Banyak stigma pemikiran orang,
berasumsi bahwa semua permasalahan dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan
mereka bisa dipecahkan oleh pemikiran mereka sendiri. Ilmu pengetahuan yang
mengagungkan kata kebenaranan dan kata fakta membuktikan bahwa sesungguhnya
pemikran dan logika manusia adalah sangat amat terbatas, terbukti ketika angka
berapapun (x) yang dibagi oleh bilangan nol maka hasilnya tidak pernah sempurna
yakni didefinisikan tak terhingga, seperti halnya dalam perhitungan matematis
yang tidak mengenal sesuatu yang tidak rasio dan logis ada saja bukti kekuasaan
Nya yakni ketika seluruh sudut-sudut istimewa telah didefinisikan, tangen 90
masih saja dalam ketidakterhinggaan yang hingga kini ada, teori yang selalu
diagung-agungkan oleh ilmuan besar seperti Newton yang menganggap kemutlakan
setiap perhitungan yang membuktikan ketepatan sesuatu, disangkal oleh teori
relativitas Einstein yang meluhurkan segala sesuatu adalah relatif, begitupula
permasalahan dari segala sesuatu tidak bisa hanya mengandalkan pemikiran dan
logika, namun juga harus meruntun pada ajaran Allah yang jelas tahu betul
peliknya suatu permasalahan melalui mengkaji firman-firmanNya. Tidak bisa kita
terlalu mengandalkan akal untuk menyimpulkan suatu permasalahan, namun
Akhir-akhir ini banyak pemikiran ekstrim yang hadir menerjang firman-firman
Allah, dan hanya mengandalkan logika. Seharusnya pemikiran digunakan untuk
memahami aturan yang telah dibuat Nya, bukan malah menjadi jalan untuk membuat
alasan yang sering dianggap logis degan tujuan memudahkan dari syari'at. "Al
islamu yu'la wala yu'li alaihi" islam itu tinggi dan tidak ada yang
lebih tinggi darinya, aturannya mudah tapi tidak untuk dipermudah
Banyak pemikir-pemikir mencari
hakikat Tuhan lewat pemikiran instant mereka yang terkadang berdasarkan dari
tiga aspek sumber hasil pemikiran yang pastinya berbeda setiap orang, yakni
nafsu logis, ideologi dasar kehidupan (backround), dan yang pasti adalah logika
yang terkadang hanya baik untuk seseorang dan tidak bisa menjadi ideologi untuk
konsumsi publik, tak terlepas dari mereka yang selalu mengindahkan dan
mendustakan ajaran agama, yang sebenarnya hanya agama dan tuntunan Allah lah
yang dapat menuntaskan seluruh permasalahan, hal ini hanya akan berujung pada
kesesatan yang berdalih pada logika pemikiran yang tak terlepas dari paradigma
berfikir dan ideologi yang dimiiki, yang didasari oleh dasar pemikiran
kehidupan yang mereka rasakan yang bersifat ideologi individualis dan bukan
untuk asumsi publik, banyak pemikir-pemikir yang bebas, liberal dan mengabaikan
firman Allah bermunculan, semua hal yang difikirkan berdalih befilsafat cerdas
dan mengabaikan semua tuntunan Allah yang mutlak dan bersifat pasti benar itu,
semua hal yang bertentangan oleh pemikiran dan logika mereka yang sebenarnya
hanya individulistik syar'i dan tidak pantas untuk dilakukan oleh orang lain
selalu dianggap salah.
Padahal Allah sendiri telah mengecam hal yang demikian itu
dalam firmannya yang berbunyi "Al haqqu min robbika, fala takunanna
minal mumtarin" yang artinya "kebenaran adalah milik Tuhanmu,
maka janganlah kamu menjadi golongan yang mendustakan" seluruh kebenaran
yang masih bersifat relative dan tidak mutlak diabadikan oleh manusia adalah
semuanya dari Allah lewat pemikiran-pemikiran dan tidak mutlak dari hasil buah
karya mereka sendiri, seiiring perubahan zaman para pemikir islam yang berfikir
liberal berorientasi materi yang justru akan mengarah pada hal-hal yang
melenceng dari tuntunan yang sudah jelas-jelas tidak membutuhkan pemikiran yang
bertujuan pada pemudahan, pengkerdilan dan cara beralasan yang logis dalam
melanggar ajaran Allah yang mereka anggap beban, dalam firmannya Allah
menyatakan "lakabirotun illa ala alkhosyi'in" yang artinya
benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, dalam ayat sebelumnya
Allah menyartikan khosyi'in adalah "aladzi yadzununna annahum mulaku
robbihin wa annahum ilaihi roji'un" yakni orang-orang yang mereka
percaya bahwa mereka akan bertemu Allah mereka, dan kepada Nya lah mereka akan
kembali.
Liberalisme serta dalil kebebasan berfikir adalah alasan
utama untuk melakukan stigma berfikir yang salah dan "gak mau ambil
pusing" dalam menjalankan syariat Allah, sebagai contoh ringan saja
masalah jilbab yang dianggap oleh pemikir-pemikir hanyalah sebuah adapt yang
dibawa oleh masyarakat arab dan bukan syariat yang harus dilaksanakan
sepenuhnya yang telah sangat jelas diterangkan aturan main penegakan syariat
seperti itu.
Seluruh agama akan memiliki beberapa
aspek pokok yakni idiologi, ritual ibadah, dan identitas agama. Islam memiliki
idiologi yang kuat dan sangat masuk akal dan rasional sebab itulah islam
menjadi agama terbesar dan tercepat penyebarannya, yang kedua yakni ritual,
seluruh agama yang ada, memiliki ritual entah agama apapun, bahkan agama yang
menyembah syetan pun memiliki ritual-ritual yang mereka lakukan, inilah yang
sering dibantah oleh pemikir-pemikir yang mempermasalahkan ritual yang memang
jika difikir secara rasional tidak bias menjadi sesuatu yang logis, yang ketiga
yakni identitas, setiap agama memiliki identitas yang muncul dengan sendirinya,
contohnya adalah jilbab yang menjadi identitas agama islam, jika jilbab hanya
budaya, lantas apa yang dijadikan identitas bagi muslimah?
Syari’at agama islam adalah lebih
bermakna dan selalu kondusif dengan situasi dan kondisi, namun terkadang sering
dikondisikan salah dan selalu diartikan bertentangan dengan kebenaran,
seharusnya syari’at tidak dikondisikan atau dirubah karna kondisi yang berbeda
namun hendaknya syari’atlah yang menempatkan situasi dan kondisi dengan tidak
mengindahkan sesuatu yang bertentangan dengan aturan yang telah dibuat dan
mutlak kebenarannya, hal inilah yang harus dibenahi oleh pemikir-pemikir bebas
yang secara tidak langsung mereka mengkondisikan syari'at, adalah suatu
kenaifan jika menjadikan agama islam ini agama yang kondisional karna dari satu
sisi agama ini telah sangat amat sempurna bahkan untk menghadapi
masalah-masalah yang teramat kontroversial sekalipun. "Hari ini telah aku
sempurnakan untuk kalian, agama islam" sepenggal dari ucapan nabi yang
beliau sampaikan ketika haji wada' dan sudah barang tentu nabi telah meyakini
bahwa ajarannya telah ia sempurnakan, bahkan untuk peliknya masalah yang kini
dibicarakan sebenarnya telah ada lewat perumpamaan-perumpamaan pada masalah
yang ada dizamannya, namun sekali lagi hal ini dipungkiri oleh pemikiran yang
meyakini bahwa kenyataan pada zaman sekarang adalah teramat berbeda dengan
ketika masa nabi Muhammad shalaallahu alaihi wassalam, padahal
sebenarnya perumpamaan atau permisalan masalah yang serupa telah di selesaikan
oleh nabi.
Contoh lain ketika ayat “assolatu
tanha anil fakhsya’I wal mungkar” yang jelas berarti salat selalu menahan
perbuatan keji dan mungkar, diartikan berbeda yakni salat adalah anda menahan
sesuatu yang keji dan mungkar, jadi ketika huruf “ta” yang berarti
kembali pada “assolatu” yang “mu’annas” diartikan menjadi dhomir
anta dalam fi’il mudhir’i maka asumsi mereka bahwa solat bukanlah
ritual tapi aplikasi dari fungsi solat itu sendiri yakni menahan yang keji dan
yang mungkar, padahal Nabi Muhammad shalaallahu alaihi wassalam sendiri
bersabda “solatlah kamu seperti kamu melihat saya solat” ritual yang
dijalankan nabi sendiri adalah bukan hanya ritual yang dikarang-karang, namun
itu atas perintah Allah yang diterangkan dalam perbuatan nabi sendiri, Al
qur’am sendiri tidak menerangkan tentang hal yang memang sepantasnya dijelaskan
oleh nabi lewat perbuatannya, Allah berfirman bahwa ayat–ayat alqur’an adalah
mubayinatun (penjelasan) terhadap ayat lainya, jadi sama sekali tidak bertentangan
satu dengan yang lainnya seperti rumor yang tidak dapat dipengerti oleh orang
yang selalu menuhankan pemikiran.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang
dinodai oleh pemikiran-pemikiran yang sebenarnya bertujuan mempermudah syariat
islam yang akhirnya menjadi pengkerdilan agama islam sendiri, tidak pelak lagi
pemikir-pemikir yang tidak mau memikirkan hakikat dari penciptaan alam semesta
yang berpangkalkan pada hakikat Tuhan yang mencipatakan, “tafakkaru an
kholqi wala tatafakkaru an kholiqi” yang artinya “berfikirlah tentang
ciptaan, namun janganlah memikirkan pencipta” Allah berfirman serta menyatakan
statement yang tegas adalah karna berlandaskan Allah mengetahui seberapa besar
kemampuan pemikiran manusia yang Dia sendirilah yang menciptakan pemikiran itu,
prasangka-prasangka tentang visualisasi tuahan serig dilakukan oleh manusia
semenjak sejarah itu ada, beragam agama yang menggambarkan Tuhan mereka sebagai
sesuatu yang maha besar dan maha kuat, seperti membuat patung yang amat besar
dan kuat. Seluruh prasangka yang terangkum dalam agama-agama seperti itu adalah
logis bila itu adalah visualisasi dari kemaha besaran kekuatan Tuhan yang pasti
dirasakan oleh seluruh umat manusia. Sedangkan islam selalu mengajarkan umatnya
untuk merasakan Tuhan lewat ciptaanNya yang maha karya tak tertandingi bukan
lewat memikirkan Tuhan lewat akal terbatas manusia, seorang Ibrahim yang
dikenal cerdas dan rasionalis selalu menjalankan perintah Allah SWT tanpa
banyak instruksi sebagai contoh ketika beliau diperintahkan untuk menyembelih
Isma’il putra kesayangannya lewat mimpi yang belum bisa dipastikan kebenarannya
oleh rasio dan pemikiran manapun, namun ketundukannya kepada Alllah dan
keimanannya kepada perintah itu maka beliau melakukan perintah itu, beliau
tidak menggunakan pemikiran dan rasionya untuk menentang perintah Allah, tiada
sedikitpun ia beradu argument tentang semua hal yang diperintahkan kepadanya.
Manusia terkadang membangkang semua yang diperintahkan kepadannya dengan
beragam dalih, menuhankan pemikiran yang terbukti belum sampai untuk mencari
hakikat Tuhan, jangankan kata “Tuhan” yang kita fikirkan, menjumlahkan x di
bagi oleh bilangan 0 pun kita belum sampai.
Yudhi Nugraha : dalam Ketundukan Pengetahuan saya tentang Allah