May 16, 2017

Elisa dan Jodoh

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi yang berguna untuk deteksi virus/ antigen / hal yang tidak kasat mata, bahkan mikroskop biasa. Contohnya deteksi virus HIV dan lain sebagainya.

Metode Elisa scara prinsip sebenernya sederhana, jadi virus yg ada di sampel darah pasien kita kasih penempelnya yang biasa disebut antibodi (HIV nya disebut antigen), terus HIV dan antibodi ini ditempelin lagi ama pewarna (ada macem2 substrat buat bikin warna ini), nahh kalo ada HIV nya tentu akan ketahuan di darah itu ada atau ga dengan ngeliat ada tidaknya perubahan warna tertentu.

Metode ini metode ikatan spesifik antara antibodi dan antigen, dulu mungkin waktu SMA pernah belajar mengenai ikatan key and lock suatu protein. Nah itu pula yang terjadi pada metode Elisa, interaksi spesifik ini yang akan ngebuat virus yang kita pengen terdeteksi dengan pasti ada tidaknya di dalem darah /sampel pasien kita. Interaksi ini ga akan berkhianat atau salah sasaran.

Sama seperti takdir jodoh, saya yakin tidak akan ketuker. Tinggal gemana kita berusaha memantaskan diri untuk jodoh kita dengan terus mmperbaiki diri, meski dalam hidup selalu ada perjalanan yang kita harus lalui untuk akhirnya menemukan jodoh kita, begitu juga dengan Elisa, ada interaksi non-spesifik di dalamnya, maka dalam Elisa dikenal pencucian berulang untuk membersihkan interaksi tersebut. Mungkin dalam hidup kita juga perlu untuk melakukannya dengan benar-benar secara logis menentukan pilihan.

Tak perlu khawatir dengan tuntutan orang lain yang sering bertanya, mungkin mereka bertanya hanya menunjukkan keperdulian lalu kemudian mreka juga akan sibuk makan minum dan pusing dengan urusannya sendiri, lalu mengapa kita ambil pusing dengan urusan itu.
Seperti halnya Elisa, percayalah akan ada ikatan spesifik tersebut pada waktu yang tak perlu disebut.

Yudhi Nugraha
Sambil nunggu Immunopresipitasi, California, 20170214

Toleransi Genetik

Personalized Medicine (PM) adalah prodesur yang membagi kelompok pasien menjadi beberapa perbedaan bentuk terapi pengobatan dan pencegahan suatu penyakit berdasarkan karakteristik khas individu secara genetik.

Jadi simpelnya begini, karena manusia yang memiliki karakter DNA yang khas setiap individunya maka sebenarnya ada perbedaan saat obat masuk dan bekerja, serta perbedaan pada untai DNA ini juga akan ngebikin manusia punya risiko penyakit tertentu yang berbeda pula individunya (ex.kanker) dan perbedaan genetik ini juga kadang ngebuat resistensi saat pengobatan tertentu karena gen nya udah mutasi (jadi obatnya ga ngefek lagi).

Penerapan PM ini di Indonesia salah satunya dikembangkan pada terapi pengobatan kanker dengan melihat mutasi pada gen-gen tertentu yang menjadi jalur penting terapi obat (ex. mutasi EGFR untuk kanker paru), serta pada terapi AIDS dengan melihat resistensi HIV terhadap obat antiretroviral (klo ini ngeliat mutasi di HIV nya), semua hasil ini akan menjadi bahan pertimbangan dokter dalam menentukan terapi (Pada tahun 2012-2014 saya bekerja untuk ini).

Lalu bagaimana kedepan PM juga dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan akurasi terapi pada pengobatan. Masalahnya adalah, jelas tentang biaya, karena perbedaan gen secara personal tidak mungkin bisa menjadi urusan/beban negara dan kepentingan general. Tantangan lain untuk pemerintah adalah terkait aturan kerahasiaan genetis yang dimiliki kebanyakan masyarakat Indonesia yang kapan saja dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingannya sendiri.

Tapi tiba-tiba saya berpikir tentang karakteristik perbedaan ini, tentang kenapa kita dilahirkan dengan genetik yang khas setiap individunya yang diturunkan secara genetis random dari kedua orangtua kita dengan teori peluang hereditas yang ngejelimet.

Perbedaan ini memang sengaja diciptakan Gusti Allah untuk kita saling mengenal, bukan artian "hanya mengenal" secara harfiah, tapi lebih dalam lagi dari itu, untuk saling memahami, saling mencari hikmah pada setiap persimpangan faham, saling mecari gradien persamaan untuk bahu membahu menjadi warga dunia dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan manusia.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (al-Hujuraat: 13)

Sesekali jadilah minoritas pada suatu lingkungan yang sangat jauh dari mana kita berasal, maka kita akan belajar bersama dengan keberagaman kulit, bahasa, adat, dan agama. Akan ada hikmah dan pelajaran yang tidak kita dapat saat menjadi mayoritas untuk dapat mengerti apa itu arti toleransi.
Salam Kebangkitan Peneliti Indonesia!

Yudhi Nugraha
(University of California, Davis USA, 10/02/2017)

Immortalitas Kebaikan

Kemarin saya dan Bryan sedang berusaha mmpelajari tntg salah satu gen yang ngebuat Hydra jadi Immortal. Avertebrata kecil yang punya tentakel ini cuma berukuran sekitar 0.4 inchi, tapi hampir sebagian tubuhnya adalah stem cell (bahkan selevel dengan totipotent stem cell pada manusia), jadi pada lingkungan yang "oke" tanpa gangguan apapun, dia akan bisa dipastikan hidup dengan immortalitas. 

Banyak gen yg udh dipelajarin kenapa dia bisa kyk gitu, salah satu gen yg dtemuin adalah FoxO, di University of California Davis kita lagi kepoin bbrpa gen lain di Hydra ini (Beberapa gen ini belum bisa saya ceritakan terkait kerahasiaan riset). Tapi tujuan nantinya, buat kita bisa ngerti gemana gen ini bikin sel Hydra punya sifat kepuncaan yg khas terutama ngertiin sistem aging buat manusia. Saat saya ngasih makan nih Hydra yg kelaperan pake pelet Daphnia, saya tiba2 mkir gemana klo manusia jadi Hydra yg pny peluang hidup selama Hydra ini, apa hidup akan seseru ini, buat berpacu dalam waktu untuk ngelakuin sesuatu yang bermanfaat sebelum ajal dateng? 

Dua jam setelah ngasih makan Hydra itu, saya ketemu ama Mba Mega di Silo, beliau temen saya di FKUI, juga guru saya kalo nanya2 biomolekular waktu saya kerja di IHVCB FKUI dan mba mega kerja di Eijkmen Institute. Tepat dua puluh delapan bulan yg lalu, saya ama mba mega dan bang Ilham ketemuan di salemba buat ngbrolin masa depan dan cita2. Sekarang, mba mega lg S3 di sini, dan bang Ilham udah jd kepala UTD PMI di aceh. Banyak yg ingin saya capai di usia keduapuluh enam tahun saya ini kedepan. Malam ini kita berbincang seru, mengenai dinamika peneliti di Indonesia karena kita sama-sama dosen sekarang, sampe ngalor ngidul ngmongin bedanya hipersensitivitas tipe I dan IV dalam imunologi.

Sejenak saya sadar, bahwa waktu selalu mengajak kita berpacu dalam setiap detik yang dimiliki, kesempatan yang masih diberikan ama Gusti Allah buat kita terus jadi makhluk yang bermanfaat buat kemanusiaan lepas dari kepentingan diri sendiri yang sedianya sudah dipastikan rizki saat kita bekerja. Upaya kita mnjadi insan yg baik sebetulnya terletak pada bagaimana kita mnghabiskan waktu yg tersedia. Kesempatan pendidikan yg kita sedang jalani bukan lagi menuhankan gelar dan janji materi di masa depan, namun lebih jauh lagi yaitu untuk berbagi dan menjadi bagian dari solusi.
Banyak anak bangsa yg sedang bekerja keras detik ini untuk pendidikannya, entah di dalam negeri ataupun luar negeri sebenarnya sama saja, yang terpenting adalah memahami konsep pendidikan untuk berjanji memanusiakan manusia dan menjadi bagian dari pemersatu bangsa nantinya. Setiap keluh yang kita rasakan akan menjadi kebaikan saat niatan sudah lurus tanpa mengharap hanya kelulusan. Percayalah setiap usaha kita dinilai Gusti Allah sebagai hal baik yang tak hilang dimakan usia.

Akhirnya saya menemukan sebuah jawab :
"Bahwa yang abadi adalah kebaikan. Tak lekang waktu dan usang diterjang zaman bahkan kematian". Saya jadi teringat kata-kata Umar ibn Khattab yg klo g salah gini : “Bila kita merasa letih karena berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang & kebaikan itu akan kekal. Bila kita Bersenang-senang dengan dosa, Kesenangan itu akan hilang & dosa itu yang akan kekal.”
Salam kebangkitan peneliti Indonesia !

Yudhi Nugraha,
Catatan Subuh 05.48. Amerika Serikat, 08 Februari 2017.

Menjemput Kemarin

Saya terbang dari Osaka ke California hari minggu kemarin (5 Februari 2017) jam enam petang dan tiba di Amerika Serikat 5 Februari 2017 pagi, itu artinya saya kembali di hari yang sama dan seperti menjemput pagi.

Saya sadar hari ini (di sini tgl 6 Februari 2017) saya sengaja bangun lebih awal untuk menikmati fajar yang tak seperti biasanya, di negara yang sama sekali (lagi-lagi) tak ada dalam list negara yang ingin saya kunjungi, tapi gusti Allah punya tujuan lain. Saya hanya ingin menuliskan kata sebagai pengingat hari pertama saya akan menimba ilmu tentang stem cell menggunakan pendekatan molekular dgn mmpelajari regulasi beberapa gen kepuncaan terutama PIWI dgn mnggunakan Hydra di University of California Davis. Pengembangan chimeric organ manusia yang dibuat di hewan uji oleh salah satu profesor di sini sedang menuai kontroversi, saya merasa beruntung dapat menjalani semua ini tanpa dugaan, mungkin ini jawaban doa ibu saya yang setiap hari tiada henti berdoa di sana.

HostFamily saya adalah seorang politisi yang beraliran demokrat, kami berbicara banyak hal tentang amerika dan politiknya, terutama tentang Trump dan kebenciannya terhadap golongan tertentu. Saya merasa seperti sedang bercermin tentang negara saya, bahwa semua ini tentang politik, bagaimana kebencian dan rasisme bisa menjadi alat politik yang membantah logika umum dan menutupi janji kebhinekaan. Ini seperti kita yang berbangsa dengan melangkah mundur. Bukankah kita sudah melalui banyak ujian kebhinekaan itu? Lalu mengapa kita seperti "menjemput kemarin" sebagai anak nusantara yang tunalogika?

Mari berdoa untuk kemajuan bangsa kita dan memulai berbuat dari peran yang kita lakukan, siapa pun kita, saya percaya, akan ada peran yang bisa kita sumbangsihkan untuk peradaban dan kemanusiaan dibandingkan hanya mengkritisi tanpa memberi solusi.

(California, 04.23. Senin 6 Februari 2017)

Nov 1, 2016

Saya dan Protein Crystallography

Pada penantian purifikasi protein malam ini saya ingin menuliskan sebuah cerita tentang saya dan riset saya pada program doktoral selama satu tahun ini. Jauh sebelumnya, saya tidak mengetahui banyak tentang apa itu protein, yang saya ketahui hanya bahwa protein adalah salah satu dari biomakromolekul pada pelajaran Kimia Organik, sejawat dengan karbohidrat, asam nukleat dan lemak. 

Baru ketika saya belajar Rekayasa Protein kepada Guru Besar FKUI, Prof dr Amin Subandrio W Kusumo, PhD, SpMK (saat itu adalah wakil Menristek RI dan sekarang menjadi Direktur Lembaga Molekular Eijkmen), saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang protein dari beliau, meski pada jenjang magister saat itu, kecintaan saya pada penelitian stem cell untuk terapi medik, mendorong saya menyelesaikan tesis yang berupaya memecahkan solusi pada masalah medium aditif xenogenic untuk propagasi mesenchymal stem cell menggunakan PRP dalam aplikasi terapi stem cell yang lebih aman kepada pasien, terhindar dari syok anafilatik yang disebabkan oleh kontaminasi protein, saya berada dalam group riset yang hangat, bersama Prof dr Jeanne A Pawitan, MS PhD, Dr. dr Reza Y Purwoko, SpKK, DR Pudji Sari MS dan mba Evah Luviah (Published paper : 1,2)

September 2015, saya memulai kuliah doktoral di Jepang, meski masih dalam bidang yang sama yakni untuk melihat lebih dalam tentang proliferasi dan diferensiasi secara biomolekular untuk stem cell, kali ini saya lebih fokus pada protein yang bertanggung jawab terhadap pembelahan sel tersebut, terutama melalui mekanisme hippo pathway, (Project jelasnya belum boleh saya jelaskan). 

Saya memulai semuanya dari nol, dari belajar teori dan teknik kloning DNA, purifikasi protein menggunakan banyak sekali metode, sampai belajar membuat kristal protein dengan ribuan kondisi buffer untuk satu kali kristalisasi yang dihitung secara presisi, sampai difraksi menggunakan X-ray untuk mendeterminasi struktur protein tersebut di Spring8.

Betapa bahagianya saya, mendapat kesempatan belajar protein kristalografi ini dari pakar protein langsung, Prof. Toshio Hakoshima, PhD selain karena beliau dikenal telah terlibat pada lebih dari 3000 project protein di dunia (3), beliau juga merupakan murid langsung dari Alexander Rich saat di MIT dulu, yang tak lain adalah penemu Z DNA dan RNA editing bersama dengan James Watson (Penemu struktur DNA dengan Francis Crick) menggunakan X-ray Crystallography (4). Hakoshima-sensei biasa saya memanggilnya, selain dekan yang nyentrik, beliau juga sangat baik terhadap mahasiwanya, termasuk saya.
Saya dan Prof Hakoshima

Central dogma dalam bidang biomolekular kini sudah sampai pada stase kajian proteomik, jika dibandingkan pada era sebelumnya, masa-masa kejayaan upstream central dogma pada biomolekular terjadi pada beberapa puluh tahun silam seperti masa-masa perkembangan Human genome maping dan penemuan reverse-transciptase dari RNA menjadi DNA untuk rt-PCR, maka (menurut saya) proses translasi dari RNA ke protein dan riset mengenai protein secara komperhensif adalah hal yang paling menarik untuk diteliti sekarang ini.

Keunikan protein dibandingkan dengan biomakromolekul lain adalah bahwa hampir semua komunikasi sel mulai dari sistem imun, komunikasi sel / antar sel sampai dengan peranan obat dalam kesehatan akan melibatkan jalur molekular yang bergantung penuh pada peran protein, maka mengetahui tentang struktrur dari protein akan memberikan informasi yang detail kepada kita bagaimana semua hal itu terjadi.

29 dari 48 peraih Nobel sepanjang sejarah merupakan peneliti pada bidang crystallography, hal ini karena bidang ini merupakan hilir dari suatu riset dimana dengan ilmu ini, manusia dapat memahami bagaimana sebuah molekul tertentu melalui bentuk dan karakternya dapat berfungsi dan berdampak pada tingkat molekular dan kemudian manusia dapat mensiasati dan merekayasa melalui pengetahuan terhadap struktur tersebut sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya (5). 

Saat memahami struktur suatu protein, tidak hanya dapat menjawab secara terperinci bagaimana sebuah pathway molecular berjalan dalam sel tapi juga hal ini melahirkan manfaat dalam merekayasa hasil temuan untuk menjadi solusi dalam dunia kedokteran dan sains.

Contoh sederhananya, pemahaman bagaimana misalnya jika protein A dan B saat dia berikatan menjadi proses inisiasi dari proliferasi sel, maka dengan mengerti strukturnya, peneliti dapat membuat “selingkuhan” untuk A sehingga ikatan A-B tidak terbentuk dan akhirnya proses pembelahan sel dapat dihentikan (berguna untuk anti-cancer therapy).

Atau bagaimana jika pengetahuan mengenai obat tertentu yang menghambat mekanisme selular dapat direkayasa ikatannya sehingga lebih adikuat terhadap reseptor tertentu. Atau saat kebutuhan protein esensial dalam tubuh tidak terpenuhi karena adanya penyakit mutasi genetik, maka dengan keilmuan ini protein sintetik dapat dibuat dengan terlebih dahulu memahami dengan mendalam karakter dan strukturnya.

Pemahaman interaksi protein satu dengan yang lainnya ini jugalah bidang yang  membuahkan penemuan-penemuan biosensor atau alat deteksi suatu penyakit melalui ikatan spesifik antara antigen tertentu dengan yang lainnya.

****

Saya merasa sangat beruntung belajar pada bidang ini pada guru-guru terbaik yang saya temui, meskipun saya hanya sebutir pasir di samudera ilmu protein crystallography ini, tapi saya tetap berharap dapat memberikan kontribusi pada kebermanfaatan dan terlepas dari tujuan mengutamakan prestasi duniawi yang tak kekal.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ 
الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (Hadist Narrated. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338.)

Akhir cerita, saya memohon doa untuk dapat selalu kembali memurnikan niat dalam mencari ilmu dan doa untuk kelancaran studi saya, sehingga nanti dapat menjadi pendidik yang baik dengan meneladani guru-guru hebat tersebut sepulangnya saya ke Indonesia. Amin.

References  :

www.yudhinugraha.com

Oct 26, 2016

Santri dan Kebhinekaan

Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang tercatat terutama bila mengingat tragedi Perang Rakyat Semesta pada 10 November 1945 yang diinisasi oleh seruan Resolusi Jihad Kyai Hasyim melawan NICA  yang dibentuk 22 Oktober 1945. Perang ini sejatinya lahir dari kesuksesan Kyai Hasyim dalam konsolidasi berbagai faham umat islam saat itu dan ketokohannya mampu meyakinkan kyai dan santri untuk keluar pesantren dalam rangka jihad kemerdekaan. Peran santri kemudian berlanjut dalam menjaga kebhinekaan Republik Indonesia senantiasa dalam harmoni dan toleransi hingga saat ini, melawan pemikiran baru yang lahir dari berbagai macam kepentingan.

Saat ini pemikiran radikal dalam islam dan lahirnya gerakan-gerakan baru dalam berkeyakinan telah sampai pada kondisi yang membahayakan. Terkadang dengan nama Islam dan teriakan suci “Allahu akbar” namun secara kontradiktif dibarengi dengan tindakan intoleransi dan anarkisme, mencoreng nilai luhur perdamaian dalam beragama. Hal-hal semacam ini biasanya disebabkan oleh pendidikan keislaman yang prematur, instan dan/atau tanpa tuntunan yang tepat. Agenda politik dan propaganda import, yang bertujuan untuk memecah belah umat adalah dalang utama lahirnya pemikiran-pemikiran seperti ini, karena mereka faham betul kenyataan bahwa pemahaman yang salah terhadap agama dapat menjadi inisiasi dalam perpecahan dan memanfaatkan hal ini untuk tujuan besar mereka.

Pendidikan islam di pesantren sudah terlebih dahulu matang dalam menguasai perubahan jaman, apalagi dengan keterbukaan pandangan yang telah dini diajarkan dalam kurikulum pesantren. Beberapa kitab yang diajarkan mendeskripsikan perbedaan mazhab / pemikiran ulama terdahulu dengan (tak hanya) menggunakan pendekatan dalil (Naqli) tapi juga logika (akli), bukan lagi pada stase doktrin agama yang harus diterima begitu saja. Sehingga memang seharusnya alumni pesantren dapat berpikir terbuka, rasional serta jauh dari pemikiran doktrin yang merusak tatabudaya dan nilai persatuan dalam berbangsa dan bernegara

Namun tidak semua santri “cetakan” pesantren berhasil dalam mentransformasikan cara-cara berpikir logis tersebut, beberapa malah keluar dari jalur yang diharapkan. Meski dalam jumlah yang minoritas, alumni pesantren yang keluar jalur ini lebih berbahaya daripada kebanyakan manusia lain, karena dengan legitimasi kesantriannya serta ilmu agama setengah matangnya, ia akan lebih didengar di masyarakat ketimbang non-santri dan dapat dengan mudah memunculkan perpecahan umat daripada mempererat ukhuwah.

Sebelum saya pergi ke Jepang untuk melanjutkan studi Doktoral saya pada tahun 2015, saya sengaja sowan kepada KH. Mujiburrahman M.Pd untuk meminta wejangan dan nasihatnya. Kyai berpesan kepada saya yang secara tersirat bermakna “bahwa alumni seperti kapal laut yang sedang berlayar di lautan peradaban yang luas, untuk dapat sampai pada tujuan dan tidak tersesat, maka santri membutuhkan kompas, dan kompas itu adalah Pesantren”. Nasihat ini disampaikan dengan redaksi yang sederhana tapi memiliki makna yang dalam dan komperhensif, bahwa alumni-alumni yang sedang dalam perjuangannya di luar, sangatlah membutuhkan pesantren untuk dapat berkontemplasi dari mana dan bagaimana kita semua dibesarkan.

Saat ini dengan kemudahan teknologi informasi yang massif dan transportasi dunia yang kian cepat, peran santri di pergulatan dunia sedang dinantikan, tentu dengan ciri khas pemikiran santri yang unik. Doktrin pesantren dan kebebasan pemikiran terarah yang dimiliki santri. Kaum santri sudah seharusnya dapat menularkan kebermanfaatan kepada peradaban dunia. Ya, kebermanfaatan kepada kemanusiaan. Karena peradaban dibangun oleh cendikia yang berhenti memaki dan fokus menciptakan solusi. Tugas berat santri sebagai cendikia bukan hanya mendidik umat untuk melakukan ritual agama secara baik tapi juga menjaga perdamaian dalam kebhinekaan agama, pemikiran dan kepentingan. Karena sejatinya, berislam secara komperhensif melahirkan perbaikan diri, umat dan peradaban dengan doktrin perdamaian dan persatuan.

"Habis gelap, terbitlah santri"
(Jepang. 26 Oktober 2016)
             

x

Jul 11, 2016

Outgrow your limit

Manusia secara lahiriah biologis memiliki rata-rata kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan makan minum dan beristirahat, namun manusia memiliki perbedaan yang signifikan dilihat pada kapabilitas dan kapasitasnya. Perbedaan ini yang menjadikan manusia dalam personalitinya berbeda satu dengan yang lainnya secara peran dan pengabdian pada kemanusiaan.

Kapasitas dan kapabilitas sebenarnya dapat dianalogikan seperti keterbatasan. Analogi sederhananya seperti :  beberapa orang dapat makan nasi sebanyak dua piring (saya contohnya) dan sebagian lainnya, makan dengan setengah porsi saja sudah kekenyangan. Ini analogi sederhana dari keterbatasan. Saya dahulu hanya bisa makan satu piring tapi karena saya ingin meningkatkan kapasitas perut saya, saya berusaha meningkatkan kapasitas itu menjadi dua piring, dan akhirnya bisa. Seperti itu pula dengan belajar, dengan berpikir, dengan menghadapi sebuah masalah.

Kapasitas dan kapabilitas seorang presiden perusahaan contohnya, akan jauh berbeda dengan kapasitas pekerjanya dalam hal pengelolaan dan manajemen perusahaan, kapasitas dan kapabilitas itu bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Pada ajaran islam dikenal konsep ilahiyah bahwa Gusti Allah yang Maha Agung tidak akan membebani kita di luar kemampuan kita. Tapi sekarang yang jadi pertanyaan adalah, sampai mana garis batasan kita? Kita sendiri tidak tahu. Atau Gusti Allah sebagai Rob (tarbawi) sedang juga mendidik kita untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita sebagai manusia.

Di kampus tempat saya belajar memiliki motto "outgrow your limit" artinya tingkatkan keterbatasanmu (makanya di sini hal biasa menjadi tempat riset sebagai tempat tinggal, hahaha..). Motto kampus ini menarik buat saya jadikan bahan kontemplasi personal, bahwa kita ini sebagai manusia, hamba Tuhan, dengan keterbatasannya menghadapi berbagai ujian kehidupan yang secara tersirattapi masif akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita. Seperti seorang dosen yang (biasanya) memberikan tugas sampai batasan mahasiswa merasa tidak sanggup (pengalaman pribadi, lol), tapi setelah dilakukan ternyata berhasil. Ataupun jika belum berhasil, garis keterbatasan itu setingkat lebih naik dari sebelumnya.

Ada kalanya kita sebagai manusia mengeluh dan menghardik dengan keadaan dan tuntutan hidup yang terjadi, tapi bukankan dengan keadaan dan tuntutan itu bisa kita jadikan sebagai bahan bakar kekhusyu'an kita memanggil Tuhan dalam hati? Dalam setiap kesulitan masih berpaling?

Keterbatasan adalah titik di mana kita dapat meningkatkan kemampuan. Kapabilitas dan kapasitas kita sebagai manusia untuk dapat bermanfaat dan berdampak luas bagi manusia lainnya. Saya berasumsi bahwa pelan tapi pasti jika kita berusaha untuk membuang rasa malas dan meningkatkan keterbatasan kita dengan paksaan sampai kita tahu titik keterbatasan kita itu, maka secara hukum sebab-akibat nantinya kapasitas dan kapabilitas kita secara personal akan meningkat.

Persaingan dalam segala aspek kehidupan, bijaksananya dilakukan dengan diri sendiri. Maksud saya, tak usahlah kita membandingkan diri dengan orang lain, cukup saja dengan berkaca diri bahwa apa yang kita lakukan hari ini lebih baik dari apa yang kita lakukan di hari kemarin. Saat kita bersaing dengan diri sendiri, kita akan lebih produktif dan jauh dari sakit hati apalagi dengki dengan keberhasilan orang lain.

“Wahai Anak Adam, engkau lah yang mengisi (buku catatan amalmu) dan Aku yang mencatatnya" (Firman Allah dalam Hadist Qudsi, juga tersurat dalam Al-Infithar 10-12)

(Outgrow your limit, Jepang 11 Juli 2016)

Oct 17, 2015

"Peran"

Banyak hal yang ingin saya tulis malam ini, tentang bagaimana semangat dan passion menggerakkan saya untuk melakukan banyak hal dan menolak banyak hal. Malam ini merupakan malam ke delapan belas saya di Jepang untuk melanjutkan jenjang doktoral saya. Entah mulai dari mana saya berbagi yang jelas kalimat yang akan saya ingin sampaikan adalah “lakukan apa yang kita sukai dan geluti terus sampai kita menjadi ahli di bidang yang kita sukai tersebut”

Saya sangat menyukai riset, mungkin untuk beberapa orang di lingkungan saya itu adalah hal yang terlalu mewah, tapi tahukah bahwa sesungguhnya riset itu dapat dimulai dari hal yang sederhana, seperti mengamati hal-hal kecil yang nampak di kehidupan sehari-hari, seperti meneliti fluktuasi harga sayur, atau komparasi harga satu pedagang dengan pedagang lain secara teliti.

Pada konsepnya sendiri, riset seharusnya membuat hal yang sulit menjadi sederhana, meskipun beberapa orang malah membuat yang sederhana menjadi terlihat lebih sulit. Sebagai contoh konsep reaksi amplifikasi DNA dengan PCR sebenarnya adalah proses sederhana menggunakan konsep perubahan suhu untuk membuka untai DNA, lalu menempelkan sekuens primer yang kita ingin buat serta menentukan suhu elongasi DNA tersebut. Ide ini sangat jenius dan hebat sekali buat saya, tapi sederhana sekali.

Kesukaan saya terhadap riset membuka peluang yang lebar untuk melakukan hal yang sangat di luar impian saya, seperti keliling berbagai negara, bekerja di atmosfer riset yang sangat baik dan mendapatkan beasiswa penuh dari Pemerintahan Jepang ini. Saya mempercayai bahwa cukuplah kita melakukan sesuatu yang kita sukai dan terus menikmatinya, kemudian melakukannya lagi dan lagi, maka suatu saat kita akan hidup dan makan dari apa yang kita lakukan. Nikmat ini adalah nikmat yang sangat besar ketika kita dapat melakukan hal yang kita sukai setiap hari dan hidup dari apa yang kita senangi.

Saya ingin berbagi kepada siapapun yang membaca tulisan saya malam ini. Saya bukan orang jenius atau cerdas, namun keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh antusiasme pada bidang tertentu. Tidak usahlah kita secara tamak berkeinginan untuk menjadi segala hal, ingin menjadi peneliti, ingin jadi dokter juga, ingin jadi dosen, bisnisman, ahli teknologi, kyai dan lain hal sebagainya. Pilihlah jalan kita sendiri dan yang terpenting adalah bidang yang kita tekuni merupakan bidang yang kita sendiri menikmati dalam melakukannya, saat kita sukses dalam satu bidang, secara kebetulan biasanya kita akan bersinggungan dengan hal lain, barulah kita bisa membuka diri.

Tidak bisa juga kita dikenal dengan sederet banyak hal yang kita lakukan. Manusia mempunyai relung atau dalam ilmu ekologi disebut “niche” atau peran dalam sebuah ekosistem, peran ini sulit untuk dapat menjadi multiperan. Kita dituntut untuk menguasai satu hal dan dalam bidang itulah kita akan berkontribusi pada kemanusiaan.

“man arafa nafsahu, laqod arafa robbahu”  artinya siapa saja yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya. Hal ini secara implisit memberikan kita pemahaman bahwa mengetahui potensi diri, passion, dan antusiasme kita pada bidang tertentu merupakan hal sangat urgent. Maka dari itu pilihlah bidang yang kita sukai sedini mungkin, agar kelak kehidupanmu bahagia dan lebih bersyukur dengan apa yang kita pilih.

Namun dalam akhir cerita ini saya bertanya pada diri saya sendiri adalah tentang kejenuhan. Kejenuhan merupakan hal lumrah yang hadir tanpa undangan dan tanpa dugaan. Jika seseorang bekerja pada bidang yang tidak ia sukai dan kemudian jenuh, maka ia akan melakukan hal ia sukai seperti pegawai yang melakukan futsal untuk hobinya. Namun, yang berbahaya buat kita adalah jika suatu saat nanti kita jenuh dengan hal yang kita sukai, maka apa yang bisa kita lakukan? Kecuali berserah padaNya untuk terus menjaga ghiroh dan semangat ini untuk pengabdian kita seutuhnya sebagai hamba. Maka, tentukanlah segera peran apa yang kita akan mainkan sebagai hambaNya.

Yudhi Nugraha
Jepang,  17 Oktober 2015.
Pukul 02.04

Mar 16, 2015

Urgensi Kontemplasi Diri.

Urgensi Kontemplasi Diri.

Perjalanan Jakarta menuju Serang kali ini tetiba membuat saya ingin menulis begitu saja di HP yang LCD nya rusak, hhe (jadi maaf kalo typo). Tidak  terasa sudah empat puluh empat hari saya tidak bekerja secara profesi, setelah intership di Jepang pada akhir Januari 2015, selain melengkapi perlengkapan dokumen beasiswa manbusho, dan fokus pada silaturahim network saya rasa sudah usang dimakan rutinitas kuliah dan bekerja di Jakarta, tapi juga sengaja menyempatkan jeda panjang ini untuk kontemplasi diri.
   
Kontemplasi diri secara definitif terminologis saya merupakan renungan panjang untuk mengenal diri sendiri, dalam konsep “siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” kontemplasi diri dikenal sebagai fisrt step penting sekali mencapai keyakinan terhadap ketuhanan. Pada salah satu kajian di taman ismail marzuki tanggal 13 maret 2015 lalu bertema “ateisme agama” dibahas secara komperhensif tentang pandangan beberapa tokoh pemikir islam mengenai ateisme, salah satu penyaji menuturkan bahwa ateisme merupakan fase penting saat kita mencari eksistensi Tuhan, seperti Nabi Ibrahim saat bertanya siapa itu Tuhan, Nabi Ibrahim tidak langsung menemukan Allah sebagai Tuhan, melainkan mendeskripsikan rembulan dan matahari terlebih dahulu sebagai gambaran Tuhan. Pada fase ini mungkin jika dipandang oleh “kaum penghuni surga” yang biasa menyalah-nyalahkan dan “ngerasa bener sendiri” itu, Ibrahim telah kafir. Hehe.. tapi tidak menurut saya, Ibrahim tidak berislam dengan ikut-ikutan pengajian, mengikuti tren gaya bahasa kearab-araban ana-ente, atau dilahirkan langsung secara de facto menjadi muslim, melainkan Ibraahim (bapak dari semua agama ini) mencari dulu dan berkontemplasi dulu.

Hal itu merupakan sebab semua nabi, bahkan Nabiyullah Muhammad Shalallhu alaihi wassalam pun juga berkontemplasi diri, para sahabat, wali sanga serta para ulama besar dahulu juga berkontemplasi diri. Untuk apa beliau-beliau itu berdiam diri di gua? Jika jarak dengan Allah sangat dekat? Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi arti pentingnya kontemplasi diri.  Entah apa nama dan “alih bahasa” nya, dari mulai “bertapa” sampai yang terdengar islami seperti “I’tikaf” adalah cara kontemplasi diri untuk sejenak merenung mengenal diri sendiri untuk mengenal Tuhan.

Paradigma berfikir dan kefahaman mengenai agama menurut saya adalah nikmat Allah luar biasa yang tidak bisa diukur, diberikan pada orang-orang tertentu yang Allah kekhendaki (saya berharap sekali bisa masuk orang yang difahamkan agamanya). Ada orang yang difahamkan dengan mudah agamanya oleh Allah, ada juga yang sengaja diberikan kesukaran agar terus berusaha, dan bahkan yang paling seram, ada juga yang sengaja ditutupi dari hatinya dari kebenaran, dalam alquran disebut “sumum, bukmun umyun fahum la yarjiun”.

Pada awal surat albaqoroh, Allah membagi tiga golongan umat manusia. Golongan pertama digambarkan pada ayat 1-5 yakni orang-orang yang diberikan petunjuk, orang yang lempeng, yang secara jelas digambarkan bahwa mereka itu menerima dan memahami kitab (petunjuk) secara komperhensif, secara balance berhasil melaksanakan tugas keTuhanan beragama dan tugas kemanusiaan (amanau dan amal solihat). Golongan kedua ada pada ayat 6-7 yang disebutkan bahwa mereka itu Kafir, arti kafir sendiri sebenarnya ka fa dan ro, yakni tertutup, menutupi atau ditutupi. Ya, jika kita melihat buku maka kita menemukan “Cover” artinya ya sama, penutup. Golongan ini emang ditutup hati dan pemikirannya dari kebenaran, makanya Allah bilang “sama aja mereka dikasih tau ga dikasih tau juga ya begitu”. Pada ayat ke 8-20 adalah gambaran golongan yang ketiga adalah golongan orang yang munafik, mereka itu seperti duri dalam daging, bilang beriman tapi sebenernya tipu-tipu, pada ayat itu juga digambarkan mereka selalu menampilkan diri bahwa mereka beriman, tapi sebenernya engga. Allah secara preogratif memilih pada golongan mana kita kita ini, ya saya percaya itu, seperti kita tidak memilih lahir dari siapa. Siapa yang beragama apa biasanya dipengaruhi dari siapa ia dilahirkan, atau eksplisit reasonnya, Allah juga memilih kepada siapa ia akan memberikan hidayah, bahkan terkadang sekaliber paman Nabi atau anak Nabi sendiripun tidak menjadi pilihannya. Allah secara preogratif memilihnya. Tapi dengan kontemplasi diri sejenak, atau proses pengenalan diri dengan I’tikaf atau bertapa itu, harapannya bisa menjadi usaha tahap awal untuk PDKT kepada Allah, dan memahami apa maksud semua yang telah dan akan terjadi pada diri kita.

Terkadang saya merasa bahwa keimanan kita dipengaruhi oleh trend, keimanan hanya sebuah ritual ibadah yang ikut-ikutan, tanpa pernah mencoba memahami secara general maksud dari perintah dan larangan tersebut. Parahnya lagi, sekarang ini banyak kepentingan yang dicampuradukkan menjadi syariah. Lihatlah bagaimana kegencaran kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan menggerogoti Islam. Dari mulai partai politik yang menjual islam sebagai iklannya, atau bisnis-bisnis perbankan yang menjual kata “syariah” di belakang namanya, atau dimanfaatkan oleh pemahaman jihad sebagai mortir. Kajian-kajian islam saat ini juga terkotak-kotak, eksklusif untuk kaumnya sendiri, padahal jika mereka yakin dengan apa yang difahaminya, mereka tidak akan segan untuk memberi ruang diskusi atau jika dipertemukan oleh paradigma dan kesehafaman baru dan berbeda. Mereka juga lupa bahwa yang seharusnya “di-dakwahi” ya mereka yang lagi di luar masjid/pengajian. Orang yang dateng ke pengajian atau masjid sudah tentu memiliki keinginan untuk beriman, tanpa dinasehati lagi, tanpa di-dakwahi ini itu lagi. Kita lupa, tugas dakwah kita dimana, lalu bagaimana manusia-manusia yang belum pernah mendengar tentang Islam? Seperti di negara-negara tertentu, atau di peloksok tak terjamah oleh dakwah.

Muslim saat ini terkotak-kotak pada pandangannya sendiri, ada yang mencoba kritis dibilang liberal, ada yang mau berjuang dibilang radikal, ada yang tulus berislam tapi malah dimanfaatkan, ada yang apatis terhadap pengetahuan islam dibilang kafir, ada yang beda aliran dibilang sesat, ada yang beda pandangan dibilang bukan kaumnya, ada yang bertakwa bukan mengajak kebaikan pada orang lain malah eksklusif sendiri, nganggep orang lain hanya pantes jadi kerak neraka, ada juga yang mbambung dan masih bodoh tapi soksokan nulis ini itu (saya) hhee. Atas dasar semua itu saya berharap kita sebagai orang islam, urgensi mendasar sekali untuk kita mengenal kembali keislaman kita. Tanpa dipengaruhi oleh media, trend bahkan tulisan aneh saya ini dengan berkontemplasi diri dan membuka diri dari pemahaman orang lain, berfikir secara jernih dan mendalam tentang kualitas diri kita. Wallahu a’lam




Feb 11, 2015

Never Say Never


“Kesuksesan sejatinya dilihat darimana kita mulai, bukan di mana kita sampai”

Saya meyakini hal-hal besar yang terjadi dalam hidup manusia akan selalu melibatkan doa dan impian yang pernah terbesit di masa lalu. Hampir seluruhnya akan berkaitan. Bisa saja hal yang kita temui di masa depan adalah jawaban dari doa-doa yang belum terwujud di waktu itu, atau impian yang pernah kita khayalkan dan ingin kita raih. Tapi tidak untuk yang satu ini, melanjutkan program S3 di Jepang bukan menjadi salah satu keinginan dan impian saya sejak kecil karena sedari dulu saya tidak berani untuk bermimpi untuk kuliah ke Negeri Sakura ini. Bukan hanya karena keterbatasan yang dirasakan saat itu, tapi juga karena saat kecil saya hidup dan besar di pesantren yang sangat relijius dan jauh bila berkeinginan untuk melanjutkan studi di jepang yang dikenal hebat dalam sains ataupun teknologi (bukan agama), tapi semua berubah, cita-cita saya untuk dapat meneruskan leluhur saya menjadi Kyai, saya kubur dalam karena beberapa kejadian yang tidak bisa saya ceritakan di sini dan kemudian saya banting stir untuk bercita-cita menjadi peneliti.


Sebenarnya mimpi untuk melanjutkan studi S3 muncul saat saya sedang bekerja di Institute of Human Virology and Cancer Biology salah satu lembaga riset di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat itu sembari melanjutkan studi S2 saya di institusi yang sama (FKUI), saya mulai berani bermimpi untuk meneruskan program doktoral di beberapa Negara Eropa seperti Jerman, Swedia dan Prancis. Namun sekali lagi, tidak ada nama Jepang dalam list tujuan saya, salah satunya karena Jepang dikenal memiliki etos kerja dan penelitian yang tinggi, rajin, menjunjung tinggi kehormatan sang professor dan bisa dikatakan “rigid” dalam pergaulan, hal ini berbeda jika saya mendengar cerita tentang atmosfer pendidikan di eropa yang kasual tapi substansif dalam mengerjakan riset. Saya sangat sadar akan hal itu bahwa saya telah mengerti diri sendiri ini atau biasa disebut “rumasa” atau tahu diri bahwa saya tidak bisa seserius itu dalam bekerja, saya justru akan lebih senang pada suasana yang lebih kekeluargaan dan hubungan antara professor dan muridnya seperti teman. Maka dengan haqqul yaqin saya akan keteteran bila nekat kuliah di Jepang.


Suatu hari saat saya membantu salah satu teman satu Laboratorium saya, Kenny Lischer. Saat itu saya masih ingat betul, ba’da ashar kami yang sedang menunggu sebuah eksperimen. Waktu itu kami sedang berusaha untuk melihat keberhasilan kultur virus HIV yang diambil dari darah pasien AIDS yang belum juga sukses dikerjakan di Lab tempat saya kerja. Sore itu saya ditanya oleh Kenny, kemana saya akan melanjutkan S3 saat saya selesei S2 di FKUI, saya menjawab dengan lantang “Jerman Ken”, jawaban saya sebenarnya dipengaruhi harapan bahwa keberadaan bibi saya yang sudah tinggal dan memiliki anak di sana akan membantu.


Obrolan mengalir bersama Kenny, ia sangat antusias sekali untuk melanjutkan studinya di Eropa seperti Swis dan tentu juga jerman, entah bagaimana permulaannya, saya dan kenny sependapat untuk tidak melanjutkan S3 di Jepang, bukan tanpa sebab, sekali lagi, isu yang beredar di telinga kami bahwa pendidikan dan pola hidup di Jepang sangat disiplin dan memiliki waktu kuliah / kerja yang sangat tinggi dibandingkan Negara lain. Ya, kita tidak akan melanjutkan pendidikan kita di Jepang karena memang itu. Negeri Sakura itu kami delete bersama dari tujuan mimpi kami. Hehe..


                                                                      ***


Pada bulan pertengan 2014 Ibu saya jatuh sakit dan saya memutuskan untuk merawat ibu saya dan cuti dari tempat saya kerja, setelah ibu saya sembuh saya baru dapat menyelesaikan Tesis saya, dan pada bulan Juni saya alhamdulillah lulus dari FKUI. Pada Agustus 2014 saya bergabung di Kalbe Genomic, Stem Cell Cancer Institute milik PT. Kalbe Farma Tbk.  Cerita ini saya singkat karena hari-hari ini adalah waktu persimpangan terumit yang saya harus putuskan, saya hampir kehilangan tujuan.

Pada tanggal akhir September 2014 saya mendapatkan kabar dari Kenny bahwa dia sedang melanjutkan S3 di Jepang beasiswa penuh dari pemerintahan Jepang  (tempat yang kita sepakati bersama menjadi tempat larangan kita S3) hahaa.. saya tertawa dan sempat meledeknya dan sempat berkelakar tentang kesepakatan itu, kemudian pada tanggal empat oktober 2014 saya mendapat BBM dari Kenny, bahwa ada kesempatan untuk mengikuti test S3 di NAIST selama kurang lebih dua minggu di Jepang, saya yang telah memendam keinginan S3 saya di Jerman meskipun aplikasi untuk beasiswa di sana sudah kepalang terkirim. Di sinilah point utama dalam setiap kesuksesan hidup yang biasanya kita sebut “network” maka dengan cerita saya ini dapat diambil kesimpulan bahwa network sangat penting, perluas jejaring pergaulan dengan organisasi maupun pergaulan informal seperti hobi dan obrolan warung kopi, kita tidak tahu persahabatan dan teman karib mana yang akan membawa kepada kesuksesan, tapi pelihara dan pupuklah jejaring yang kita miliki itu dengan baik.


Cerita ini berlanjut, saya langsung bersemangat untuk coba-coba ikut test di Jepang yang diinformasikan Kenny ini, saya langsung menghubungi seorang professor yang menjadi penanggungjawab seleksi ini. Informasi yang saya terima dari beliau bahwa saya harus mengikuti screening di kampus saya karena ini program merupakan program delegasi dari UI-NAIST semacam U to U, tapi Prof yang merekomendasikan bukan Prof yang saya kenal, saya menghubungi Prof Maksum Radji dari Farmasi UI karena beliau yang menjadi penganggungjawab program screening ini di kampus saya, tak saya sangka beliau sangat baik dan proaktif meladeni email saya. Tanpa saya sangka saya berhasil lolos dan diberikan kesempatan mewakili UI ke Jepang untuk test ini, saya bersama Aini Gusmira (dari Fakultas Farmasi) dan Sofi (dari FK) dan Tira dari IPB berangkat ke Jepang untuk mengikuti test tersebut kami juga bertemu dengan perwakilan dari banyak universitas dari negara lain memperebutkan kuota beasiswa MEXT 2015 dari pemerintah Jepang. Ini tips yang kedua, jangan malu dan jangan takut dalam mencoba sesuatu. Mungkin bisa saja saya menyerah dengan keadaan di mana prosefor penanggungjawab program ini bukan dari fakultas saya di FKUI tapi dari Farmasi, dalam hal hal positif keberanian lebih akan sangat membantu. Saya ingat waktu itu saya berpikir, coba saja nekat dulu, toh kalo tidak bisa nanti saya tidak akan menyesal karena saya sudah berusaha mencari informasi.


Test berlangsung selama dua minggu 19-30 Januari 2015, dengan kegiatan rotasi ke riset masing-masing Profesor di sana, kita juga diwajibkan presentasi tentang riset kita sebelumnya. Penilaian dari hasil penelitian adalah hal mutlak, kemudian diwajibkan pula kita untuk rotasi ke tempat professor tersebut untuk dinilai performa kita selama dua minggu melakukan riset bersamanya.


Usaha dan ikhtiar saya sudah lakukan, terakhir doa. Saya berdoa untuk apapun yang terbaik pada akhirnya, karena sejujurnya saya masih gamang dengan bagaimana sebenarnya atmosfer pendidikan di Jepang. Saya juga memohon kepada ibu saya berdoa seperti itu, meminta yang terbaik apapun keputusannya. Percayalah, doa yang dapat menembus pintu langit adalah doa ibu. Saya berani bertaruh bahwa setiap doa ibu yang terbisik di malam sepi untuk anaknya tak bisa ditolak oleh Gusti Allah. Pada enam Februari 2015, saya dalam perjalanan pulang ke rumah, mendapatkan email bahwa saya lolos dan berkesempatan untuk S3 di Jepang pada Oktober 2015 beasiswa penuh dari pemerintah Jepang melalui MEXT 2015. Bingung rasanya seakan antara bahagia dan sedih, campur aduk juga. Saat yang sama saya sedang menunggu pengumuman beasiswa DAAD untuk melanjutkan kuliah di LMU Jerman.


Saat saya test, saya sempat tertawa semalaman bersama Kenny karena membahas hal ini. Membahas tentang apa-apa yang kita inginkan sebenarnya belum tentu terbaik, apa yang kita takutkan juga belum tentu hal yang buruk, saya teringat ayat yang sangat saya hapal dan saya sukai yang Firman Nya seperti ini 


“ Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  
(QS. Al-Baqarah : 216).





Saat ini dua tahun dari hari itu saya merasakan hal lain di Jepang. Saya melihat negeri ini seperti negeri dongeng, di mana ada kerajaan yang tertua di dunia dengan rakyat yang bahagia, disiplin, serta pekerja keras juga sangat mencintai kaisar dan negaranya. Negeri yang penuh dengan kedamaian dan atmosfer tata krama dan tepo seliro yang tinggi. Professor saya di sini juga jauh dari bayangan saya, beliau sangat akrab dan humoris kepada kami sebagai mahasiswanya, jauh dari kesan feodalisme seorang professor yang tergambar dulu.


Saya menulis cerita ini semata-mata ingin berbagi kisah hidup dan berharap bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kehidupan tertutama yang masih berjuang menggapai pendidikan, jika kita dalam nelangsa pada perjalanan perjuangan pencarian beasiswa atau studi tersebut, teruslah berjalan maju, jangan berhenti, coba lagi, bangkit lagi.


Saya yakin bahwa perubahan besar yang pasti dalam proses kehidupan adalah pendidikan, saya tidak menyangkal bahwa beberapa orang bisa sukses tanpa pendidikan formal yang tinggi terutama bila membaca tentang cerita para pengusaha hebat. Tapi menurut saya pendidikan adalah investasi yang pasti dan tak terbantahkan lagi karena dengan pendidikan manusia dapat memahami secara jernih setiap masalah yang terjadi, dengan pendidikan pula sebagian bidang memang memerlukan kualifikasi. Toh tidak semua orang dapat keberuntungan saat berwirausaha dan dapat memahami lika-liku suatu bisnis. Pendidikan sejatinya akan menjadi jalan keluar dalam menerangi diri sendiri dan menjadi lampu terang pada setiap penyelesaian masalah bangsa. Karena pendidikan bukan untuk kemenangan diri sendiri, melainkan untuk memenangkan manusia dari pertempuran terhadap ketidakadilan dan ketidaksejahteraan hidup.

Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak mudah, tapi bukan suatu yang tidak mungkin. Kita bisa melawan keterbatasan itu dengan usaha dan doa. Melalui setiap proses yang terkadang membuat kita putus asa. Saya tidak menyangkal bahwa ada perbedaan kesulitan itu di setiap individu kita, pasti berbeda misalnya seorang anak menteri untuk sekolah sampai jenjang doktoral di luar negeri bila dibandingkan dengan anak seorang petani di desa. Tapi itulah kesuksesan, ini dilihat dimana kita mulai, bukan dilihat dimana kita sampai. Perjuangan perih di masa muda ini yang akan menjadi kebahagiaan yang berbeda saat kita tua nanti. Pemuda memang memiliki waktu luang dan stamina yang tinggi, lalu jika tidak ada motivasi untuk apa waktu muda ini kita habiskan tanpa isi. Ayo bangkit Pemuda Indonesia, mari melawan kebodohan dan kemalasan diri mulai hari ini.

(Yudhi Nugraha)