilah minoritas pada suatu lingkungan yang sangat jauh dari mana kita berasal, maka kita akan belajar bersama dengan keberagaman kulit, bahasa, adat, dan agama. Akan ada hikmah dan pelajaran yang tidak kita dapat saat menjadi mayoritas untuk dapat mengerti apa itu arti toleransi.
Salam Kebangkitan Peneliti Indonesia!

Yudhi Nugraha
(University of California, Davis USA, 10/02/2017)

Immortalitas Kebaikan

Kemarin saya dan Bryan sedang berusaha mmpelajari tntg salah satu gen yang ngebuat Hydra jadi Immortal. Avertebrata kecil yang punya tentakel ini cuma berukuran sekitar 0.4 inchi, tapi hampir sebagian tubuhnya adalah stem cell (bahkan selevel dengan totipotent stem cell pada manusia), jadi pada lingkungan yang "oke" tanpa gangguan apapun, dia akan bisa dipastikan hidup dengan immortalitas. 

Banyak gen yg udh dipelajarin kenapa dia bisa kyk gitu, salah satu gen yg dtemuin adalah FoxO, di University of California Davis kita lagi kepoin bbrpa gen lain di Hydra ini (Beberapa gen ini belum bisa saya ceritakan terkait kerahasiaan riset). Tapi tujuan nantinya, buat kita bisa ngerti gemana gen ini bikin sel Hydra punya sifat kepuncaan yg khas terutama ngertiin sistem aging buat manusia. Saat saya ngasih makan nih Hydra yg kelaperan pake pelet Daphnia, saya tiba2 mkir gemana klo manusia jadi Hydra yg pny peluang hidup selama Hydra ini, apa hidup akan seseru ini, buat berpacu dalam waktu untuk ngelakuin sesuatu yang bermanfaat sebelum ajal dateng? 

Dua jam setelah ngasih makan Hydra itu, saya ketemu ama Mba Mega di Silo, beliau temen saya di FKUI, juga guru saya kalo nanya2 biomolekular waktu saya kerja di IHVCB FKUI dan mba mega kerja di Eijkmen Institute. Tepat dua puluh delapan bulan yg lalu, saya ama mba mega dan bang Ilham ketemuan di salemba buat ngbrolin masa depan dan cita2. Sekarang, mba mega lg S3 di sini, dan bang Ilham udah jd kepala UTD PMI di aceh. Banyak yg ingin saya capai di usia keduapuluh enam tahun saya ini kedepan. Malam ini kita berbincang seru, mengenai dinamika peneliti di Indonesia karena kita sama-sama dosen sekarang, sampe ngalor ngidul ngmongin bedanya hipersensitivitas tipe I dan IV dalam imunologi.

Sejenak saya sadar, bahwa waktu selalu mengajak kita berpacu dalam setiap detik yang dimiliki, kesempatan yang masih diberikan ama Gusti Allah buat kita terus jadi makhluk yang bermanfaat buat kemanusiaan lepas dari kepentingan diri sendiri yang sedianya sudah dipastikan rizki saat kita bekerja. Upaya kita mnjadi insan yg baik sebetulnya terletak pada bagaimana kita mnghabiskan waktu yg tersedia. Kesempatan pendidikan yg kita sedang jalani bukan lagi menuhankan gelar dan janji materi di masa depan, namun lebih jauh lagi yaitu untuk berbagi dan menjadi bagian dari solusi.
Banyak anak bangsa yg sedang bekerja keras detik ini untuk pendidikannya, entah di dalam negeri ataupun luar negeri sebenarnya sama saja, yang terpenting adalah memahami konsep pendidikan untuk berjanji memanusiakan manusia dan menjadi bagian dari pemersatu bangsa nantinya. Setiap keluh yang kita rasakan akan menjadi kebaikan saat niatan sudah lurus tanpa mengharap hanya kelulusan. Percayalah setiap usaha kita dinilai Gusti Allah sebagai hal baik yang tak hilang dimakan usia.

Akhirnya saya menemukan sebuah jawab :
"Bahwa yang abadi adalah kebaikan. Tak lekang waktu dan usang diterjang zaman bahkan kematian". Saya jadi teringat kata-kata Umar ibn Khattab yg klo g salah gini : “Bila kita merasa letih karena berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang & kebaikan itu akan kekal. Bila kita Bersenang-senang dengan dosa, Kesenangan itu akan hilang & dosa itu yang akan kekal.”
Salam kebangkitan peneliti Indonesia !

Yudhi Nugraha,
Catatan Subuh 05.48. Amerika Serikat, 08 Februari 2017.

Menjemput Kemarin

Saya terbang dari Osaka ke California hari minggu kemarin (5 Februari 2017) jam enam petang dan tiba di Amerika Serikat 5 Februari 2017 pagi, itu artinya saya kembali di hari yang sama dan seperti menjemput pagi.

Saya sadar hari ini (di sini tgl 6 Februari 2017) saya sengaja bangun lebih awal untuk menikmati fajar yang tak seperti biasanya, di negara yang sama sekali (lagi-lagi) tak ada dalam list negara yang ingin saya kunjungi, tapi gusti Allah punya tujuan lain. Saya hanya ingin menuliskan kata sebagai pengingat hari pertama saya akan menimba ilmu tentang stem cell menggunakan pendekatan molekular dgn mmpelajari regulasi beberapa gen kepuncaan terutama PIWI dgn mnggunakan Hydra di University of California Davis. Pengembangan chimeric organ manusia yang dibuat di hewan uji oleh salah satu profesor di sini sedang menuai kontroversi, saya merasa beruntung dapat menjalani semua ini tanpa dugaan, mungkin ini jawaban doa ibu saya yang setiap hari tiada henti berdoa di sana.

HostFamily saya adalah seorang politisi yang beraliran demokrat, kami berbicara banyak hal tentang amerika dan politiknya, terutama tentang Trump dan kebenciannya terhadap golongan tertentu. Saya merasa seperti sedang bercermin tentang negara saya, bahwa semua ini tentang politik, bagaimana kebencian dan rasisme bisa menjadi alat politik yang membantah logika umum dan menutupi janji kebhinekaan. Ini seperti kita yang berbangsa dengan melangkah mundur. Bukankah kita sudah melalui banyak ujian kebhinekaan itu? Lalu mengapa kita seperti "menjemput kemarin" sebagai anak nusantara yang tunalogika?

Mari berdoa untuk kemajuan bangsa kita dan memulai berbuat dari peran yang kita lakukan, siapa pun kita, saya percaya, akan ada peran yang bisa kita sumbangsihkan untuk peradaban dan kemanusiaan dibandingkan hanya mengkritisi tanpa memberi solusi.

(California, 04.23. Senin 6 Februari 2017)