“Kesuksesan sejatinya dilihat darimana kita mulai, bukan di mana kita sampai”
Saya meyakini hal-hal besar yang terjadi dalam hidup manusia akan selalu melibatkan doa dan impian yang pernah terbesit di masa lalu. Hampir seluruhnya akan berkaitan. Bisa saja hal yang kita temui di masa depan adalah jawaban dari doa-doa yang belum terwujud di waktu itu, atau impian yang pernah kita khayalkan dan ingin kita raih. Tapi tidak untuk yang satu ini, melanjutkan program S3 di Jepang bukan menjadi salah satu keinginan dan impian saya sejak kecil karena sedari dulu saya tidak berani untuk bermimpi untuk kuliah ke Negeri Sakura ini. Bukan hanya karena keterbatasan yang dirasakan saat itu, tapi juga karena saat kecil saya hidup dan besar di pesantren yang sangat relijius dan jauh bila berkeinginan untuk melanjutkan studi di jepang yang dikenal hebat dalam sains ataupun teknologi (bukan agama), tapi semua berubah, cita-cita saya untuk dapat meneruskan leluhur saya menjadi Kyai, saya kubur dalam karena beberapa kejadian yang tidak bisa saya ceritakan di sini dan kemudian saya banting stir untuk bercita-cita menjadi peneliti.
Sebenarnya mimpi untuk melanjutkan studi S3 muncul saat saya sedang bekerja di Institute of Human Virology and Cancer Biology salah satu lembaga riset di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat itu sembari melanjutkan studi S2 saya di institusi yang sama (FKUI), saya mulai berani bermimpi untuk meneruskan program doktoral di beberapa Negara Eropa seperti Jerman, Swedia dan Prancis. Namun sekali lagi, tidak ada nama Jepang dalam list tujuan saya, salah satunya karena Jepang dikenal memiliki etos kerja dan penelitian yang tinggi, rajin, menjunjung tinggi kehormatan sang professor dan bisa dikatakan “rigid” dalam pergaulan, hal ini berbeda jika saya mendengar cerita tentang atmosfer pendidikan di eropa yang kasual tapi substansif dalam mengerjakan riset. Saya sangat sadar akan hal itu bahwa saya telah mengerti diri sendiri ini atau biasa disebut “rumasa” atau tahu diri bahwa saya tidak bisa seserius itu dalam bekerja, saya justru akan lebih senang pada suasana yang lebih kekeluargaan dan hubungan antara professor dan muridnya seperti teman. Maka dengan haqqul yaqin saya akan keteteran bila nekat kuliah di Jepang.
Suatu hari saat saya membantu salah satu teman satu Laboratorium saya, Kenny Lischer. Saat itu saya masih ingat betul, ba’da ashar kami yang sedang menunggu sebuah eksperimen. Waktu itu kami sedang berusaha untuk melihat keberhasilan kultur virus HIV yang diambil dari darah pasien AIDS yang belum juga sukses dikerjakan di Lab tempat saya kerja. Sore itu saya ditanya oleh Kenny, kemana saya akan melanjutkan S3 saat saya selesei S2 di FKUI, saya menjawab dengan lantang “Jerman Ken”, jawaban saya sebenarnya dipengaruhi harapan bahwa keberadaan bibi saya yang sudah tinggal dan memiliki anak di sana akan membantu.
Obrolan mengalir bersama Kenny, ia sangat antusias sekali untuk melanjutkan studinya di Eropa seperti Swis dan tentu juga jerman, entah bagaimana permulaannya, saya dan kenny sependapat untuk tidak melanjutkan S3 di Jepang, bukan tanpa sebab, sekali lagi, isu yang beredar di telinga kami bahwa pendidikan dan pola hidup di Jepang sangat disiplin dan memiliki waktu kuliah / kerja yang sangat tinggi dibandingkan Negara lain. Ya, kita tidak akan melanjutkan pendidikan kita di Jepang karena memang itu. Negeri Sakura itu kami delete bersama dari tujuan mimpi kami. Hehe..
***
Pada bulan pertengan 2014 Ibu saya jatuh sakit dan saya memutuskan untuk merawat ibu saya dan cuti dari tempat saya kerja, setelah ibu saya sembuh saya baru dapat menyelesaikan Tesis saya, dan pada bulan Juni saya alhamdulillah lulus dari FKUI. Pada Agustus 2014 saya bergabung di Kalbe Genomic, Stem Cell Cancer Institute milik PT. Kalbe Farma Tbk. Cerita ini saya singkat karena hari-hari ini adalah waktu persimpangan terumit yang saya harus putuskan, saya hampir kehilangan tujuan.
Pada tanggal akhir September 2014 saya mendapatkan kabar dari Kenny bahwa dia sedang melanjutkan S3 di Jepang beasiswa penuh dari pemerintahan Jepang (tempat yang kita sepakati bersama menjadi tempat larangan kita S3) hahaa.. saya tertawa dan sempat meledeknya dan sempat berkelakar tentang kesepakatan itu, kemudian pada tanggal empat oktober 2014 saya mendapat BBM dari Kenny, bahwa ada kesempatan untuk mengikuti test S3 di NAIST selama kurang lebih dua minggu di Jepang, saya yang telah memendam keinginan S3 saya di Jerman meskipun aplikasi untuk beasiswa di sana sudah kepalang terkirim. Di sinilah point utama dalam setiap kesuksesan hidup yang biasanya kita sebut “network” maka dengan cerita saya ini dapat diambil kesimpulan bahwa network sangat penting, perluas jejaring pergaulan dengan organisasi maupun pergaulan informal seperti hobi dan obrolan warung kopi, kita tidak tahu persahabatan dan teman karib mana yang akan membawa kepada kesuksesan, tapi pelihara dan pupuklah jejaring yang kita miliki itu dengan baik.
Cerita ini berlanjut, saya langsung bersemangat untuk coba-coba ikut test di Jepang yang diinformasikan Kenny ini, saya langsung menghubungi seorang professor yang menjadi penanggungjawab seleksi ini. Informasi yang saya terima dari beliau bahwa saya harus mengikuti screening di kampus saya karena ini program merupakan program delegasi dari UI-NAIST semacam U to U, tapi Prof yang merekomendasikan bukan Prof yang saya kenal, saya menghubungi Prof Maksum Radji dari Farmasi UI karena beliau yang menjadi penganggungjawab program screening ini di kampus saya, tak saya sangka beliau sangat baik dan proaktif meladeni email saya. Tanpa saya sangka saya berhasil lolos dan diberikan kesempatan mewakili UI ke Jepang untuk test ini, saya bersama Aini Gusmira (dari Fakultas Farmasi) dan Sofi (dari FK) dan Tira dari IPB berangkat ke Jepang untuk mengikuti test tersebut kami juga bertemu dengan perwakilan dari banyak universitas dari negara lain memperebutkan kuota beasiswa MEXT 2015 dari pemerintah Jepang. Ini tips yang kedua, jangan malu dan jangan takut dalam mencoba sesuatu. Mungkin bisa saja saya menyerah dengan keadaan di mana prosefor penanggungjawab program ini bukan dari fakultas saya di FKUI tapi dari Farmasi, dalam hal hal positif keberanian lebih akan sangat membantu. Saya ingat waktu itu saya berpikir, coba saja nekat dulu, toh kalo tidak bisa nanti saya tidak akan menyesal karena saya sudah berusaha mencari informasi.
Test berlangsung selama dua minggu 19-30 Januari 2015, dengan kegiatan rotasi ke riset masing-masing Profesor di sana, kita juga diwajibkan presentasi tentang riset kita sebelumnya. Penilaian dari hasil penelitian adalah hal mutlak, kemudian diwajibkan pula kita untuk rotasi ke tempat professor tersebut untuk dinilai performa kita selama dua minggu melakukan riset bersamanya.
Usaha dan ikhtiar saya sudah lakukan, terakhir doa. Saya berdoa untuk apapun yang terbaik pada akhirnya, karena sejujurnya saya masih gamang dengan bagaimana sebenarnya atmosfer pendidikan di Jepang. Saya juga memohon kepada ibu saya berdoa seperti itu, meminta yang terbaik apapun keputusannya. Percayalah, doa yang dapat menembus pintu langit adalah doa ibu. Saya berani bertaruh bahwa setiap doa ibu yang terbisik di malam sepi untuk anaknya tak bisa ditolak oleh Gusti Allah. Pada enam Februari 2015, saya dalam perjalanan pulang ke rumah, mendapatkan email bahwa saya lolos dan berkesempatan untuk S3 di Jepang pada Oktober 2015 beasiswa penuh dari pemerintah Jepang melalui MEXT 2015. Bingung rasanya seakan antara bahagia dan sedih, campur aduk juga. Saat yang sama saya sedang menunggu pengumuman beasiswa DAAD untuk melanjutkan kuliah di LMU Jerman.
Saat saya test, saya sempat tertawa semalaman bersama Kenny karena membahas hal ini. Membahas tentang apa-apa yang kita inginkan sebenarnya belum tentu terbaik, apa yang kita takutkan juga belum tentu hal yang buruk, saya teringat ayat yang sangat saya hapal dan saya sukai yang Firman Nya seperti ini
“ Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah : 216).
Saat ini dua tahun dari hari itu saya merasakan hal lain di Jepang. Saya melihat negeri ini seperti negeri dongeng, di mana ada kerajaan yang tertua di dunia dengan rakyat yang bahagia, disiplin, serta pekerja keras juga sangat mencintai kaisar dan negaranya. Negeri yang penuh dengan kedamaian dan atmosfer tata krama dan tepo seliro yang tinggi. Professor saya di sini juga jauh dari bayangan saya, beliau sangat akrab dan humoris kepada kami sebagai mahasiswanya, jauh dari kesan feodalisme seorang professor yang tergambar dulu.
Saya menulis cerita ini semata-mata ingin berbagi kisah hidup dan berharap bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kehidupan tertutama yang masih berjuang menggapai pendidikan, jika kita dalam nelangsa pada perjalanan perjuangan pencarian beasiswa atau studi tersebut, teruslah berjalan maju, jangan berhenti, coba lagi, bangkit lagi.
Saya yakin bahwa perubahan besar yang pasti dalam proses kehidupan adalah pendidikan, saya tidak menyangkal bahwa beberapa orang bisa sukses tanpa pendidikan formal yang tinggi terutama bila membaca tentang cerita para pengusaha hebat. Tapi menurut saya pendidikan adalah investasi yang pasti dan tak terbantahkan lagi karena dengan pendidikan manusia dapat memahami secara jernih setiap masalah yang terjadi, dengan pendidikan pula sebagian bidang memang memerlukan kualifikasi. Toh tidak semua orang dapat keberuntungan saat berwirausaha dan dapat memahami lika-liku suatu bisnis. Pendidikan sejatinya akan menjadi jalan keluar dalam menerangi diri sendiri dan menjadi lampu terang pada setiap penyelesaian masalah bangsa. Karena pendidikan bukan untuk kemenangan diri sendiri, melainkan untuk memenangkan manusia dari pertempuran terhadap ketidakadilan dan ketidaksejahteraan hidup.
Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak mudah, tapi bukan suatu yang tidak mungkin. Kita bisa melawan keterbatasan itu dengan usaha dan doa. Melalui setiap proses yang terkadang membuat kita putus asa. Saya tidak menyangkal bahwa ada perbedaan kesulitan itu di setiap individu kita, pasti berbeda misalnya seorang anak menteri untuk sekolah sampai jenjang doktoral di luar negeri bila dibandingkan dengan anak seorang petani di desa. Tapi itulah kesuksesan, ini dilihat dimana kita mulai, bukan dilihat dimana kita sampai. Perjuangan perih di masa muda ini yang akan menjadi kebahagiaan yang berbeda saat kita tua nanti. Pemuda memang memiliki waktu luang dan stamina yang tinggi, lalu jika tidak ada motivasi untuk apa waktu muda ini kita habiskan tanpa isi. Ayo bangkit Pemuda Indonesia, mari melawan kebodohan dan kemalasan diri mulai hari ini.
(Yudhi Nugraha)