Jul 11, 2016

Outgrow your limit

Manusia secara lahiriah biologis memiliki rata-rata kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan makan minum dan beristirahat, namun manusia memiliki perbedaan yang signifikan dilihat pada kapabilitas dan kapasitasnya. Perbedaan ini yang menjadikan manusia dalam personalitinya berbeda satu dengan yang lainnya secara peran dan pengabdian pada kemanusiaan.

Kapasitas dan kapabilitas sebenarnya dapat dianalogikan seperti keterbatasan. Analogi sederhananya seperti :  beberapa orang dapat makan nasi sebanyak dua piring (saya contohnya) dan sebagian lainnya, makan dengan setengah porsi saja sudah kekenyangan. Ini analogi sederhana dari keterbatasan. Saya dahulu hanya bisa makan satu piring tapi karena saya ingin meningkatkan kapasitas perut saya, saya berusaha meningkatkan kapasitas itu menjadi dua piring, dan akhirnya bisa. Seperti itu pula dengan belajar, dengan berpikir, dengan menghadapi sebuah masalah.

Kapasitas dan kapabilitas seorang presiden perusahaan contohnya, akan jauh berbeda dengan kapasitas pekerjanya dalam hal pengelolaan dan manajemen perusahaan, kapasitas dan kapabilitas itu bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Pada ajaran islam dikenal konsep ilahiyah bahwa Gusti Allah yang Maha Agung tidak akan membebani kita di luar kemampuan kita. Tapi sekarang yang jadi pertanyaan adalah, sampai mana garis batasan kita? Kita sendiri tidak tahu. Atau Gusti Allah sebagai Rob (tarbawi) sedang juga mendidik kita untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita sebagai manusia.

Di kampus tempat saya belajar memiliki motto "outgrow your limit" artinya tingkatkan keterbatasanmu (makanya di sini hal biasa menjadi tempat riset sebagai tempat tinggal, hahaha..). Motto kampus ini menarik buat saya jadikan bahan kontemplasi personal, bahwa kita ini sebagai manusia, hamba Tuhan, dengan keterbatasannya menghadapi berbagai ujian kehidupan yang secara tersirattapi masif akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita. Seperti seorang dosen yang (biasanya) memberikan tugas sampai batasan mahasiswa merasa tidak sanggup (pengalaman pribadi, lol), tapi setelah dilakukan ternyata berhasil. Ataupun jika belum berhasil, garis keterbatasan itu setingkat lebih naik dari sebelumnya.

Ada kalanya kita sebagai manusia mengeluh dan menghardik dengan keadaan dan tuntutan hidup yang terjadi, tapi bukankan dengan keadaan dan tuntutan itu bisa kita jadikan sebagai bahan bakar kekhusyu'an kita memanggil Tuhan dalam hati? Dalam setiap kesulitan masih berpaling?

Keterbatasan adalah titik di mana kita dapat meningkatkan kemampuan. Kapabilitas dan kapasitas kita sebagai manusia untuk dapat bermanfaat dan berdampak luas bagi manusia lainnya. Saya berasumsi bahwa pelan tapi pasti jika kita berusaha untuk membuang rasa malas dan meningkatkan keterbatasan kita dengan paksaan sampai kita tahu titik keterbatasan kita itu, maka secara hukum sebab-akibat nantinya kapasitas dan kapabilitas kita secara personal akan meningkat.

Persaingan dalam segala aspek kehidupan, bijaksananya dilakukan dengan diri sendiri. Maksud saya, tak usahlah kita membandingkan diri dengan orang lain, cukup saja dengan berkaca diri bahwa apa yang kita lakukan hari ini lebih baik dari apa yang kita lakukan di hari kemarin. Saat kita bersaing dengan diri sendiri, kita akan lebih produktif dan jauh dari sakit hati apalagi dengki dengan keberhasilan orang lain.

“Wahai Anak Adam, engkau lah yang mengisi (buku catatan amalmu) dan Aku yang mencatatnya" (Firman Allah dalam Hadist Qudsi, juga tersurat dalam Al-Infithar 10-12)

(Outgrow your limit, Jepang 11 Juli 2016)

Oct 17, 2015

"Peran"

Banyak hal yang ingin saya tulis malam ini, tentang bagaimana semangat dan passion menggerakkan saya untuk melakukan banyak hal dan menolak banyak hal. Malam ini merupakan malam ke delapan belas saya di Jepang untuk melanjutkan jenjang doktoral saya. Entah mulai dari mana saya berbagi yang jelas kalimat yang akan saya ingin sampaikan adalah “lakukan apa yang kita sukai dan geluti terus sampai kita menjadi ahli di bidang yang kita sukai tersebut”

Saya sangat menyukai riset, mungkin untuk beberapa orang di lingkungan saya itu adalah hal yang terlalu mewah, tapi tahukah bahwa sesungguhnya riset itu dapat dimulai dari hal yang sederhana, seperti mengamati hal-hal kecil yang nampak di kehidupan sehari-hari, seperti meneliti fluktuasi harga sayur, atau komparasi harga satu pedagang dengan pedagang lain secara teliti.

Pada konsepnya sendiri, riset seharusnya membuat hal yang sulit menjadi sederhana, meskipun beberapa orang malah membuat yang sederhana menjadi terlihat lebih sulit. Sebagai contoh konsep reaksi amplifikasi DNA dengan PCR sebenarnya adalah proses sederhana menggunakan konsep perubahan suhu untuk membuka untai DNA, lalu menempelkan sekuens primer yang kita ingin buat serta menentukan suhu elongasi DNA tersebut. Ide ini sangat jenius dan hebat sekali buat saya, tapi sederhana sekali.

Kesukaan saya terhadap riset membuka peluang yang lebar untuk melakukan hal yang sangat di luar impian saya, seperti keliling berbagai negara, bekerja di atmosfer riset yang sangat baik dan mendapatkan beasiswa penuh dari Pemerintahan Jepang ini. Saya mempercayai bahwa cukuplah kita melakukan sesuatu yang kita sukai dan terus menikmatinya, kemudian melakukannya lagi dan lagi, maka suatu saat kita akan hidup dan makan dari apa yang kita lakukan. Nikmat ini adalah nikmat yang sangat besar ketika kita dapat melakukan hal yang kita sukai setiap hari dan hidup dari apa yang kita senangi.

Saya ingin berbagi kepada siapapun yang membaca tulisan saya malam ini. Saya bukan orang jenius atau cerdas, namun keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh antusiasme pada bidang tertentu. Tidak usahlah kita secara tamak berkeinginan untuk menjadi segala hal, ingin menjadi peneliti, ingin jadi dokter juga, ingin jadi dosen, bisnisman, ahli teknologi, kyai dan lain hal sebagainya. Pilihlah jalan kita sendiri dan yang terpenting adalah bidang yang kita tekuni merupakan bidang yang kita sendiri menikmati dalam melakukannya, saat kita sukses dalam satu bidang, secara kebetulan biasanya kita akan bersinggungan dengan hal lain, barulah kita bisa membuka diri.

Tidak bisa juga kita dikenal dengan sederet banyak hal yang kita lakukan. Manusia mempunyai relung atau dalam ilmu ekologi disebut “niche” atau peran dalam sebuah ekosistem, peran ini sulit untuk dapat menjadi multiperan. Kita dituntut untuk menguasai satu hal dan dalam bidang itulah kita akan berkontribusi pada kemanusiaan.

“man arafa nafsahu, laqod arafa robbahu”  artinya siapa saja yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya. Hal ini secara implisit memberikan kita pemahaman bahwa mengetahui potensi diri, passion, dan antusiasme kita pada bidang tertentu merupakan hal sangat urgent. Maka dari itu pilihlah bidang yang kita sukai sedini mungkin, agar kelak kehidupanmu bahagia dan lebih bersyukur dengan apa yang kita pilih.

Namun dalam akhir cerita ini saya bertanya pada diri saya sendiri adalah tentang kejenuhan. Kejenuhan merupakan hal lumrah yang hadir tanpa undangan dan tanpa dugaan. Jika seseorang bekerja pada bidang yang tidak ia sukai dan kemudian jenuh, maka ia akan melakukan hal ia sukai seperti pegawai yang melakukan futsal untuk hobinya. Namun, yang berbahaya buat kita adalah jika suatu saat nanti kita jenuh dengan hal yang kita sukai, maka apa yang bisa kita lakukan? Kecuali berserah padaNya untuk terus menjaga ghiroh dan semangat ini untuk pengabdian kita seutuhnya sebagai hamba. Maka, tentukanlah segera peran apa yang kita akan mainkan sebagai hambaNya.

Yudhi Nugraha
Jepang,  17 Oktober 2015.
Pukul 02.04

Mar 16, 2015

Urgensi Kontemplasi Diri.

Urgensi Kontemplasi Diri.

Perjalanan Jakarta menuju Serang kali ini tetiba membuat saya ingin menulis begitu saja di HP yang LCD nya rusak, hhe (jadi maaf kalo typo). Tidak  terasa sudah empat puluh empat hari saya tidak bekerja secara profesi, setelah intership di Jepang pada akhir Januari 2015, selain melengkapi perlengkapan dokumen beasiswa manbusho, dan fokus pada silaturahim network saya rasa sudah usang dimakan rutinitas kuliah dan bekerja di Jakarta, tapi juga sengaja menyempatkan jeda panjang ini untuk kontemplasi diri.
   
Kontemplasi diri secara definitif terminologis saya merupakan renungan panjang untuk mengenal diri sendiri, dalam konsep “siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya” kontemplasi diri dikenal sebagai fisrt step penting sekali mencapai keyakinan terhadap ketuhanan. Pada salah satu kajian di taman ismail marzuki tanggal 13 maret 2015 lalu bertema “ateisme agama” dibahas secara komperhensif tentang pandangan beberapa tokoh pemikir islam mengenai ateisme, salah satu penyaji menuturkan bahwa ateisme merupakan fase penting saat kita mencari eksistensi Tuhan, seperti Nabi Ibrahim saat bertanya siapa itu Tuhan, Nabi Ibrahim tidak langsung menemukan Allah sebagai Tuhan, melainkan mendeskripsikan rembulan dan matahari terlebih dahulu sebagai gambaran Tuhan. Pada fase ini mungkin jika dipandang oleh “kaum penghuni surga” yang biasa menyalah-nyalahkan dan “ngerasa bener sendiri” itu, Ibrahim telah kafir. Hehe.. tapi tidak menurut saya, Ibrahim tidak berislam dengan ikut-ikutan pengajian, mengikuti tren gaya bahasa kearab-araban ana-ente, atau dilahirkan langsung secara de facto menjadi muslim, melainkan Ibraahim (bapak dari semua agama ini) mencari dulu dan berkontemplasi dulu.

Hal itu merupakan sebab semua nabi, bahkan Nabiyullah Muhammad Shalallhu alaihi wassalam pun juga berkontemplasi diri, para sahabat, wali sanga serta para ulama besar dahulu juga berkontemplasi diri. Untuk apa beliau-beliau itu berdiam diri di gua? Jika jarak dengan Allah sangat dekat? Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi arti pentingnya kontemplasi diri.  Entah apa nama dan “alih bahasa” nya, dari mulai “bertapa” sampai yang terdengar islami seperti “I’tikaf” adalah cara kontemplasi diri untuk sejenak merenung mengenal diri sendiri untuk mengenal Tuhan.

Paradigma berfikir dan kefahaman mengenai agama menurut saya adalah nikmat Allah luar biasa yang tidak bisa diukur, diberikan pada orang-orang tertentu yang Allah kekhendaki (saya berharap sekali bisa masuk orang yang difahamkan agamanya). Ada orang yang difahamkan dengan mudah agamanya oleh Allah, ada juga yang sengaja diberikan kesukaran agar terus berusaha, dan bahkan yang paling seram, ada juga yang sengaja ditutupi dari hatinya dari kebenaran, dalam alquran disebut “sumum, bukmun umyun fahum la yarjiun”.

Pada awal surat albaqoroh, Allah membagi tiga golongan umat manusia. Golongan pertama digambarkan pada ayat 1-5 yakni orang-orang yang diberikan petunjuk, orang yang lempeng, yang secara jelas digambarkan bahwa mereka itu menerima dan memahami kitab (petunjuk) secara komperhensif, secara balance berhasil melaksanakan tugas keTuhanan beragama dan tugas kemanusiaan (amanau dan amal solihat). Golongan kedua ada pada ayat 6-7 yang disebutkan bahwa mereka itu Kafir, arti kafir sendiri sebenarnya ka fa dan ro, yakni tertutup, menutupi atau ditutupi. Ya, jika kita melihat buku maka kita menemukan “Cover” artinya ya sama, penutup. Golongan ini emang ditutup hati dan pemikirannya dari kebenaran, makanya Allah bilang “sama aja mereka dikasih tau ga dikasih tau juga ya begitu”. Pada ayat ke 8-20 adalah gambaran golongan yang ketiga adalah golongan orang yang munafik, mereka itu seperti duri dalam daging, bilang beriman tapi sebenernya tipu-tipu, pada ayat itu juga digambarkan mereka selalu menampilkan diri bahwa mereka beriman, tapi sebenernya engga. Allah secara preogratif memilih pada golongan mana kita kita ini, ya saya percaya itu, seperti kita tidak memilih lahir dari siapa. Siapa yang beragama apa biasanya dipengaruhi dari siapa ia dilahirkan, atau eksplisit reasonnya, Allah juga memilih kepada siapa ia akan memberikan hidayah, bahkan terkadang sekaliber paman Nabi atau anak Nabi sendiripun tidak menjadi pilihannya. Allah secara preogratif memilihnya. Tapi dengan kontemplasi diri sejenak, atau proses pengenalan diri dengan I’tikaf atau bertapa itu, harapannya bisa menjadi usaha tahap awal untuk PDKT kepada Allah, dan memahami apa maksud semua yang telah dan akan terjadi pada diri kita.

Terkadang saya merasa bahwa keimanan kita dipengaruhi oleh trend, keimanan hanya sebuah ritual ibadah yang ikut-ikutan, tanpa pernah mencoba memahami secara general maksud dari perintah dan larangan tersebut. Parahnya lagi, sekarang ini banyak kepentingan yang dicampuradukkan menjadi syariah. Lihatlah bagaimana kegencaran kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan menggerogoti Islam. Dari mulai partai politik yang menjual islam sebagai iklannya, atau bisnis-bisnis perbankan yang menjual kata “syariah” di belakang namanya, atau dimanfaatkan oleh pemahaman jihad sebagai mortir. Kajian-kajian islam saat ini juga terkotak-kotak, eksklusif untuk kaumnya sendiri, padahal jika mereka yakin dengan apa yang difahaminya, mereka tidak akan segan untuk memberi ruang diskusi atau jika dipertemukan oleh paradigma dan kesehafaman baru dan berbeda. Mereka juga lupa bahwa yang seharusnya “di-dakwahi” ya mereka yang lagi di luar masjid/pengajian. Orang yang dateng ke pengajian atau masjid sudah tentu memiliki keinginan untuk beriman, tanpa dinasehati lagi, tanpa di-dakwahi ini itu lagi. Kita lupa, tugas dakwah kita dimana, lalu bagaimana manusia-manusia yang belum pernah mendengar tentang Islam? Seperti di negara-negara tertentu, atau di peloksok tak terjamah oleh dakwah.

Muslim saat ini terkotak-kotak pada pandangannya sendiri, ada yang mencoba kritis dibilang liberal, ada yang mau berjuang dibilang radikal, ada yang tulus berislam tapi malah dimanfaatkan, ada yang apatis terhadap pengetahuan islam dibilang kafir, ada yang beda aliran dibilang sesat, ada yang beda pandangan dibilang bukan kaumnya, ada yang bertakwa bukan mengajak kebaikan pada orang lain malah eksklusif sendiri, nganggep orang lain hanya pantes jadi kerak neraka, ada juga yang mbambung dan masih bodoh tapi soksokan nulis ini itu (saya) hhee. Atas dasar semua itu saya berharap kita sebagai orang islam, urgensi mendasar sekali untuk kita mengenal kembali keislaman kita. Tanpa dipengaruhi oleh media, trend bahkan tulisan aneh saya ini dengan berkontemplasi diri dan membuka diri dari pemahaman orang lain, berfikir secara jernih dan mendalam tentang kualitas diri kita. Wallahu a’lam




Feb 11, 2015

Never Say Never


“Kesuksesan sejatinya dilihat darimana kita mulai, bukan di mana kita sampai”

Saya meyakini hal-hal besar yang terjadi dalam hidup manusia akan selalu melibatkan doa dan impian yang pernah terbesit di masa lalu. Hampir seluruhnya akan berkaitan. Bisa saja hal yang kita temui di masa depan adalah jawaban dari doa-doa yang belum terwujud di waktu itu, atau impian yang pernah kita khayalkan dan ingin kita raih. Tapi tidak untuk yang satu ini, melanjutkan program S3 di Jepang bukan menjadi salah satu keinginan dan impian saya sejak kecil karena sedari dulu saya tidak berani untuk bermimpi untuk kuliah ke Negeri Sakura ini. Bukan hanya karena keterbatasan yang dirasakan saat itu, tapi juga karena saat kecil saya hidup dan besar di pesantren yang sangat relijius dan jauh bila berkeinginan untuk melanjutkan studi di jepang yang dikenal hebat dalam sains ataupun teknologi (bukan agama), tapi semua berubah, cita-cita saya untuk dapat meneruskan leluhur saya menjadi Kyai, saya kubur dalam karena beberapa kejadian yang tidak bisa saya ceritakan di sini dan kemudian saya banting stir untuk bercita-cita menjadi peneliti.


Sebenarnya mimpi untuk melanjutkan studi S3 muncul saat saya sedang bekerja di Institute of Human Virology and Cancer Biology salah satu lembaga riset di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat itu sembari melanjutkan studi S2 saya di institusi yang sama (FKUI), saya mulai berani bermimpi untuk meneruskan program doktoral di beberapa Negara Eropa seperti Jerman, Swedia dan Prancis. Namun sekali lagi, tidak ada nama Jepang dalam list tujuan saya, salah satunya karena Jepang dikenal memiliki etos kerja dan penelitian yang tinggi, rajin, menjunjung tinggi kehormatan sang professor dan bisa dikatakan “rigid” dalam pergaulan, hal ini berbeda jika saya mendengar cerita tentang atmosfer pendidikan di eropa yang kasual tapi substansif dalam mengerjakan riset. Saya sangat sadar akan hal itu bahwa saya telah mengerti diri sendiri ini atau biasa disebut “rumasa” atau tahu diri bahwa saya tidak bisa seserius itu dalam bekerja, saya justru akan lebih senang pada suasana yang lebih kekeluargaan dan hubungan antara professor dan muridnya seperti teman. Maka dengan haqqul yaqin saya akan keteteran bila nekat kuliah di Jepang.


Suatu hari saat saya membantu salah satu teman satu Laboratorium saya, Kenny Lischer. Saat itu saya masih ingat betul, ba’da ashar kami yang sedang menunggu sebuah eksperimen. Waktu itu kami sedang berusaha untuk melihat keberhasilan kultur virus HIV yang diambil dari darah pasien AIDS yang belum juga sukses dikerjakan di Lab tempat saya kerja. Sore itu saya ditanya oleh Kenny, kemana saya akan melanjutkan S3 saat saya selesei S2 di FKUI, saya menjawab dengan lantang “Jerman Ken”, jawaban saya sebenarnya dipengaruhi harapan bahwa keberadaan bibi saya yang sudah tinggal dan memiliki anak di sana akan membantu.


Obrolan mengalir bersama Kenny, ia sangat antusias sekali untuk melanjutkan studinya di Eropa seperti Swis dan tentu juga jerman, entah bagaimana permulaannya, saya dan kenny sependapat untuk tidak melanjutkan S3 di Jepang, bukan tanpa sebab, sekali lagi, isu yang beredar di telinga kami bahwa pendidikan dan pola hidup di Jepang sangat disiplin dan memiliki waktu kuliah / kerja yang sangat tinggi dibandingkan Negara lain. Ya, kita tidak akan melanjutkan pendidikan kita di Jepang karena memang itu. Negeri Sakura itu kami delete bersama dari tujuan mimpi kami. Hehe..


                                                                      ***


Pada bulan pertengan 2014 Ibu saya jatuh sakit dan saya memutuskan untuk merawat ibu saya dan cuti dari tempat saya kerja, setelah ibu saya sembuh saya baru dapat menyelesaikan Tesis saya, dan pada bulan Juni saya alhamdulillah lulus dari FKUI. Pada Agustus 2014 saya bergabung di Kalbe Genomic, Stem Cell Cancer Institute milik PT. Kalbe Farma Tbk.  Cerita ini saya singkat karena hari-hari ini adalah waktu persimpangan terumit yang saya harus putuskan, saya hampir kehilangan tujuan.

Pada tanggal akhir September 2014 saya mendapatkan kabar dari Kenny bahwa dia sedang melanjutkan S3 di Jepang beasiswa penuh dari pemerintahan Jepang  (tempat yang kita sepakati bersama menjadi tempat larangan kita S3) hahaa.. saya tertawa dan sempat meledeknya dan sempat berkelakar tentang kesepakatan itu, kemudian pada tanggal empat oktober 2014 saya mendapat BBM dari Kenny, bahwa ada kesempatan untuk mengikuti test S3 di NAIST selama kurang lebih dua minggu di Jepang, saya yang telah memendam keinginan S3 saya di Jerman meskipun aplikasi untuk beasiswa di sana sudah kepalang terkirim. Di sinilah point utama dalam setiap kesuksesan hidup yang biasanya kita sebut “network” maka dengan cerita saya ini dapat diambil kesimpulan bahwa network sangat penting, perluas jejaring pergaulan dengan organisasi maupun pergaulan informal seperti hobi dan obrolan warung kopi, kita tidak tahu persahabatan dan teman karib mana yang akan membawa kepada kesuksesan, tapi pelihara dan pupuklah jejaring yang kita miliki itu dengan baik.


Cerita ini berlanjut, saya langsung bersemangat untuk coba-coba ikut test di Jepang yang diinformasikan Kenny ini, saya langsung menghubungi seorang professor yang menjadi penanggungjawab seleksi ini. Informasi yang saya terima dari beliau bahwa saya harus mengikuti screening di kampus saya karena ini program merupakan program delegasi dari UI-NAIST semacam U to U, tapi Prof yang merekomendasikan bukan Prof yang saya kenal, saya menghubungi Prof Maksum Radji dari Farmasi UI karena beliau yang menjadi penganggungjawab program screening ini di kampus saya, tak saya sangka beliau sangat baik dan proaktif meladeni email saya. Tanpa saya sangka saya berhasil lolos dan diberikan kesempatan mewakili UI ke Jepang untuk test ini, saya bersama Aini Gusmira (dari Fakultas Farmasi) dan Sofi (dari FK) dan Tira dari IPB berangkat ke Jepang untuk mengikuti test tersebut kami juga bertemu dengan perwakilan dari banyak universitas dari negara lain memperebutkan kuota beasiswa MEXT 2015 dari pemerintah Jepang. Ini tips yang kedua, jangan malu dan jangan takut dalam mencoba sesuatu. Mungkin bisa saja saya menyerah dengan keadaan di mana prosefor penanggungjawab program ini bukan dari fakultas saya di FKUI tapi dari Farmasi, dalam hal hal positif keberanian lebih akan sangat membantu. Saya ingat waktu itu saya berpikir, coba saja nekat dulu, toh kalo tidak bisa nanti saya tidak akan menyesal karena saya sudah berusaha mencari informasi.


Test berlangsung selama dua minggu 19-30 Januari 2015, dengan kegiatan rotasi ke riset masing-masing Profesor di sana, kita juga diwajibkan presentasi tentang riset kita sebelumnya. Penilaian dari hasil penelitian adalah hal mutlak, kemudian diwajibkan pula kita untuk rotasi ke tempat professor tersebut untuk dinilai performa kita selama dua minggu melakukan riset bersamanya.


Usaha dan ikhtiar saya sudah lakukan, terakhir doa. Saya berdoa untuk apapun yang terbaik pada akhirnya, karena sejujurnya saya masih gamang dengan bagaimana sebenarnya atmosfer pendidikan di Jepang. Saya juga memohon kepada ibu saya berdoa seperti itu, meminta yang terbaik apapun keputusannya. Percayalah, doa yang dapat menembus pintu langit adalah doa ibu. Saya berani bertaruh bahwa setiap doa ibu yang terbisik di malam sepi untuk anaknya tak bisa ditolak oleh Gusti Allah. Pada enam Februari 2015, saya dalam perjalanan pulang ke rumah, mendapatkan email bahwa saya lolos dan berkesempatan untuk S3 di Jepang pada Oktober 2015 beasiswa penuh dari pemerintah Jepang melalui MEXT 2015. Bingung rasanya seakan antara bahagia dan sedih, campur aduk juga. Saat yang sama saya sedang menunggu pengumuman beasiswa DAAD untuk melanjutkan kuliah di LMU Jerman.


Saat saya test, saya sempat tertawa semalaman bersama Kenny karena membahas hal ini. Membahas tentang apa-apa yang kita inginkan sebenarnya belum tentu terbaik, apa yang kita takutkan juga belum tentu hal yang buruk, saya teringat ayat yang sangat saya hapal dan saya sukai yang Firman Nya seperti ini 


“ Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  
(QS. Al-Baqarah : 216).





Saat ini dua tahun dari hari itu saya merasakan hal lain di Jepang. Saya melihat negeri ini seperti negeri dongeng, di mana ada kerajaan yang tertua di dunia dengan rakyat yang bahagia, disiplin, serta pekerja keras juga sangat mencintai kaisar dan negaranya. Negeri yang penuh dengan kedamaian dan atmosfer tata krama dan tepo seliro yang tinggi. Professor saya di sini juga jauh dari bayangan saya, beliau sangat akrab dan humoris kepada kami sebagai mahasiswanya, jauh dari kesan feodalisme seorang professor yang tergambar dulu.


Saya menulis cerita ini semata-mata ingin berbagi kisah hidup dan berharap bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kehidupan tertutama yang masih berjuang menggapai pendidikan, jika kita dalam nelangsa pada perjalanan perjuangan pencarian beasiswa atau studi tersebut, teruslah berjalan maju, jangan berhenti, coba lagi, bangkit lagi.


Saya yakin bahwa perubahan besar yang pasti dalam proses kehidupan adalah pendidikan, saya tidak menyangkal bahwa beberapa orang bisa sukses tanpa pendidikan formal yang tinggi terutama bila membaca tentang cerita para pengusaha hebat. Tapi menurut saya pendidikan adalah investasi yang pasti dan tak terbantahkan lagi karena dengan pendidikan manusia dapat memahami secara jernih setiap masalah yang terjadi, dengan pendidikan pula sebagian bidang memang memerlukan kualifikasi. Toh tidak semua orang dapat keberuntungan saat berwirausaha dan dapat memahami lika-liku suatu bisnis. Pendidikan sejatinya akan menjadi jalan keluar dalam menerangi diri sendiri dan menjadi lampu terang pada setiap penyelesaian masalah bangsa. Karena pendidikan bukan untuk kemenangan diri sendiri, melainkan untuk memenangkan manusia dari pertempuran terhadap ketidakadilan dan ketidaksejahteraan hidup.

Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak mudah, tapi bukan suatu yang tidak mungkin. Kita bisa melawan keterbatasan itu dengan usaha dan doa. Melalui setiap proses yang terkadang membuat kita putus asa. Saya tidak menyangkal bahwa ada perbedaan kesulitan itu di setiap individu kita, pasti berbeda misalnya seorang anak menteri untuk sekolah sampai jenjang doktoral di luar negeri bila dibandingkan dengan anak seorang petani di desa. Tapi itulah kesuksesan, ini dilihat dimana kita mulai, bukan dilihat dimana kita sampai. Perjuangan perih di masa muda ini yang akan menjadi kebahagiaan yang berbeda saat kita tua nanti. Pemuda memang memiliki waktu luang dan stamina yang tinggi, lalu jika tidak ada motivasi untuk apa waktu muda ini kita habiskan tanpa isi. Ayo bangkit Pemuda Indonesia, mari melawan kebodohan dan kemalasan diri mulai hari ini.

(Yudhi Nugraha)


Mar 20, 2014

Islam Agama Kekerasan.

Entah bagaimana cara pencitraan dan sebabnya saya tidak mengetahui banyak. Saat ini saya lebih melihat bahwa orang-orang muslim menjalankan agam dengan pendekatan agama yang kaku, pragmatis, kasar, keras, brutal. Sebagai contoh banyak sekali teman saya yang non muslim bertanya tentang kenapa agama ini dikaitkan dengan kekerasan. Bukan sekali dua kali saya ditanya hal-hal semacam itu. Dan jawaban saya selalu bertentangan dengan apa yang mereka lihat.

Saya tidak ingin meluas bercerita tentang bagaimana islam dipandang sebagai terorisme, itu terlalu jauh. Mungkin lain waktu saat pengetahuan saya mumpuni baru saya bicara hal itu, saat ini saya hanya ingin membahas apa yang terjadi disini, disekitar saya, di Indonesia, atau lebih detail lagi di Jakarta.
Sensitif sekali memang, ya sangat amat sensitif isu tersebut tapi saya ingin sekali mendiskusikan hal-hal yang sensitif seperti ini. Dengan kepala terbuka dan pemikiran yang dewasa. Saya ingin merunut pandangan itu di masyrakat dan coba mendiskusikannya

Selama saya di pesanten untuk "mondok" dan belajar agama islam, saya sangat sering kali mendengar cerita tentang kelembutan dalam beragama, keterbukaan dan menerima perbedaan, bahkan secara arti yang luas bahwa islam mengajarkan hal-hal yang di luar kemanusiawian malah lebih dekat ke-malaikat-an, entah bagaimana ceritanya Rosulullah yang agung itu, yang posisinya saat itu tak hanya seorang nabi, tapi juga kepala pemerintahan mau membantu menyuapi makan orang buta yang menghinanya setiap hari bahkan orang itu sendiri tidak tahu yang memberi makanya adalah orang yang dihinanya (Nabi).

Saya sebenarnya tidak ingin menceritakan betapa lembut dan pemaafnya hati Nabi Muhammad SAW, telah banyak mungkin cerita yang harus diceritakan. Tapi tidaknya para islam fundamentalis itu melihat bagaimana rosul memberi contoh tentang islam? Apakah mereka berhenti pada "meyakini kebenaran islam" dan menutup mata dari memperlakukan dengan bijaksana seluruh perbedaan yang ada di depan mereka. Padahal Nabi Muhammad sendiri sebagai panutan akhlak dan islam? Pelajarilah islam dari keagungan akhlak dan keterbukaannya terhadap sebuah perbedaan. Bagaimana islam disebarkan ke seluruh dunia dengan terbuka bukan hanya perang dan pedang. Bagaimana islam berasimilasi dan akulturasi budaya dan sosial masyarakat. Bagaimana islam mendekatkan diri pada kemajuan teknologi dan sains, bagaimana islam memberikan SOP sampai hal terkecil sampai untukmemakai sendal? Bagaimana islam secara terperinci mengajarkan intonasi suara? Bagaimana islam menjabarkan kesantunan dan sikap kita pada orang yang belum mempercayai Islam? Bagaimana memperlakukan seorang muslim yang belum taat?

Hanya dengan tulisan ini saya ingin mengajak para pemuka agama, mubalig, penyeru Islam untuk lebih meningkatkan ajaran luhur islam yang lemah lembut, dan "Udu ila sabili robika bilhikmah wal mau'idoh hasanah wajadilhum billati hia ahsa". Hanya dengan hikmah, kelamahlembutan, welas-kasih, sikap pemaaf, cinta dan kesantunan. Jika anda bertanya kemana tujuan tulisan saya inim tanyalah hati nurani kalian, jika kalian merasa, maka memang untuk kalian. Jika kalian tidak merasa, berarti bukan untuk kalian. (Everybodies Knew)

Apakah saat anda (merasa benar), orang lain salah?? Apakah mereka tidak memiliki kebenaran yang lain?? Ayolah saudaraku, berhentilah menjadikan islam sebagai agama yang kasar, keras dan pragmatis. Mulailah untuk menyeru kepada hal-hal yang lebih luhur dari kekerasan.

Salam Kesantunan Islam.
20 Maret 2014 Di sela-sela istirahat kerja. 12.35

Mar 19, 2014

Verba Volant, Scripta Manent

       "Menulis" adalah satu kata menarik yang ingin saya ceritakan, secara pribadi saya memandang bahwa menulis adalah hal yang tidak dapat dibatasi, tak dapat pula dicegah dengan berbagai media ragam bahasa. Dalam menulis menurut saya banyak sekali aturan yang digunakan, ya banyak sekali dari mulai EYD dan tata bahasa baku, sampai dengan hal sepele seperti aturan-aturan redaksional yang menurut saya juga tak kalah penting. Tapi saat ini dengan awal mula saya menulis, saya tidak tertarik untuk melihat cara penulisan dan gaya bahasa sang penulis, bagi penulis amatiran seperti saya, saya lebih melihat bagaimana semangat menulis untuk belajar menuangkan hal-hal yang ada di pikiran menuju sebuah tulisan. Jangan sampai dengan banyaknya aturan dan larangan sana sini malah menjadikan kita malas menulis, ya saya sering sekali menemui kawan dan kerabat saya yang memiliki pemikiran dan ideologi yang hebat tentang sebuah permasalahan. Tapi karena mereka belum menuliskannya maka hal itu malah menjadi sebuah angin lalu.
      Saya pernah mendengar sebuah kalimat “Verba Volant Scripta Manent” dalam artian bahasa Indonesia yang singkat dapat dideskripsikan bahwa hal-hal yang ditulis akan kekal abadi dan yang hanya diucapkan akan menghilang. Sekali lagi saya tidak menghilangkan aturan-aturan EYD yang resmi dalam bahasa dan aturan penulisan. Tapi buat saya, semangat menulis ini yang seharusnya ditularkan, dilihat sebagai kontent penting dari sebuah faham. Ya setidaknya buat seorang amatiran seperti saya, dalam tulisan saya tidak ingin berhenti hanya karena ketidakfahaman saya tentang aturan menulis, saya akan terus belajar untuk menulis apapun yang ada di pikiran saya.
    Dunia saya tidak dibatasi dalam sebuah tulisan, saya bebas menulis apapun. Setidaknya dalam hal ini mari kita lihat bagaimana semangat menulis itu nantinya akan menjadi semangat positif dalam menuangkan ide dan berinovasi untuk belajar memaparkan pendapat. Apapun, bahkan hal-hal yang dapat menuai protes, karena dengan memaparkannya kita dapat belajar terbuka dengan pemikiran orang lain yang berbeda. Pemikiran orang dengan pemikiran kita pasti berbeda karena latar belakang dan alasan tertentu, keterbukaan pemikiran hanya dapat dibaca jika kita membuka pemikiran kita, “Pikiranmu seperti parasut, akan berguna saat kamu membukanya”.
     Semoga kita kita tidak berhenti menulis hanya karena bebagai aturan penulisan baku yang rumit.


Mari belajar menulis
Perpustakaan FKUI Salemba. 19-03-2014. 18.51 WIB

Mar 17, 2014

Pendidikan dan Penelitian ; Prioritas Nomer Berapa?

Pendidikan dan penelitian bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kaitan keduanya terintegrasi secara solid, dimana pendidikan bermuara pada penelitian dan penelitian menjadi pengembangan dari pendidikan. Indonesia yang merupakan anggota G20 dapat dikatakan salah satu negara besar dan berpengaruh di Dunia sepantasnya mengedepankan pendidikan dan penelitian sebagai prioritas bangsa. Saya masih teringat betul cerita tentang bagaimana negara Jepang pasca bom nuklir hirosima dan nagasaki, saat itu hal yang pertama dilakukan oleh kaisar Jepang adalah menghimpun pada pendidik untuk mulai bergerak dan membangun Jepang yang luluhlantak kejadian itu sangat erat hubungannya dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, karena pada momentum tersebut Indonesia memiliki peluang untuk merdeka karena Jepang kalah dengan sekutu. Saya sebenarnya bukan ingin membahas hal tersebut. Dalam tulisan saya ini, saya ingin membandingkan bagaimana kaisar Jepang saat itu, mengerti betul apa yang harus diprioritaskan yakni, Pendidikan.

Lain di Jepang lain pula Indonesia, di Negera ini banyak calon pemimpin baru, pemimpin bangsa yang memprioritaskan ; ekonomi, suasana politik (bahkan kadang dipolitisir). Namun sangat sedikit yang memprioritaskan pendidikan dan penelitian. Ya perlu diakui bahwa kebijakan alokasi dana pemerintah 20 persen untuk pendidikan adalah hal yang luar biasa. Namun, kemanakah dana itu dialirkan? Sudah tepat sasarankah?? Pendidikan dan penelitian seperti apa yang dihasilkan dengan dana sebesar itu?.
Menurut saya, penelitian di Indonesia sebenarnya sudah baik dilihat dari kemampuan penelitinya, namun saat tidak diimbangi dengan instrumentasi penelitian yang memadai, mau jadi apa peneliti hebat itu? Saya mendengar banyak para peneliti hebat dan besar Indonesia yang pergi dari Indonesia, jangan salah sangka dulu. Mereka pergi bukan karena nasionalisme yang hilang, atau bahkan karena pendapatan yang biasa jadi alasan. Tapi karena mereka tidak dapat melakukan apapun di Indonesia dengan peralatan yang kurang memadai.

Saat dana 20persen menggelontor kedunia pendidikan dan penelitian. Dana sebesar itu akan menjadi euforia bagi pendidik dan peneliti. Hal buruknya adalah para peneliti berpacu "sendiri-sendiri" di Laboratorium dan lapangan mereka sendiri. Terkukung oleh keegoisan diri dan kejeniusan mereka. Banyak para peneliti melakukan penelitian yang serupa di waktu yang sama, menghasilkan hasil riset yang sama. Tapi, apakah alangkah lebih bijaksananya pemerintah menjadi pusat data yang terintegrasi?? Sehingga penelitian di Indonesia ini mempunyai aspek efisiensi yang jelas? Belum lagi ketimpangan regional sangat terlihat di negri ini. Bagaimana tidak? Lihat saja perkembangan riset di Jawa dan luar Jawa?

Momentum yang tepat saat saya menulis ini karena kita akan mengadakan pesta demokrasi untuk lima tahun ke depan. Hal ini menentukan Indonesia kedepan seperti apa. Saya hanya sebagai mahasiswa yang mencoba menyelesaikan tugas akhir saya dan mengisi waktu luang dengan menulis tulisan seperti ini, ingin sekali melihat calon pemimpin itu mempunyai visi misi tentang riset, bukan hanya tentang kebijakan ekonomi dan politik yang menjadi anak emas setiap calon pemimpin yang saya lihat di media.

Mari menilai dengan bijaksana, di mata para calon pemimpin bangsa Indonesia, pendidikan dan penelitian, menjadi prioritas keberapa??

Krisis Regenerasi “kyai-profesional” di Indonesia

Melihat dari pengalaman “nyantri” di sebuah pondok pesantren selama 6 tahun bersama pelajaran-pelajaran agama yg non eksakta yang sangat komperhensif dan terbuka terhadap permasalahan sosial di masyarakat sangat berarti untuk bekal yang diberikan pesantren untuk santri-santrinya.
Namun teringat dengan pembicaraan yang pernah secara tidak sengaja, saya dengan salah satu pimpinan pondok dan pimpinan sekolah tinggi islam tentang sebuah masalah yang terlihat sepele tetapi sangat mendasar bagi kemajuan peradaban keilmuan islam di Indonesia, terkait tentang krisis kemauan santri untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka kepada jurusan-jurusan ilmu agama, bukan tanpa sebab mereka (dan mungkin saya sendiri) memilih jurusan yang ditekuni untuk masa depan, selain passion tentunya ada hal lain yang melatarbelakangi paradigma tersebut, banyak skema yg telah dilakukan para pemikir akademisi islam yang sudah dilakukan, mulai dari pemberian beasiswa full untuk masuk dan kuliah di jurusan-jurusan agama (contohnya di UIN jakarta yang menyediakan banyak sekali beasiswa bagi “santri” yang mau kuliah di jurusan-jurusan tertentu) sampai skema pemberian beasiswa ke luar negeri terutama negara di kawasan timur tengah, namun semua hal tersebut tidak berpengaruh banyak. Bahkan, yang saya rasakan hal itu semakin memperburuk keadaan tentang pandangan “santri” terhadap jurusan agama. Saat ini mungkin di sana, para akademisi dan pemikir besar islam sedang berfikir keras untuk membangun regenerasi mereka yang terancam.
Salemba, 12 Juni 2013

Gugatan Saya Pada Pemikir Islam Liberal

Banyak stigma pemikiran orang, berasumsi bahwa semua permasalahan dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan mereka bisa dipecahkan oleh pemikiran mereka sendiri. Ilmu pengetahuan yang mengagungkan kata kebenaranan dan kata fakta membuktikan bahwa sesungguhnya pemikran dan logika manusia adalah sangat amat terbatas, terbukti ketika angka berapapun (x) yang dibagi oleh bilangan nol maka hasilnya tidak pernah sempurna yakni didefinisikan tak terhingga, seperti halnya dalam perhitungan matematis yang tidak mengenal sesuatu yang tidak rasio dan logis ada saja bukti kekuasaan Nya yakni ketika seluruh sudut-sudut istimewa telah didefinisikan, tangen 90 masih saja dalam ketidakterhinggaan yang hingga kini ada, teori yang selalu diagung-agungkan oleh ilmuan besar seperti Newton yang menganggap kemutlakan setiap perhitungan yang membuktikan ketepatan sesuatu, disangkal oleh teori relativitas Einstein yang meluhurkan segala sesuatu adalah relatif, begitupula permasalahan dari segala sesuatu tidak bisa hanya mengandalkan pemikiran dan logika, namun juga harus meruntun pada ajaran Allah yang jelas tahu betul peliknya suatu permasalahan melalui mengkaji firman-firmanNya. Tidak bisa kita terlalu mengandalkan akal untuk menyimpulkan suatu permasalahan, namun Akhir-akhir ini banyak pemikiran ekstrim yang hadir menerjang firman-firman Allah, dan hanya mengandalkan logika. Seharusnya pemikiran digunakan untuk memahami aturan yang telah dibuat Nya, bukan malah menjadi jalan untuk membuat alasan yang sering dianggap logis degan tujuan memudahkan dari syari'at. "Al islamu yu'la wala yu'li alaihi" islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, aturannya mudah tapi tidak untuk dipermudah
Banyak pemikir-pemikir mencari hakikat Tuhan lewat pemikiran instant mereka yang terkadang berdasarkan dari tiga aspek sumber hasil pemikiran yang pastinya berbeda setiap orang, yakni nafsu logis, ideologi dasar kehidupan (backround), dan yang pasti adalah logika yang terkadang hanya baik untuk seseorang dan tidak bisa menjadi ideologi untuk konsumsi publik, tak terlepas dari mereka yang selalu mengindahkan dan mendustakan ajaran agama, yang sebenarnya hanya agama dan tuntunan Allah lah yang dapat menuntaskan seluruh permasalahan, hal ini hanya akan berujung pada kesesatan yang berdalih pada logika pemikiran yang tak terlepas dari paradigma berfikir dan ideologi yang dimiiki, yang didasari oleh dasar pemikiran kehidupan yang mereka rasakan yang bersifat ideologi individualis dan bukan untuk asumsi publik, banyak pemikir-pemikir yang bebas, liberal dan mengabaikan firman Allah bermunculan, semua hal yang difikirkan berdalih befilsafat cerdas dan mengabaikan semua tuntunan Allah yang mutlak dan bersifat pasti benar itu, semua hal yang bertentangan oleh pemikiran dan logika mereka yang sebenarnya hanya individulistik syar'i dan tidak pantas untuk dilakukan oleh orang lain selalu dianggap salah.
Padahal Allah sendiri telah mengecam hal yang demikian itu dalam firmannya yang berbunyi "Al haqqu min robbika, fala takunanna minal mumtarin" yang artinya "kebenaran adalah milik Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi golongan yang mendustakan" seluruh kebenaran yang masih bersifat relative dan tidak mutlak diabadikan oleh manusia adalah semuanya dari Allah lewat pemikiran-pemikiran dan tidak mutlak dari hasil buah karya mereka sendiri, seiiring perubahan zaman para pemikir islam yang berfikir liberal berorientasi materi yang justru akan mengarah pada hal-hal yang melenceng dari tuntunan yang sudah jelas-jelas tidak membutuhkan pemikiran yang bertujuan pada pemudahan, pengkerdilan dan cara beralasan yang logis dalam melanggar ajaran Allah yang mereka anggap beban, dalam firmannya Allah menyatakan "lakabirotun illa ala alkhosyi'in" yang artinya benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, dalam ayat sebelumnya Allah menyartikan khosyi'in adalah "aladzi yadzununna annahum mulaku robbihin wa annahum ilaihi roji'un" yakni orang-orang yang mereka percaya bahwa mereka akan bertemu Allah mereka, dan kepada Nya lah mereka akan kembali.
Liberalisme serta dalil kebebasan berfikir adalah alasan utama untuk melakukan stigma berfikir yang salah dan "gak mau ambil pusing" dalam menjalankan syariat Allah, sebagai contoh ringan saja masalah jilbab yang dianggap oleh pemikir-pemikir hanyalah sebuah adapt yang dibawa oleh masyarakat arab dan bukan syariat yang harus dilaksanakan sepenuhnya yang telah sangat jelas diterangkan aturan main penegakan syariat seperti itu.
Seluruh agama akan memiliki beberapa aspek pokok yakni idiologi, ritual ibadah, dan identitas agama. Islam memiliki idiologi yang kuat dan sangat masuk akal dan rasional sebab itulah islam menjadi agama terbesar dan tercepat penyebarannya, yang kedua yakni ritual, seluruh agama yang ada, memiliki ritual entah agama apapun, bahkan agama yang menyembah syetan pun memiliki ritual-ritual yang mereka lakukan, inilah yang sering dibantah oleh pemikir-pemikir yang mempermasalahkan ritual yang memang jika difikir secara rasional tidak bias menjadi sesuatu yang logis, yang ketiga yakni identitas, setiap agama memiliki identitas yang muncul dengan sendirinya, contohnya adalah jilbab yang menjadi identitas agama islam, jika jilbab hanya budaya, lantas apa yang dijadikan identitas bagi muslimah?
Syari’at agama islam adalah lebih bermakna dan selalu kondusif dengan situasi dan kondisi, namun terkadang sering dikondisikan salah dan selalu diartikan bertentangan dengan kebenaran, seharusnya syari’at tidak dikondisikan atau dirubah karna kondisi yang berbeda namun hendaknya syari’atlah yang menempatkan situasi dan kondisi dengan tidak mengindahkan sesuatu yang bertentangan dengan aturan yang telah dibuat dan mutlak kebenarannya, hal inilah yang harus dibenahi oleh pemikir-pemikir bebas yang secara tidak langsung mereka mengkondisikan syari'at, adalah suatu kenaifan jika menjadikan agama islam ini agama yang kondisional karna dari satu sisi agama ini telah sangat amat sempurna bahkan untk menghadapi masalah-masalah yang teramat kontroversial sekalipun. "Hari ini telah aku sempurnakan untuk kalian, agama islam" sepenggal dari ucapan nabi yang beliau sampaikan ketika haji wada' dan sudah barang tentu nabi telah meyakini bahwa ajarannya telah ia sempurnakan, bahkan untuk peliknya masalah yang kini dibicarakan sebenarnya telah ada lewat perumpamaan-perumpamaan pada masalah yang ada dizamannya, namun sekali lagi hal ini dipungkiri oleh pemikiran yang meyakini bahwa kenyataan pada zaman sekarang adalah teramat berbeda dengan ketika masa nabi Muhammad shalaallahu alaihi wassalam, padahal sebenarnya perumpamaan atau permisalan masalah yang serupa telah di selesaikan oleh nabi.
Contoh lain ketika ayat “assolatu tanha anil fakhsya’I wal mungkar” yang jelas berarti salat selalu menahan perbuatan keji dan mungkar, diartikan berbeda yakni salat adalah anda menahan sesuatu yang keji dan mungkar, jadi ketika huruf “ta” yang berarti kembali pada “assolatu” yang “mu’annas” diartikan menjadi dhomir anta dalam fi’il mudhir’i maka asumsi mereka bahwa solat bukanlah ritual tapi aplikasi dari fungsi solat itu sendiri yakni menahan yang keji dan yang mungkar, padahal Nabi Muhammad shalaallahu alaihi wassalam sendiri bersabda “solatlah kamu seperti kamu melihat saya solat” ritual yang dijalankan nabi sendiri adalah bukan hanya ritual yang dikarang-karang, namun itu atas perintah Allah yang diterangkan dalam perbuatan nabi sendiri, Al qur’am sendiri tidak menerangkan tentang hal yang memang sepantasnya dijelaskan oleh nabi lewat perbuatannya, Allah berfirman bahwa ayat–ayat alqur’an adalah mubayinatun (penjelasan) terhadap ayat lainya, jadi sama sekali tidak bertentangan satu dengan yang lainnya seperti rumor yang tidak dapat dipengerti oleh orang yang selalu menuhankan pemikiran.

Masih banyak lagi ayat-ayat yang dinodai oleh pemikiran-pemikiran yang sebenarnya bertujuan mempermudah syariat islam yang akhirnya menjadi pengkerdilan agama islam sendiri, tidak pelak lagi pemikir-pemikir yang tidak mau memikirkan hakikat dari penciptaan alam semesta yang berpangkalkan pada hakikat Tuhan yang mencipatakan, “tafakkaru an kholqi wala tatafakkaru an kholiqi” yang artinya “berfikirlah tentang ciptaan, namun janganlah memikirkan pencipta” Allah berfirman serta menyatakan statement yang tegas adalah karna berlandaskan Allah mengetahui seberapa besar kemampuan pemikiran manusia yang Dia sendirilah yang menciptakan pemikiran itu, prasangka-prasangka tentang visualisasi tuahan serig dilakukan oleh manusia semenjak sejarah itu ada, beragam agama yang menggambarkan Tuhan mereka sebagai sesuatu yang maha besar dan maha kuat, seperti membuat patung yang amat besar dan kuat. Seluruh prasangka yang terangkum dalam agama-agama seperti itu adalah logis bila itu adalah visualisasi dari kemaha besaran kekuatan Tuhan yang pasti dirasakan oleh seluruh umat manusia. Sedangkan islam selalu mengajarkan umatnya untuk merasakan Tuhan lewat ciptaanNya yang maha karya tak tertandingi bukan lewat memikirkan Tuhan lewat akal terbatas manusia, seorang Ibrahim yang dikenal cerdas dan rasionalis selalu menjalankan perintah Allah SWT tanpa banyak instruksi sebagai contoh ketika beliau diperintahkan untuk menyembelih Isma’il putra kesayangannya lewat mimpi yang belum bisa dipastikan kebenarannya oleh rasio dan pemikiran manapun, namun ketundukannya kepada Alllah dan keimanannya kepada perintah itu maka beliau melakukan perintah itu, beliau tidak menggunakan pemikiran dan rasionya untuk menentang perintah Allah, tiada sedikitpun ia beradu argument tentang semua hal yang diperintahkan kepadanya. Manusia terkadang membangkang semua yang diperintahkan kepadannya dengan beragam dalih, menuhankan pemikiran yang terbukti belum sampai untuk mencari hakikat Tuhan, jangankan kata “Tuhan” yang kita fikirkan, menjumlahkan x di bagi oleh bilangan 0 pun kita belum sampai.

Yudhi Nugraha : dalam Ketundukan Pengetahuan saya tentang Allah 

Rezim Pers. Mempertanyakan Independensi Pers

          Jika dalam sebuah sistem pemerintahan kerajaan yang paling berpengaruh terhadap sebuah keputusan adalah raja dan lingkungannya, jika dalam sebuah rezim maka kekuasaan dipegang penuh oleh seseorang yang otoriter (seperti zaman orde baru di Indonesia), maka  dalam negara yang mempunyai sistem pemerintahan yang demokratis seperti Indonesia saat ini maka kekuatan terbesar yang paling berpengaruh adalah Pers. Pers dalam sejarah pemerintahan di seluruh dunia sangat mempunyai peran krusial bagi arah sebuah negara terutama negara dengan sistem demokratis. Pada tokoh dimunculkan oleh Pers bukan tidak mungkin tokoh tersebut “takut” terhadap tulisan-tulisan yang bisa saja menghancurkan citra yang selama ini dibangunnya.
      Hal ini telah saya fikirkan sejak lama bagaimana sebuah kekuatan pemikiran dan propaganda dapat mengubah suatu bangsa. Dulu saat zaman orde baru masih bercokol di negeri ini, propaganda masih dibatasi dengan dalih stabilitas nasional. Ada baiknya pula ada buruknya, dengan hal tersebut kekuatan ekonomi dan stabilitas nasional berjalan sesuai yang dicanangkan pemerintah Soeharto waktu itu lewat rancangan pembangunan perlima tahun. Namun efek buruk terhadap kekangan itu membuah sebuah tirani baru bagi para penggawa perubahan yang memiliki ide-ide yang tak sejalan dengan apa yang ada.
Saat orde baru tumbang dan secara besar-besaran perubahan telah terjadi sampai saat ini hal yang paling besar dirasakan adalah kebebasan menyampaikan pendapat, semua terbuka, transparan dan bebas. Dengan dilindungi undang-undang tentang hak menyampaikan pendapat seakan sebuah angin segar bagi pada pemikir-pemikir.
      Namun perubahan itu tak ayalnya dua sisi mata uang yang berbeda bagi kemajuan sebuah bangsa. Saat ini yang dirasakan demokrasi yang ada di Indonesia (menurut saya) masih harus belajar. Serangan propaganda politik yang sangat terlihat seakan membutakan mata masyarakat. Ketokohan seseorang saat ini sudah menjadi produk yang bernama “citra” yang bisa saja dibeli dengan propaganda pencitraan dilayar televisi.
      Saya juga heran dengan berbagai tayangan media elektronik yang menggambarkan betapa kacaunya negeri ini dari mulai korupsi sampai kesenjangan dalam beragama tapi hal itu sama sekali berbeda dengan apa yang dirasakan saya di keseharian yang sepertinya semua berjalan seperti biasa.
        Pernah saya juga mengira bahwa ini merupakan kebobrokan bangsa yang baru saja disajikan yang telah lama disembunyikan. Tapi hal ini berhenti pada masalah-masalah lain terutama permasalahan-permasalahan korupsi, namun saya terbesit untuk mengetahui siapa orang dibalik layar yang membuat sebuah berita begitu mengesankan, seakan antiklimaks dan terus menerus ada.
     Hampir semua media elektronik saat ini yang ada dimata saya terutama media elektronik yang fokus terhadap berita (bukan hiburan) dimiliki oleh tokoh-tokoh politik. Saya tidak mau menyebutkan sebuah nama karena saya faham jika saya begitu lalu apa bedanya saya dengan sebagian Pers yang sedang dibahas oleh saya sendiri melakukan penghancuran nama baik dengan tulisan dan propaganda.
       Pada sebuah kesempatan saya berdiskusi dengan seorang dokter satu kelas dengan saya (yang merupakan dokter dengan pengalaman Pers yang cukup lama). Mengatakan bahwa Pers saat ini sebenarnya Independen tapi dengan posisi mereka sebagai pegawai dibawah atasan mereka yang mempunyai kepentingan tersendri, mereka tidak mempunyai pilihan banyak. Hal ini saya amini dengan pemikiran, “ ya memang wajar seorang karyawan bekerja untuk kepentingan perusaahaan dan Bos-nya”. Namun jauh dari itu saya khawatir tentang bagaimana nanti hal yang mereka lakukan itu akan merubah pandangan rakyat indonesia yang sangat majemuk, bagaimana propaganda mereka akhirnya nanti akan mengubah rakyat Indonesia untuk memilih Pemerintahan dengan citra yang bagus tapi prestasi yang buruk. Lalu bagaimana nanti propaganda yang ada itu akan menjadi sebuah rezim baru yang dilindungi hukum kebebasan berpendapat dan UU Pers dan menciptakan kedigdayaan rezim baru yang lebih besar yang saya sebut dengan “Rezim Pers”
     Hal yang paling bisa saya sarankan untuk pembuat aturan perundang-undangan adalah coba buat aturan-aturan menyeluruh yang mengatur tentang kepemilikan media agar saham dan kepemilikan tersebut juga dibagi selain dimiliki oleh pemegang modal tapi tetap dibatasi oleh independesi Pers sehingga propaganda si empunya media dapat dibatasi dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh seorang Pers yang sebenarnya dan para pencari berita di lapangan dapat menyajikan informasi yang berimbang.


Yudhi Nugraha

Tulisan Pemikiran

16 Maret 2014

           Tulisan merupakan hasil pemikiran yang tertuang dalam sebuah kata, setidaknya itulah yang dapat saya deskripsikan tentang "tulisan". Banyak mungkin yang mempunyai jawaban lebih tepat dari saya dalam mendeskripsikan kata tersebut. Tapi sebenarnya tidak penting terminologi kata tersebut dalam ulasan saya sekarang. Hal yang saya ingin garis bawahi tentan tulisan adalah bagaimana seseorang dapat menuangkan pemikirannya dalam sebuah kata. Tidak mudah seperti kelihatannya, ada kesulitan dalam menulis. Bahkan ini jua yang dijumpai pada beberapa penulis handal (katanya), mereka para penulis cerita fiksi kehabisan ide tentang cerita apa yang ingin ditulis, ilmuan dan pada peneliti juga terkadang bingung untuk menuangkan hasil penelitian mereka meski terkadang sebenarnya hasil penelitian itu sudah ada. 
          Ini pengalaman pribadi saya sendiri, tentang sulitnya memulai menuangkan apa yang sebenarnya tergambar jelas dalam pemikiran. Sulit untuk mengejawantahkan pemikiran tersebut dalam sebuah kata, frasa dan paragraf, walhasil dalam beberapa jam saya hanya dapat menulis beberapa patah kata dari hasil penelitian tesis saya. Terlepas dari hal tersebut sebenarnya saya kagum pada para penulis, jurnalis, dan para penggiat tulisan, entah apa nama dan profesinya. Saya masih ingin belajar tentang cara menuangkan pemikiran tersebut. Ada hal yang krusial dalam sebuah tulisan. Sejarah dimulai dengan kehadiran sebuah "tulisan". Zaman prasejarah didefinisikan sebagai zaman dimana manusia belum dapat menulis. 
            Saya berfikir bahwa betapa pentingnya sebuah karya tulis (dari mulai tulisan fiksi, berita fakta sampai jurnal ilmiah). Di zaman yang serba modern ini, semakin banyak jenis tulisan yang ada. Dari mulai blog, sampai dengan jurnal ilmiah berbayar, yang kesemuanya saya sebutkan kembali, adalah sebagai karya tuang pemikiran yang tidak mudah. Dengan demikian saya, dengan tulisan kurang bermakna ini, ingin mengajak kita semua menulis. Menulis apapun pemikiran kita agar tidak serta merta hilang di fikiran kita.

Verba Volant, Scripta Manent.

Yudhi Nugraha