Mar 17, 2014

Rezim Pers. Mempertanyakan Independensi Pers

          Jika dalam sebuah sistem pemerintahan kerajaan yang paling berpengaruh terhadap sebuah keputusan adalah raja dan lingkungannya, jika dalam sebuah rezim maka kekuasaan dipegang penuh oleh seseorang yang otoriter (seperti zaman orde baru di Indonesia), maka  dalam negara yang mempunyai sistem pemerintahan yang demokratis seperti Indonesia saat ini maka kekuatan terbesar yang paling berpengaruh adalah Pers. Pers dalam sejarah pemerintahan di seluruh dunia sangat mempunyai peran krusial bagi arah sebuah negara terutama negara dengan sistem demokratis. Pada tokoh dimunculkan oleh Pers bukan tidak mungkin tokoh tersebut “takut” terhadap tulisan-tulisan yang bisa saja menghancurkan citra yang selama ini dibangunnya.
      Hal ini telah saya fikirkan sejak lama bagaimana sebuah kekuatan pemikiran dan propaganda dapat mengubah suatu bangsa. Dulu saat zaman orde baru masih bercokol di negeri ini, propaganda masih dibatasi dengan dalih stabilitas nasional. Ada baiknya pula ada buruknya, dengan hal tersebut kekuatan ekonomi dan stabilitas nasional berjalan sesuai yang dicanangkan pemerintah Soeharto waktu itu lewat rancangan pembangunan perlima tahun. Namun efek buruk terhadap kekangan itu membuah sebuah tirani baru bagi para penggawa perubahan yang memiliki ide-ide yang tak sejalan dengan apa yang ada.
Saat orde baru tumbang dan secara besar-besaran perubahan telah terjadi sampai saat ini hal yang paling besar dirasakan adalah kebebasan menyampaikan pendapat, semua terbuka, transparan dan bebas. Dengan dilindungi undang-undang tentang hak menyampaikan pendapat seakan sebuah angin segar bagi pada pemikir-pemikir.
      Namun perubahan itu tak ayalnya dua sisi mata uang yang berbeda bagi kemajuan sebuah bangsa. Saat ini yang dirasakan demokrasi yang ada di Indonesia (menurut saya) masih harus belajar. Serangan propaganda politik yang sangat terlihat seakan membutakan mata masyarakat. Ketokohan seseorang saat ini sudah menjadi produk yang bernama “citra” yang bisa saja dibeli dengan propaganda pencitraan dilayar televisi.
      Saya juga heran dengan berbagai tayangan media elektronik yang menggambarkan betapa kacaunya negeri ini dari mulai korupsi sampai kesenjangan dalam beragama tapi hal itu sama sekali berbeda dengan apa yang dirasakan saya di keseharian yang sepertinya semua berjalan seperti biasa.
        Pernah saya juga mengira bahwa ini merupakan kebobrokan bangsa yang baru saja disajikan yang telah lama disembunyikan. Tapi hal ini berhenti pada masalah-masalah lain terutama permasalahan-permasalahan korupsi, namun saya terbesit untuk mengetahui siapa orang dibalik layar yang membuat sebuah berita begitu mengesankan, seakan antiklimaks dan terus menerus ada.
     Hampir semua media elektronik saat ini yang ada dimata saya terutama media elektronik yang fokus terhadap berita (bukan hiburan) dimiliki oleh tokoh-tokoh politik. Saya tidak mau menyebutkan sebuah nama karena saya faham jika saya begitu lalu apa bedanya saya dengan sebagian Pers yang sedang dibahas oleh saya sendiri melakukan penghancuran nama baik dengan tulisan dan propaganda.
       Pada sebuah kesempatan saya berdiskusi dengan seorang dokter satu kelas dengan saya (yang merupakan dokter dengan pengalaman Pers yang cukup lama). Mengatakan bahwa Pers saat ini sebenarnya Independen tapi dengan posisi mereka sebagai pegawai dibawah atasan mereka yang mempunyai kepentingan tersendri, mereka tidak mempunyai pilihan banyak. Hal ini saya amini dengan pemikiran, “ ya memang wajar seorang karyawan bekerja untuk kepentingan perusaahaan dan Bos-nya”. Namun jauh dari itu saya khawatir tentang bagaimana nanti hal yang mereka lakukan itu akan merubah pandangan rakyat indonesia yang sangat majemuk, bagaimana propaganda mereka akhirnya nanti akan mengubah rakyat Indonesia untuk memilih Pemerintahan dengan citra yang bagus tapi prestasi yang buruk. Lalu bagaimana nanti propaganda yang ada itu akan menjadi sebuah rezim baru yang dilindungi hukum kebebasan berpendapat dan UU Pers dan menciptakan kedigdayaan rezim baru yang lebih besar yang saya sebut dengan “Rezim Pers”
     Hal yang paling bisa saya sarankan untuk pembuat aturan perundang-undangan adalah coba buat aturan-aturan menyeluruh yang mengatur tentang kepemilikan media agar saham dan kepemilikan tersebut juga dibagi selain dimiliki oleh pemegang modal tapi tetap dibatasi oleh independesi Pers sehingga propaganda si empunya media dapat dibatasi dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh seorang Pers yang sebenarnya dan para pencari berita di lapangan dapat menyajikan informasi yang berimbang.


Yudhi Nugraha

No comments:

Post a Comment